04. A Heart of Sunflower

701 60 21
                                    

.





.




.



.

Hujan deras malam itu baru saja reda. Awan-awan menggumpal yang menutupi bulan sabit mulai menyingkir. Suasana desa di pinggiran kota yang selalu sunyi, hanya terdengar samar-samar suara kodok dan serangga saling bersahutan. Menambah hawa dingin yang mencekam. Saat sepasang kaki kecil berlari tanpa alas menyusuri jalanan gelap. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Dari mulutnya yang menggigil keluar asap putih tipis. Meski sudah terengah-engah ia tak berani menoleh ke belakang apalagi berhenti. Di dalam kepalanya dia hanya berpikir untuk lari, lari dan lari. Mengabaikan rasa perih di punggung, luka cambuk masih menganga karena guyuran hujan membuatnya semakin lama kering. Pakaian putih yang membungkus tubuh mungilnya nampak lusuh terkena lumpur. Dia tiba-tiba jatuh tersungkur. Karena kondisi jalanan yang gelap, ia tidak bisa melihat ranting di depannya.

Tak hanya punggung, kini lutut dan telapak tangannya juga berdarah. Anak itu meringis kesakitan. Ketika sedang berusaha bangkit dia dikejutkan oleh cahaya terang yang langsung menyorot ke arahnya. Cahaya yang sangat menyilaukan hingga ia tak dapat melihat apapun.

Sedan berwarna hitam ternyata sudah menghadang. Saat menyadari hal itu ia langsung panik dan ingin berdiri namun sayang, kakinya terkilir. Tubuhnya kembali ambruk ke aspal disertai erangan panjang. Dia benar-benar kesakitan.

Pipinya yang basah oleh air mata tak ia hiraukan sebab pria di belakang kemudi terlihat keluar dari mobil dan berjalan mendekat. Rasa takut yang teramat sangat segera merasukinya. Dia dengan segenap tenaga berusaha menjauh namun sudah terlambat. Ia tak bisa lagi melarikan diri. Tangan kekar pria itu telah menjambak rambutnya kemudian menyeretnya tanpa belas kasih. Dia berusaha memberontak tapi perbedaan kekuatan sama sekali tak sebanding.

"Lepaskan dia!"

Hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pria kekar itu menoleh pada seorang wanita yang sudah menodongnya dengan pistol. Dia lalu tersenyum seakan ancaman tersebut tak pernah ada. Menggunakan satu tangan dia santai mencekik anak tadi hingga tubuhnya terangkat. Justru si perempuanlah yang kini terlihat panik, menyaksikan anak malang itu meronta-ronta.

"Cukup! Hentikan!"

Pria itu menyeringai, "Aku hanya akan melawan mu dengan tangan kosong."

"Oke ..."

Wajah anak itu memerah kehabisan nafas. Dengan tatapan jerih, dia melihat perempuan itu pelan-pelan meletakkan senjata. Sesaat setelah pistol menyentuh tanah, tangan si pria langsung melepas cengkraman di lehernya dan tubuh ringkihnya terjun ke bawah. Dia jatuh dengan posisi telungkup tak berdaya. Samar-samar ia masih dapat menyaksikan perkelahian mereka meski tak begitu jelas karena kesadarannya mulai menurun dan ia pun berakhir pingsan. Sampai membuka mata kembali karena merasakan guncangan, ia tidak melihat lagi pria kejam yang menyiksanya. Entah apa saja yang sudah terjadi dan berapa lama dirinya tertidur, kini ia berada di punggung laki-laki yang menggendongnya. Sementara itu perempuan yang menolongnya tadi memimpin di depan. Mereka sedang lari menghindari kejaran.

"Senior ..." bisik si anak seraya tersenyum lemah. Walaupun keadaannya sudah setengah sekarat, ia masih dapat mengenalinya.

Laki-laki dan perempuan itu adalah sepasang suami istri yang juga sama-sama seorang mantan pembunuh bayaran. Mereka berhenti sejak memutuskan menikah setahun yang lalu dan anak yang bersamanya sekarang juga menjadi sebab mengapa mereka memilih pensiun lebih awal.

Nampaknya takdir berkata lain, kelegaan anak itu tak berlangsung lama. Pelarian harus terhenti karena di depan sudah berjaga lusinan orang yang mencegat. Mereka menghadang dan mengepung dari berbagai arah. Membuat pasangan suami istri itu mati langkah.

FIREFLIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang