12 - hari pertama

194 69 3
                                    

Karena hampir semua lauk yang tersedia di warung Ibu dimasak oleh beberapa orang, makanya persiapan sebelum warung dibuka tidak memakan waktu lama.

Kemarin, Ibu bilang, subuh-subuh beliau dan Mas Abim akan ke pasar membeli bahan yang diperlukan. Lanjut memasak sayur, nasi, tambahan lauk lain, dan mengisi termos teh.

Bagi Ibu, semua pekerjaan itu bisa diselesaikan berdua saja bersama Mas Abim. Makanya Ibu menyuruhku tidak perlu datang terlalu pagi.

Tapi aku tidak bisa menuruti perkataan Ibu.

Aku ingin membiasakan diri dengan suasana warung setidaknya beberapa jam sebelum warung buka. Yang mungkin juga bisa menghilangkan sedikit banyak kegugupan yang kurasakan.

“Pagi,” sapaku pada Sekar setelah menandaskan kopi instan di gelasku.

“Pagi. Mau langsung ke warung?” balas Sekar sembari mengisi tumblernya.

“Iya, mau bantu Ibu,” kataku.

Sekar mengangguk dan aku pamit. Langkahku memelan saat melewati rumah Dante. Anjing itu masih tertidur lelap dan aku tidak ingin menarik perhatiannya.

Tinggal selangkah lagi aku sampai ke pintu belakang warung ketika pintu itu lebih dulu mengayun terbuka. Kakiku secara otomatis mundur sampai dua langkah.

Netraku dan Mas Abim bertemu. Tak lama, karena Mas Abim segera mengalihkan pandangan. Kresek hitam yang ditentengnya segera dilemparkan ke tempat sampah.

Tanpa kata Mas Abim melengos masuk. Untung saja pintunya juga tidak ikut dia tutup. Setidaknya dia masih punya sopan santun.

Aku mengulas senyum terpaksa untuk memperbaiki suasana hatiku. Di hari pertama ini, tidak ada yang boleh merusaknya.

Di dapur, Ibu telah sibuk memotong-motong sayur. Sementara Mas Abim sudah berdiri di depan kompor, sedang menumis bumbu.

Ibu yang duduk di kursi jongkok menoleh ke arahku. “Eh? Kok cepet banget datangnya.”

“Aku mau ikut bantu, Bu.”

“Padahal enggak usah, tapi makasih, ya.” Ibu berdiri, menarik celemek dusty pink yang tergantung di dinding. “Kamu potongin kangkung, bisa?” tanya Ibu.

“Bisa, Bu,” jawabku sambil memakai celemek yang masih tampak baru ini.

Setelah melekat di tubuhku, aku baru sadar Ibu juga memakai celemek berwarna steel blue. Aku menoleh, untuk melihat celemek warna apa yang dimiliki Mas Abim.

Aku mengangguk samar. Warna hitam memang cocok untuknya.

“Abim, bantuin Pinkan. Itu bumbunya biar Ibu yang lanjutin,” titah Ibu begitu aku duduk.

“Ini dikit kok, Bu, enggak usah dibantu,” tolakku.

“Enggak apa-apa, biar cepat,” putus Ibu dan tak lama Mas Abim bergabung denganku. Di batasi baskom berisi kangkung, Mas Abim duduk di hadapanku.

Tangannya dengan gesit menyisihkan helai daun kangkung yang agak menguning atau tidak layak lalu menumpuknya di talenan. Dia memotongnya dalam ukurannya lebih kecil dan menaruhnya di wadah lain.

Selama beberapa menit, hanya ada suara renyah dari batang kangkung yang terpotong. Sampai akhirnya, pertanyaan dari Ibu menyela kebisuannya. “Pinkan, punya pacar?”

Meski agak terkejut mendapat pertanyaan yang agak privasi, aku menjawab, “Enggak ada, Bu. Kok Ibu tiba-tiba nanya soal pacar?”

Ibu memasukkan penyedap rasa ke wajan besar dan bertanya lagi. “Masa enggak punya?”

Kosan Bu SumarniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang