Jam sepuluh pagi dan kosan sudah sepi. Sesampainya di lantai bawah, aku tidak menemukan tanda-tanda adanya manusia selain aku.
Di dapur, aku menyeduh segelas coklat panas lalu membawanya ke teras. Menikmati pemandangan bagian belakang warung Bu Sumarni, beserta Dante yang sedang bermalas-malasan di dekat rumah mungilnya.
Dia seperti tidak peduli dengan kehadiranku, buktinya Dante yang tertidur hanya membuka mata sebentar dan melanjutkan lagi tidurnya.
Syukurlah dia tidak melihatku sebagai orang yang patut dicurigai.
Sembari menikmati minumanku, ibu jariku mulai menggulir berbagai postingan di media sosial. Dan tidak terasa satu jam telah berlalu.
Itu pun, aku tersadar karena samar-samar mendengar suara dari dalam kosan. Belum sempat bangkit untuk memastikan, seseorang tiba-tiba muncul di pintu.
Bondan menguap lebar sambil meregangkan tubuhnya. “Heeem, wangi banget,” gumamnya tak jelas.
Bondan akhirnya membuka mata lalu menoleh ke arahku. “Shit!” Dia tersentak hingga mundur selangkah.
Aku bagaimana? Aku juga ikut kaget karena reaksinya.
Satu tangannya berpegang digagang pintu dan satunya lagi mengelus dadanya. “Ping, sejak kapan lo duduk di situ?” tanyanya dengan muka lemas.
“Dari tadi.”
“Ah, kaget banget gue.” Bondan duduk di sebelahku.
“Kirain enggak ada orang di kosan,” kataku.
“Semalam kita udah janjian, masa gue keluar?”
“Si—"
“Jam 11!” Bondan tiba-tiba bangkit. Untuk kedua kalinya, aku terkejut. “Waktunya makan siang, Ping.”
“Sekarang? Enggak kecepetan?”
Bondan menggeleng. “Sekarang waktu yang paling pas. Warungnya Ibu rame banget pas makan siang.”
Aku mengangguk-angguk. “Ya udah, ayo.”
“Tunggu.” Bondan menahan bahuku dan mendorongku kembali duduk. “Gue belum mandi. Kasih gue waktu 10 menit.”
Aku membuka ponsel lalu menunjukkan timer yang telah kuatur dalam 10 menit. “Dimulai dari sekarang.”
Bondan bahkan hanya membutuhkan waktu 7 menit hingga dia muncul lagi dalam keadaan yang lebih segar. Wangi sabunnya saja tercium setiap dia bergerak.
“Udah kenalan belum sama Dante?” tanya Bondan saat kami melewati Dante yang tertidur pulas.
Aku mengangguk. “Dikenalin sama Rio.”
“Kalo lo mau lebih deket, di ruang tamu ada snack-nya Dante. Lo kasih deh sesekali,” saran Bondan dan kubalas dengan ringisan.
“Itu beneran peliharaannya Bu Sumarni?” tanyaku.
“Panggil Ibu aja. Itu anak anjing yang dipungut Mas Abim.”
“Wah, Ibu ngizinin?”
“Ibu tuh orangnya juga ibaan, makanya iya-iya aja.”
Aku tidak lagi bertanya, kami telah sampai di warung Bu Sumarni. Kalau dilihat sekilas, warungnya tidak begitu luas namun tertata dengan rapi.
Di depan, ada etalase yang memajang berbagai macam lauk. Mungkin, ada 10 lebih. Lalu dua meja panjang yang berhadapan dengan tembok dan lima meja yang lebih kecil.
“Silakan dipilih.” Bondan mempersilakan.
Seorang perempuan paruh baya yang sedang membungkus lauk, tersenyum cerah melihat kami. “Eh, anak ganteng. Mau makan apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Bu Sumarni
RomansaRencananya, Pinkan cukup tinggal beberapa bulan saja di sebuah kos-kosan untuk menata mental setelah perpisahan orang tuanya. Tapi kok makin lama, Pinkan malah makin nyaman. Pinkan merasa menemukan keluarga baru. Apalagi di sana, Pinkan bertemu laki...