Wow!
Sambutan yang sangat meriah. Bukan cuma Rio yang menungguku di depan warung, tapi kayaknya semua penghuni kosan. Bu Sumarni pun ada di sana.
Kak Puspa yang duduk di depan, menengok setelah melihat pemandangan langkah di depan sana. “Kosan ini beneran unik.”
Aku mengangguk setuju. Padahal aku tidak berharap disambut seramai ini.
Kak Riki memarkir mobilnya di pinggir jalan. Aku segera menyampirkan tas ranselku, memeluk bantal besarku, dan membawa satu lagi tas jinjing.
Semua mata langsung tertuju padaku. Ada tiga laki-laki, termasuk Rio, tiga perempuan, dan Bu Sumarni. Aku mengulas senyum sebagai rasa terima kasih karena repot-repot menungguku.
Sementara aku diam di tempat, dikarenakan kikuk dengan kejutan ini, Kak Puspa menghampiri Bu Sumarni dan berbincang. Lalu Kak Riki langsung menuju bagasi diikuti Rio dan dua laki-laki lainnya.
“Ada barang lain enggak? Gue bantu bawain,” tanya perempuan yang rambutnya dicepol asal.
Aku menggeleng cepat. “Enggak usah, berat.”
“Bagi kita aja, lagian lo juga bawa ransel,” sahut perempuan berhijab hitam yang mukanya sejuk banget.
“Enggak apa-apa, gue bisa kok,” tolakku lagi.
“Kakak cantik banget,” puji perempuan yang menutupi setengah mukanya menggunakan rambut panjangnya.
Serius, panjang rambutnya itu sampai menyentuh pantatnya. Dan rambutnya bukan tipe kering dan tidak terawat. Justru kebalikan dari itu. Rambutnya tebal dan mengilap sehat.
Aku tersenyum canggung. “Oh, makasih.”
“Woi, Kamal datang!!!”
Kakiku melangkah mundur saat suara teriakan itu terdengar lalu disusul dengan seorang laki-laki yang berlari menghampiriku. Berhenti di hadapanku, laki-laki itu menatapku terang-terangan.
Dia melirik perempuan yang masih menutupi wajahnya dengan rambut. “Ini orangnya?”
Perempuan berambut panjang itu mengangguk.
Laki-laki itu tersenyum lebar lalu mengikat rambutnya yang sedikit memanjang. “Gue Kamal. Sini biar gue yang bawa.” Tangannya secepat kilat merebut tas jinjingku. Aku bahkan tidak sempat menolak.
“Panggil aja Jamal,” ujar laki-laki berkaus putih, yang mendorong salah satu koperku. Sementara satu lagi koperku dibawa laki-laki bermata agak sipit yang sejak tadi hanya diam.
“Iya, Jamal lebih cocok sama muka dia,” tambah Rio sambil memeluk kardus berisi makanan.
“Kamal,” ulang laki-laki bernama Kamal itu.
“Pinkan,” balasku.
“Kenalannya nanti aja di dalam,” sela perempuan berhijab itu. “Ayo, Pinkan.”
Saat mataku dan Kak Puspa bertemu, sejenak kami terdiam lalu mengulas senyum tipis. Kak Puspa menghampiriku dan mengusap-usap punggungku.
“Kak, lo pulang aja, barang-barangnya biar kita yang bawa,” saran Rio.
Aku mengangguk. “Enggak usah nganterin sampe dalam,” kataku pelan.
Kak Puspa melirik suaminya sebelum akhirnya mengangguk dan memelukku. “Kalo mau dijenguk, bilang, ya.”
“Iya.”
Jarak rumah Kak Puspa dan kosanku tidak terpisah berpuluh-puluh kilometer. Jadi tidak ada yang perlu ditangisi atau merasa kehilangan. Lagi pula, aku tidak akan tinggal di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Bu Sumarni
RomanceRencananya, Pinkan cukup tinggal beberapa bulan saja di sebuah kos-kosan untuk menata mental setelah perpisahan orang tuanya. Tapi kok makin lama, Pinkan malah makin nyaman. Pinkan merasa menemukan keluarga baru. Apalagi di sana, Pinkan bertemu laki...