00. Prolog

1.1K 69 10
                                    

Faye



Sial! Aku baru memakainya sekali dan cipratan darah mengenai kemeja putih ku. Bagaimana aku akan menjelaskannya pada paman Tom nanti. Penatu langganan ku pasti akan mengomel habis-habisan.

"Arrgghh!!"

Pria yang baru saja kehilangan kaki kanannya itu masih sanggup berdiri. Berusaha menjauh dariku sambil terseok-seok. Aku cukup terkesan dengan kegigihannya, tapi karena tingkahnya itu bajuku jadi kotor. Salahku memang, kalau saja aku tahu akan menghadapi amatir seperti mereka, seharusnya aku tidak perlu memakai setelan mahal begini.

"Jangan terburu—"

Tiba-tiba saja satu tembakan tanpa peringatan dilepaskan yang langsung mengenai belakang kepala pria itu. Dia terkapar dan tewas seketika.

"Kenapa kau membuatnya langsung mati? Siapa yang akan membayar tagihan penatu ku nanti?" aku berbicara pada si tersangka, yang sejak tadi bersembunyi di kejauhan. Lux.

Dia tergelak, "Kau sudah tahu aku datang tapi tetap menghadapi mereka sendirian dengan tangan kosong. Seharusnya kau meminta bantuanku daripada buang-buang waktu begini."

"Kau tidak lihat ini?" aku pura-pura menodongnya dengan pisau yang berlumuran darah.

"Kau sebut pisau tua itu senjata? Seleramu semakin hari semakin payah."

Sialan, Lux mengejekku lagi. Dia juga sering meremehkan cara bertarung ku. Salah satu senjata andalanku ini baginya hanya benda usang yang ketinggalan jaman. Meskipun ukurannya tak lebih dari 30 cm tapi pedang kecil ini cukup tajam untuk menebas leher manusia seperti memotong tahu.

"Saranku, berhenti menggunakan barang kuno, kau jadi ketularan tua. Cobalah memakai sesuatu yang keren. Kau masih 24 tahun, benda itu tidak cocok."

"Tunggu sampai aku mencobanya padamu."

"Oh! Mari kita lihat siapa yang lebih cepat. Leherku yang putus atau dadamu yang bolong?"

Lux tertawa sambil menyombongkan pistol canggihnya yang baru. Untuk pertarungan jarak jauh, senjatanya memang lebih unggul. Tapi bagiku tak ada yang bisa mengalahkan sensasi mendebarkan menggenggam sebuah pedang yang mata pisaunya mulai menyayat kulit, merobek daging, bahkan memotong tulang jika dilakukan dengan teknik yang benar. Tidak ada suara letusan dengan ukurannya yang kecil dan mudah di sembunyikan sangat cocok untuk membunuh dalam keheningan. Detik-detik meregang nyawa. Ada kepuasan tersendiri saat goresan pisau mengenai titik vital. Membayangkan mangsa mati tanpa sempat tahu apa yang sedang terjadi. Dimana ketakutan juga keputusasaan yang terpantul dari mata mereka dapat tergambar begitu jelas.

"Hey, kau tidak benar-benar membayangkan sedang memotong leherku kan?"

Lux menepuk pundakku. Aku tersenyum menang ketika melihatnya memasang wajah ngeri sambil meraba lehernya sendiri. Ternyata bocah tengil ini masih takut mati.

"Punya korek?"

"Tidak boleh," dengan lancang Lux menarik rokok dari mulutku dan membuangnya ke tanah.

Aku melotot saat Lux tiba-tiba mengalungkan lengannya ke leherku. Menggiring ku meninggalkan lokasi eksekusi begitu tim pembersih datang. Dia sudah sangat mengerti bagaimana cara berdamai atau meredam emosiku dengan cepat. Menjauhkan mayat-mayat itu dari jangkauan pandangan mataku adalah salah satunya.

"Mulai sekarang kau tidak boleh merokok."

Satu tangannya merogoh saku dan mengeluarkan permen lolipop. Setelah membuka bungkusnya dia lalu menjejalkan ke dalam mulutku sebagai ganti rokok tadi. Mungkin dia sadar kalau tidak bertindak cepat, aku bisa saja benar-benar menebas lehernya. Nasib baik ini lolipop stroberi. Rasa favoritku.

FIREFLIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang