Malam ini, kali ketiga aku naik ke rooftop.
Pertama, bersama Rio. Kedua, sendiri. Dan sekarang, aku bersama Kayana dan Bondan. Tapi kami masih menunggu dua orang yang sedang mencari martabak. Sementara, Sekar dan Samuel tidak bisa bergabung.
Kata Kayana, seusai acara masak dan makan-makan, Sekar memang punya kebiasaan berdiam diri di kamar. Menikmati hari libur dengan seharian tidur sebelum kembali berkutat dengan pekerjaan.
Samuel beda lagi. Kadang ikut, kadang tidak. Tergantung, besoknya dia mau ke gereja atau tidak.
“Kalian enggak ngajak Mas Abim?” Dengan celana selututnya, Bondan bersandar di pagar tembok rooftop sambil memetik pelan gitar yang tadi dibawanya.
Di antara dua lampu yang dipasang di sudut pagar, sosok Bondan tampak jelas meski di tengah malam.
Jika diperhatikan baik-baik, Bondan memang tampan. Alis rapi, mata jernih yang tampak bersahabat, ukuran hidung yang proporsional dengan wajahnya yang oval, bibir tipis, dan garis rahang yang cukup tajam.
Dan kurasa, dia pun sadar dengan hal itu. Buktinya bisa dilihat dari bagaimana dia selalu melenggang dengan percaya diri.
“Serius lo nanya itu?” tanya Kayana balik. Ada raut tak percaya di wajahnya.
Bondan mengendikkan bahu acuh tak acuh lalu kembali memetik gitar secara asal.
“Dia enggak pernah ikut gabung?” Kali ini aku yang bertanya.
Kayana menghela napas. “Diajak ngomong aja susah, enggak mungkin dia mau.”
“Pernah coba?” sela Bondan.
Kayana memicing kesal. “Enggak perlu dicoba. Gue udah tau jawabannya.”
Bondan meletakkan gitar sembari geleng-geleng kepala. Setelah itu, dia melirik ke arahku. “Ping, siapin mental. Senin lo mulai bantu-bantu warung Ibu, kan?”
Aku mengangguk.
“Sori, ya. Harusnya gue bantu nolak, gue lupa kalo Mas Abim juga kerja di warungnya Ibu. Gue ingetnya ya itu warungnya Ibu,” sesal Kayana.
Aku menggeleng. Lagian kalau ada yang harus disalahkan, itu Inggi. Dia yang tiba-tiba menyebut namaku di tengah orang-orang yang sedang mencari jalan keluar.
Tapi bukan berarti aku marah, mungkin Inggi juga tidak sadar dengan ucapan spontannya.
“Mas Abim udah lama kerja di warungnya Ibu?” tanyaku ingin mencari tahu lebih banyak sebelum terjun ke lapangan.
“Rio enggak cerita, Ping?” tanya Bondan.
“Cerita apa?” Aku melirik Bondan dan Kayana bergantian penuh tanda tanya.
Kayaknya banyak yang harus aku tahu tentang kosan ini.
Kayana menggeser kursi rotannya merapat lalu berkata dengan suara pelan. “Kita denger ini dari penghuni kosan sebelumnya, tapi kayaknya sih valid. Ini soal Ibu dan Mas Abim.”
Aku diam.
“Katanya, Ibu tuh janda kaya raya.” Kayana setengah berbisik.
Aku mengernyit selama tiga detik. Detik selanjutnya alisku terangkat tinggi dan secara otomatis mataku ikut melotot. Maksudnya mereka ada hubungan? Mulutku hampir menganga lebar seandainya Kayana tidak segera mencegahnya.
“Stop!” Kayana mendorong daguku naik agar mulutku terkatup. “Gue tau ada yang dipikiran lo, Kak. Bukan gitu.”
Sekarang aku justru malah makin terkejut. “Kok lo tau?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Bu Sumarni
RomanceRencananya, Pinkan cukup tinggal beberapa bulan saja di sebuah kos-kosan untuk menata mental setelah perpisahan orang tuanya. Tapi kok makin lama, Pinkan malah makin nyaman. Pinkan merasa menemukan keluarga baru. Apalagi di sana, Pinkan bertemu laki...