"Jika tolak ukur sebuah perasaan adalah uang, maka aku akan buktikan bahwa uang bukanlah segalanya, apalagi sebuah kekuasaan."- Elara
Entah mengapa, hari ini semangatku seolah kembali membuncah. Aku merasa siap berlatih, bahkan jika harus bertanding sepuluh kali sekalipun. Namun, pelatih melarangku untuk berlebihan. Pikiran ku juga masih sulit lepas dari kekalahan kemarin melawan Arka, seorang manusia Katalis. Kini, aku dan Lina yang tadi meninggalkan seorang manusia Katalis yang entah bagaimana bisa terjatuh di depanku, duduk di taman sambil menikmati sebotol air mineral.
"Tumben, Ra." Ujar Rina sembari menatapku aneh.
"Tumben apanya?" Tanyaku yang tidak mengerti maksud Lina.
"Ya tumben-tumbenan lo bisa ramah atau bisa dibilang baiklah sama Manusia Katalis kayak cowok tadi. Kan aneh." Ujar Lina menjelaskan rasa penasarannya.
"Biasa aja Lin. Lagian itu anak lucu, bisa-bisanya jatuh didepan aku. Coba bayangin manusia Katalis mana yang ceroboh, mereka kan punya kelebihan ya kali bisa sampai jatuh segala." Jelasku pada Lina.
"Namanya juga manusia kan, Ra. Nggak peduli Katalis atau Biasa ya bisa saja mereka melakukan kesalahan. Mungkin saja kesandung beneran kan nggak tahu, coba aja kita bisa baca pikiran." Lina justru membayangkan dirinya bisa membaca pikiran orang lain.
"Manusia Katalis itu mirip dengan burung merak, Lina. Mereka adalah orang-orang yang sombong, gemar memamerkan kelebihan mereka dengan percaya diri, seolah-olah itu adalah sesuatu yang luar biasa. Padahal, bagi burung cendrawasih, itu hal yang biasa saja. Begitulah sifat manusia Katalis." Jelasku lebih ilmiah, dan semoga saja Lina mengerti dengan apa yang aku katakan.
"Dan siapa tadi namanya, oh iya Ronan. Dia seperti manusia Katalis yang sedikit ceroboh. Dan satu lagi dia memuji caraku bertanding bahkan menonton pertandinganku sore kemarin. Jarang ada manusia Katalis sepertinya." Tambahku sedikit meyakinkan Lina.
"Dan jarang juga ada manusia Katalis yang beruntung mendapatkan respon baik darimu. Seharusnya dia patut merayakan ini bersama teman-temannya."
Apa yang dikatakan Lina ada benarnya, selama ini aku tidak senang dengan manusia katalis, sekedar berinteraksi saja aku enggan apalagi sampai berjabat tangan seperti bersama Ronan tadi, entah apa yang sebenarnya terjadi tadi.
"Atau jangan-jangan kamu suka?" refleks aku langsung memukul lengan Lina, bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu.
"Mulai ngacok ngomongnya." Ujarku dengan nada tinggi, aku pun berdiri dan meninggalkan Lina begitu saja.
"Eh, Ra. Ya nggak ada yang mungkin kan. Bisa jadi kamu beneran suka, iyakan?" Lina mengejarku sembari terus mengoceh tiada hentinya.
***
Dengan penuh ketenangan aku melangkahkan kakiku diterotoar jalan. Setiap hari sepulang sekolah, aku langsung menuju sebuah toko kelontong yang terletak tidak jauh dari rumah. Aku bekerja paruh waktu di sana sebagai kasir dan pelayan toko untuk membantu perekonomian keluargaku. Jadwalku padat dan sering kali membuatku merasa kelelahan, terutama setelah berlatih taekwondo. Meski tubuhku masih keringat dan otot-ototku terasa pegal, aku tetap melanjutkan pekerjaanku tanpa mengeluh.
Bagi aku, bekerja di toko bukan hanya soal tambahan uang, tetapi juga cara untuk meringankan beban orangtuaku. Aku menikmati setiap momen interaksi dengan pelanggan, melihat senyuman mereka saat mendapatkan barang yang mereka butuhkan. Semua itu memberikan kepuasan tersendiri dan membuatku merasa usaha ini sangat berharga.
Aku tahu jalan ini tidak mudah, tetapi setiap tetes keringat dan usaha yang ku lakukan adalah bagian dari perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Melihat keluargaku lebih baik dan bahagia selalu memberiku dorongan tambahan untuk terus berjuang, meskipun kadang aku merasa lelah dan terbebani.
