Davin mengetuk-ngetuk bolpoin dimeja kerjanya, entah pria itu memikirkan adiknya Nara yang selama ini tak pernah terlintas sedikit pun dikepalanya. Tapi kali ini gadis itu seakan selalu menganggu pikirannya.
"Kenapa dia bisa berubah seperti itu yah". Gumamnya menopang dagu menatap bolpoin yang sedari tadi dimainkannya.
"Apa ini siasat barunya agar semua orang simpati padanya tapi pembawaan nya seakan tidak mengatakan hal itu". Sambungnya lagi.
"Aku harus telepon mbak Zora, mungkin dengan ada nya dia, Nara akan bersifat seperti semula".
Davin segera meraih ponsel yang terletak disamping nya kemudian menekan nomor Zora kakak pertamanya.
"Assalamualaikum mbak". Ucap Davin menghela nafas ketika telepon nya sudah dijawab.
"Hmmm.. waalaikumsalam ada apa?". Jawab Zora cuek.
Davin menghela nafas panjang, entah kenapa kini keluarga nya seakan berantakan. Kakak tertuanya itu tidak pernah lagi sekedar berkunjung kerumah orang tuanya padahal dulu dia selalu menyempatkan waktu ketika suaminya sedang libur atau cuti kerja.
"Mbak Zora apa kabar ?". Tanya nya yang sekedar ingin basa-basi.
"Langsung saja keintinya, saya tidak ada waktu meladeni kamu".
"Maaf mbak, apa mbak nggak kangen sama papa dan mama. Kenapa mbak tidak pernah datang berkunjung kerumah lagi".
"Kenapa kamu tanya sama saya. Bukan kah mama sendiri yang mengusir saya saat kesana gara-gara anak sialan itu".
Kening Davin berkerut karena tak tahu akan permasalahan itu "maksud mbak Zora apaan sih, aku nggak ngerti, siapa yang mbak maksud anak sialan? Nara?".
"CK, percuma saya bicara sama kamu. Satu lagi jangan pernah mengatakan adik kesayangan saya anak sialan yah. Yang saya maksud itu anak angkat itu. Tanyakan saja pada mama sama papa. Saya malas menjelaskannya".
Tut
Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Zora, entah kenapa dia begitu marah dengan keluarganya, terutama kedua orang tuanya dan juga Zora adik kesayangan mereka.
Dia kembali menelpon kakak nya, karena belum sempat mengatakan jika saat ini Nara sedang dirumah sakit.
"Ada apa lagi sih kamu nelpon saya terus". Ketus Zora di seberang telepon.
"Dengarkan aku dulu mbak, Nara sedang dirumah sakit dia...." Tut.
"Astaga mbak Zora ini selalu saja mematikan telepon ku, padahal aku belum selesai bicara". Ujarnya kesal melihat tingkah kakaknya yang begitu menyebalkan.
Sedangkan dirumah sakit tepatnya diruangan Nara berada, wanita muda itu sedang termenung entah apa yang dipikirkan nya. Seakan bebannya begitu berat selama ini.
Dia masih sendiri diruangan itu tanpa ada orang yang menemani, sebenarnya tadi mbok Marni ada disana tapi dia pulang dulu karena Nara meminta ponselnya. Dia ingin menghubungi kakaknya yang tertua yaitu Zora hanya dia yang selama ini selalu ada dipihaknya.
Brak
Nara sedikit kaget ketika pintu kamarnya terbuka begitu kencang, ternyata Zora sedang berdiri disana dengan mata sembab menatap kearahnya, sedangkan mbok Marni mengekor dibelakang.
"Nara". Panggilnya berlari memeluk adik kesayangan nya itu.
"Maafin mbak sayang". Kata Zora disela tangisnya.
Nara membalas pelukan hangat itu, gadis itu meneteskan air matanya tanpa bersuara "mbak nggak perlu minta maaf, kan mbak nggak salah sama sekali".
Zora menggeleng melihat Nara "mbak merasa bersalah karena tidak membawa mu keluar dari rumah sialan itu".
"Sudah mbak, ini juga sudah terjadi kan, Sekarang aku sudah sembuh kok. Muka mbak Zora jadi jelek kalau nangis terus".
Tuk
"Aduh mbak sakit tahu, kenapa jidat ku di pukul sih". Protes Nara mengelus jidatnya yang sakit.
"Makanya jangan bilang mbak jelek, mbak ini orang tercantik tau. Buktinya mas mu sampai ngejar-ngejar mbak".
"Hehe iya deh yang selalu dikejar".
Mereka kemudian berbicara banyak hal hingga tak terasa sudah siang hari.
