7 - Sabtu Berisik

235 69 1
                                    

Untuk pertama kalinya, aku dilibatkan dalam agenda mingguan penghuni kosan.

Pagi tadi setelah berembuk menentukan makanan apa yang akan dibuat, akhirnya pilihannya jatuh pada ceker mercon dengan level kepedasan menengah ke bawah.

Alasannya, Bu Sumarni dan beberapa orang tidak sanggup makan makanan yang terlalu pedas.

Semua bahan telah tersedia dan aku ditemani Inggi, diberi tugas memotong kuku-kuku cekernya. Cukup melelahkan, mengingat berat ceker yang hampir mencapai 3 kg.

“Kenapa tadi gue sok-sokan enggak pilih ceker tanpa tulang?” keluhnya pada diri sendiri, namun guntingnya tidak berhenti memotong kuku ceker.

Setelah ceker terpilih, sempat ada voting yang diambil untuk memilih ceker tulang atau tanpa tulang. Aku memilih ceker tanpa tulang karena tidak ingin menyusahkan diri.

Sayangnya, votingnya lebih banyak memilih ceker original.

Dan salah satunya adalah Inggi, tapi sekarang dia malah mengeluh dengan pilihannya.

“Ini tinggal dikit kok,” kataku menghibur.

“Kok di mataku ini masih banyak, ya, Kak?” Inggi menghela lelah.

Membiarkannya terus mengeluh, aku berbalik menuju meja makan. Mengambil panci besar di sana—yang dipinjam dari Bu Sumarni, menambahkannya air, lalu menaruhnya di atas kompor yang menyala.

“Oh! Kak, gue baru ingat.”

Aku kembali melanjutkan tugasku sembari mengangguk.

“Setelah hari itu, Kak Ping pernah enggak papasan sama Mas Abim?” tanya Inggi setengah berbisik.

Aku meletakkan pisauku dan menoleh ke arah Inggi. Setelah berhari-hari berlalu, aku selalu melewatkan kesempatan bertanya padanya. “Gue juga baru inget belum nanyain alesan kalian ketakutan banget. Emangnya kenapa sih?”

Inggi melongo. “Kak Ping enggak malu?”

“Malu kenapa? Karena gue bilang dia ganteng?”

Inggi mengangguk.

“Enggak.”

“Kok bisa?” tanyanya heran.

Aku juga ikut heran. “Ya bisa. Ya kan menurut gue dia emang lumayan.”

“Iya sih.” Inggi manggut-manggut. “Eh, tapi, kalo cowoknya cuek, gantengnya bakal ilang,” gumamnya.

“Ngi, lo belum jawab pertanyaan gue.” Aku mengingatkan.

“Oh iya.” Inggi menengok kiri dan kanan lalu merapat. “Jadi, katanya dulu tuh, tepatnya gue enggak tau, Kak. Ada cewek yang suka sama Mas Abim. Saking sukanya, dia enggak segan deketin Mas Abim.”

Aku mengangguk pelan, membiarkannya melanjutkan.

“Mungkin udah masuk kategori agresif lah. Pokoknya tiap ada kesempatan, tuh cewek pasti nempel. Sampe akhirnya, Mas Abim mungkin udah cape, risi, muak, segala macem, Mas Abim teriak-teriak kasih tau tuh cewek. Dan satu kosan denger, Kak.”

“Marah-marah gitu?”

Inggi mengangguk cepat. “Iya, terus katanya itu pertama kalinya Mas Abim marah, teriak-teriak, ngomong panjang lebar.”

“Terus?”

“Terus setelah itu, Mas Abim makin jarang lah mondar-mandir di kosan. Dia, kalo enggak di warungnya Ibu, ya di kamarnya.”

“Ceweknya gimana?” tanyaku penasaran.

“Katanya, seminggu kemudian dia pindah. Karena malu mungkin.” Inggi mengendik tak yakin.

Kosan Bu SumarniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang