Rencananya memang cukup sehari aku menumpang di rumah Kak Puspa, tapi mengurus kepindahanku dan Rio tidak semudah itu.
Kemarin, aku sudah bertemu pemilik kosan ditemani Kak Puspa dan Kak Riki—kakak iparku.
Sejauh ini, aku memang belum pernah tinggal berpisah dari orangtuaku. Jadi aku tidak tahu menahu bagaimana langkah-langkah jika ingin tinggal di sebuah kosan.
Maksudku... yang aku lakukan sekarang ini hampir mirip seperti wawancara.
Kami datang ke rumahnya, yang tidak jauh dari lokasi kosan. Untuk menyerahkan fotokopi KTP, kartu mahasiswaku, dan bahkan KK.
Tidak sampai di situ, Bu Sumarni—si pemilik kosan—yang kalau boleh kutaksir, usianya sekitaran 60tahun. Dengan rambut pendek yang sebagian telah memutih.
Kini, mulai bertanya hal-hal ringan padaku. Usia berapa, kuliah di mana, kegiatanku sekarang apa, hobi, sampai makanan kesukaan dan apa aku punya alergi.
Buatku, ini aneh.
Meski Rio bilang Bu Sumarni memang cukup selektif dengan calon penghuni kosannya, aku hanya tidak menyangka caranya semacam ini.
Bahkan Rio juga sempat bilang, tidak jarang Bu Sumarni menolak orang-orang yang ingin menyewa kosannya jika sejak awal merasa tidak cocok.
Oh, astaga. Sekarang gantian Kak Puspa dan suaminya yang diwawancara.
Dua hari setelahnya, barulah Rio menghubungiku. Katanya, aku sudah boleh mempersiapkan kepindahanku.
Yang artinya, aku diterima.
Jadi hari ini, aku bertemu Rio untuk melihat-lihat kosan. Kemudian besoknya, aku bisa pindah.
“Ping!” Rio berdiri di depan warung makan sambil melambaikan tangannya ke arahku.
Aku berlari kecil menghampirinya lalu memeluknya singkat.
“Apa kabar lo?” tanyanya.
Aku menunjuk bawah matanya yang menggelap. “Kayaknya lebih cocok gue deh yang nanyain kabar lo.”
Rio menahan senyumnya dan mengangkat bahu. “Ya gitu lah, kehidupan orang dewasa.”
Aku memutar bola mata. Dewasa apanya? Usia kami hanya terpaut setahun.
“Fase yang dulu gue tunggu-tunggu, ternyata setidakmenyenangkan itu,” keluh Rio.
“Bukan hidup namanya kalo seneng-seneng terus.” Aku mengikuti langkahnya yang melipir ke jalan kecil di samping warung makan.
Rio manggut-manggut.
“Masuknya lewat sini?” tanyaku heran.
Rio mengangguk sembari menunjuk warung yang tampak ramai itu. “Tenang aja, ini warung punyanya ibu kos. Kalo mau cepet, lo lewat sini aja. Di luar juga ada gang kecil kok kalo lo bawa kendaraan, jadi nanti masuknya lewat samping.”
“Oh, oke.”
Unik juga. Biasanya kos-kosan dibangun di pinggir jalan dan diberi nama besar-besar agar bisa terlihat bahkan dari jarak jauh, tapi ini malah tersembunyi di balik warung makan.
“Kebetulan Bu Sumarni pulang kampung. Ada kenalannya yang meninggal. Jadi gue aja yang nemenin lo keliling,” kata Rio lagi.
“Enggak masalah.”
Ada sekitar 10 meter jarak yang memisahkan antara kosan dan bagian belakang warung. Hanya halaman yang mungkin digunakan sebagai tempat parkir.
Mataku belum sepenuhnya memindai bagian depan kosan ketika ekor mataku tak sengaja menangkap sesuatu bergerak di sebelah kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Bu Sumarni
RomanceRencananya, Pinkan cukup tinggal beberapa bulan saja di sebuah kos-kosan untuk menata mental setelah perpisahan orang tuanya. Tapi kok makin lama, Pinkan malah makin nyaman. Pinkan merasa menemukan keluarga baru. Apalagi di sana, Pinkan bertemu laki...