"Aku mau pulang aja deh mbak hari ini. Bosen tau nggak disini mana bau obat lagi. Boleh yah mbak plissss". Kata Nara dengan mata memohon membuat Zora menghela nafas. sebenarnya Zora tak mengizinkan Nara pulang dulu karena kata mbok Marni jika dokter mengatakan besok baru Nara baru pulang, tapi anak itu begitu keras kepala.
akhirnya Zora memanggil dokter mengatakan niatnya dan akhirnya dokter itu mengizinkan dengan catatan harus istrirahat ketika sudah sampai dirumah.
"Kamu pulang kerumah mbak saja yah, mbak khawatir sama kamu apalagi anak sialan itu ada disana". Ujar Zora dengan nada khawatir.
"Mbak tenang saja, aku bisa jaga diri kok". Nara meyakinkan kakaknya dengan senyuman begitu manis membuat Zora tak mampu untuk berbicara lagi.
"Ya sudah, mbok Marni tolong dijaga yah adik saya. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya secepatnya".
"Baik non".
Setelah menempuh perjalanan beberapa menit akhirnya mereka sampai didepan rumah kediaman Mahendra.
"Mbak nggak mau mampir dulu?". Tanya Nara menatap kakak tertuanya itu.
"Nggak deh, males lihat mereka apalagi anak sialan itu penuh drama". Ucapnya ketus menatap rumah yang dulu dia tempati sebelum menikah.
"Kalau gitu aku masuk dulu yah, mbak hati-hati dijalan. Jangan ngebut".
"Iya bawel ih. Ambil ini untuk kebutuhan mu sehari-hari. Nanti setiap bulan mbak akan transfer kesitu". Kata Zora memberikan kartu ATM pada Nara.
"Ih yang bener ini mbak, aku kok merasa sungkan yah". Kekeh Nara tapi tetap mengambil kartu ATM itu.
"Ya udah kalau nggak mau".
"Ih apaan sih tadi sudah dikasih masa mau diambil lagi. Namanya pamali tau nggak".
"Ih dasar mata duitan". Mbok Marni Hanya menggelengkan kepalanya melihat adik kakak yang sangat jauh berbeda umurnya itu.
Setelah kepergian Zora, Nara dan mbok Marni masuk kerumah itu. Dari luar sudah terdengar gelak tawa diruang tamu, entah kenapa hatinya begitu sakit.
Disaat dia sakit dan dirawat dirumah sakit tapi tidak ada yang datang menemuinya, wanita muda itu menghela nafas panjang kemudian masuk dengan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum". Ucapnya membuat orang yang tadi sedang tertawa langsung terdiam semua melihat kedatangan Nara dan juga mbok Marni.
Dengan tatapan datar dan dingin, Nara melangkah masuk. Disana terlihat layaknya keluarga lengkap dan bahagia duduk sambil menonton tv bersama.
"Waalaikumsalam". Hanya Davin yang menjawab salam Nara, gadis itu hanya melirik sekilas mereka yang tengah menatapnya kemudian hendak berjalan menuju kamarnya.
"CK, pembuat masalah akhirnya kembali jadi nggak tenang deh ini rumah". Kata Reza dengan nada mengejek.
Nara berbalik menatap tajam pada Reza, tatapan nya begitu menusuk seakan ingin menelan dalam-dalam mangsanya.
Reza yang ditatap merasa terkejut, baru kali ini adiknya itu menampilkan tatapan mengerikan. padahal biasanya dia akan menatap nya dengan tatapan memuja tapi kali ini auranya begitu berbeda. Begitupun yang dirasakan oleh Stefani Gizella Angelina dan ardirgan Mahendra entah kenapa anak nya kali ini begitu berbeda setelah pulang dari rumah sakit.
Refa yang melihat ketegangan diantara mereka segera mencairkan suasana "kak Nara akhirnya pulang juga, aku rindu loh kak dan juga sedih soalnya kakak beberapa hari ini nggak sama-sama kami". Ucapnya dengan suara sendu.
Nara tak membalas perkataan Refa, dia segera berbalik hendak menaiki tangga tapi lagi-lagi suara yang begitu dia benci terdengar.
"Heee diajak ngomong itu yah dijawab, bisu kamu yah. Atau nggak pernah diajarkan sopan santun". Reza kembali mengeluarkan suaranya.
Entahlah Reza selalu saja mencari gara-gara dengannya, padahal Nara tak pernah mengajak nya bicara setelah Nara pulang rumah sakit hari ini.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Y.A.K.A.D
Dla nastolatkówIni bukan cerita transmigrasi tapi cerita dimana kekecewaan anak kandung yang sudah tidak bisa ditolerir lagi sebab keluarga nya lebih menyayangi anak angkat nya dibandingkan dengan dirinya yang notabene anak kandung dirumah itu. Hingga di sadar dan...