"sialan! Kamu pembawa sial!"
Prangg!!
Suara piring yang dilempar, pecah berkeping-keping. Aku terdiam disudut ruangan, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kaki ku lemas, diriku juga diselimuti rasa takut. Rambut yang sudah tidak karuan karena dijambak, luka lebam di sekujur tubuh terasa menyakitkan. Darah segar mengalir di ujung bibir."Ahhh"
Tubuhku mati rasa, kapan ini akan berakhir? Tidak ada bosannya kah mereka melakukan ini pada tubuh yang sudah tidak berdaya ini. Netra ku memandang sapu yang digunakan memukul kini sudah patah menjadi dua bagian, beberapa pecahan piring yang dilempar, dan kini? Kini kepala ku seperti tidak memiliki rambut karena dijambak."Kau! Seharusnya dulu aku tidak mempertahankan mu! Sialan!"
Aku hanya menunduk dalam diam, saat mendengar kalimat itu. Mencerna kalimat yang baru saja ia keluarkan. Kenapa dia mempertahankan tubuh ini kalau pada akhirnya tubuh ini hanya untuk disiksa setiap harinya? Apakah tubuh ini hanya untuk pelampiasan saja baginya? Belum sampai aku selesai mencerna kalimat itu.
Boughh!!
"Ahhh, Tuhan"
Tubuh ku benar-benar mati rasa, lagi dan lagi kepala ku dibentur ke tembok. Aku meringis kesakitan, air mata terus menerus mengalir di wajah ku. Aku terduduk menangkup kedua tangan ku, memohon agar semua ini segera berakhir. Ini memang bukan yang pertama kalinya, tetapi tubuhku sudah sangat lelah. Sayup-sayup aku seakan seperti melihat maut sedang datang menjemput. Namun itu hanyalah sekelebat bayangan saja.Tuhan kehidupan macam apa ini?
Mata ku menggelap, tubuhku semakin lemah tak berdaya. Apakah ini sudah berakhir? Apakah mereka sudah puas memukuli ku? Aku bangun perlahan ketika merasa dapur yang porak poranda ini sepi. Dengan tenaga yang tersisa aku mencoba untuk memperbaiki keadaan dapur yang tidak bersalah itu kembali.Aku pusing, kepala ku sangat sakit, rambut ku terasa tercabik-cabik, lalu tubuhku terasa seperti mati rasa. Sebenci itukah mereka padaku? Aku terus menerus berpikir salah ku dimana? Kenapa mereka terus menerus memberikan cacian pada tubuh yang tak berdaya ini? Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi. Wajah dan bibir ku terasa begitu ngilu saat disentuh, badan ku rasanya sudah tidak karuan.
Tuhan mengapa aku tidak pernah mendapatkan keadilan? Tuhan kapan aku tidak akan merasakan sakit lagi? Aku memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Melupakan semua kejadian yang sudah terjadi.
Tuhan salah kah aku jika aku mengharapkan kehidupan yang lebih baik? Tuhan salah kah aku jika aku ingin menyerah sekarang juga? Tuhan skenario kehidupan seperti apa yang sudah engkau siapkan untuk ku di depan sana, sehingga engkau memberikan ku rintangan bertubi-tubi saat ini? Tuhan salah kah aku jika aku mengharapkan maut segera memanggil ku? Aku sudah tidak kuat lagi Tuhan, kapan keadilan dan keberuntungan akan menghampiri ku?
'Aku hanya bisa berharap dan terus berharap bahwa keadilan itu akan datang suatu saat nanti'
KAMU SEDANG MEMBACA
Relung Rembulan
Short Story"Dunia yang rumit, dan siklus kehidupan yang selalu berputar"