Namun, akhir-akhir ini, pekerjaan di toko semakin tidak stabil. Aku mulai merasakan penurunan dalam penghasilan toko, dan hal ini membuatku sedikit cemas. Aku takut jika situasi ini terus berlanjut, pemilik toko mungkin akan mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah karyawan, termasuk aku.
Setiap hari, aku memantau dengan cermat setiap transaksi dan mencoba melakukan yang terbaik untuk membantu toko bertahan. Meskipun aku berusaha sekuat tenaga, kekhawatiran ini selalu menghantui pikiranku. Aku tahu bahwa pekerjaan ini sangat penting untuk keluarga kami, dan kehilangan pekerjaan berarti aku harus mencari cara lain untuk mendukung mereka.
Aku terus berdoa dan berharap keadaan akan membaik. Sementara itu, aku berusaha menjaga semangat dan terus memberikan yang terbaik di tempat kerja, meskipun rasa cemas ini tidak pernah sepenuhnya hilang.
"Semua ini gara-gara manusia Katalis itu." Gerutuku sembari terus mengecek keuangan toko hari ini. Bagaimana aku tidak kesal, semuanya turun drastis, ini tidak hanya turun 50% tapi lebih dari itu, bagaimana bulan ini aku bisa mendapatkan gaji lebih kalau seperti ini.
Sebenarnya apa yang dilakukan manusia Katalis dan pemerintah sehingga krisis ekonomi semakin menjadi-jadi, apa gunanya menjadi pemerintah jika tidak bisa mensejahterakan masyarakatnya sendiri, ayolah Elara sudah berkali-kali aku katakan percuma jika aku hanya menggerutu dalam hati seperti ini saja, aku harus menunjukkan diri bahwa apa yang dilakukan semua orang-orang yang membuat krisis ekonomi ini terjadi adalah sebuah kesalahan. Entah proyek apa yang sebenarnya mereka kerjakan sehingga semua tatanan negara seakan ikut terganggu.
"Bukankah besok kamu ada pertandingan, Ra?" Ujar Pak Jaya pemilik toko atau minimarket ini, namanya sama seperti toko miliknya, Jaya Prahardi Mart.
"Iya ada, Pak." Jawabku singkat sembari membersihkan sisa-sisa sampah di meja kasir.
"Lah, ngapain hari ini kerja?"
"Butuh duit, Pak." Jawabku kembali singkat, sebenarnya aku tahu pak Jaya ini adalah bos yang sangat baik, perhatian dan sangat pengertian. Tapi, ada satu hal yang tidak aku suka, ia terlalu suka mencampuri kehidupan pribadiku, menasehatiku dan masih banyak lagi. Sedangkan aku adalah orang yang paling malas dengan hal-hal seperti itu.
"Ya kalau bulan ini sih aku tidak menjamin uang gajimu bakalan tinggi, Ra." Mendengar itu aku hanya menghembuskan napas panjang. Pasalnya tempatku kerja ini menggaji karyawannya berdasarkan jumlah pernghasilan yang didapatkan sebulan, jadi kalau sepi seperti saat ini alamat aku akan sangat sedikit mendapatkan gaji.
"Makanya pertandingan besok jangan sampai kalah, biar dapat duit yang banyak." Sindir pak Jaya yang sudah masuk kembali ke gudang mengecek stok barang yang sejatinya sudah hampir berkali-kali ia cek hari ini.
Sebenarnya apa yang dikatakan pak Jaya tentang aku harus menang benar adanya, hanya dengan itu aku bisa mendapatkan uang yang berlimpah, satu kali pertandingan menang aku bisa mendapatkan uang sampai sepuluh juta bahkan lebih. Sepertinya aku memang harus berlatih lebih keras. Manusia-manusia Katalis itu harus aku kalahkan, aku harus lebih percaya diri. Setidaknyanya aku bisa membuktikan manusia biasa juga berhak mendapatkan penghargaan dan juga pastinya mendapatkan uang.
"Aku harus menang." Teriakku dengan penuh semangat, tanpa aku sadari pak Jaya di dalam gudang tersenyum salut dan bangga dengan perjunganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma : The Secrets of the Hidden City
FantasíaBayangkan hidup di dunia yang dipenuhi perbedaan tajam, larangan ketat, dan teka-teki tak terjawab. Itulah yang dirasakan Elara dan Ronan di Kalimora, sebuah kota di mana kemewahan para elit Katalis bertentangan dengan kehidupan keras di jalanan baw...