Gunjingan

66 4 0
                                    

6 Tahun kemudian

Beberapa tahun telah berlalu sejak kelahiran anak Jeno dan Donghyuck, yang mereka beri nama Haru. Haru tumbuh menjadi anak yang cerdas dan ceria, mewarisi kecerdasan dan kebaikan hati dari kedua orang tuanya. Namun, meskipun keluarga mereka hidup bahagia dan penuh kasih, dunia di sekitar mereka belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Haru dilahirkan dari seorang laki-laki.

Saat Haru mulai bersekolah, masalah pun mulai muncul. Meskipun Haru sangat menyukai sekolah dan senang bertemu dengan teman-teman barunya, tidak semua teman sekelasnya mengerti atau menerima keadaan keluarganya. Pada awalnya, semuanya berjalan baik. Haru dengan senang hati belajar dan bermain dengan teman-temannya. Namun, tak lama kemudian, beberapa anak mulai bertanya-tanya tentang keluarganya.

“Kenapa kamu tidak punya ibu?” tanya seorang anak laki-laki suatu hari saat mereka bermain di taman bermain sekolah.

Haru, dengan polosnya, menjawab, “Aku punya Appa Donghyuck dan Papi Jeno. Mereka sangat mencintaiku. Aku tidak butuh ibu.”

Namun, jawaban Haru justru membuat beberapa anak lainnya tertawa dan mulai mengejek. “Ayahmu seorang ibu? Itu aneh! Bagaimana bisa seorang laki-laki melahirkan?” ejek anak-anak lainnya. Salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki yang lebih besar bernama Minho, yang sering dianggap sebagai pemimpin kelompok, mulai mengejek dengan lebih keras.

“Dia pasti aneh! Ibumu laki-laki? Itu tidak mungkin. Kamu pasti bohong,” kata Minho dengan nada mengejek, membuat Haru merasa sangat tidak nyaman.

Haru mencoba mengabaikan ejekan itu, tapi semakin hari, ejekan dan gunjingan semakin sering. Anak-anak lain mulai menjauhinya, takut jika mereka mendekati Haru, mereka juga akan diejek. Haru mulai merasa terasing di sekolah. Setiap kali dia mencoba bermain dengan anak-anak lain, mereka akan menyingkir atau berbisik satu sama lain sambil menunjuk ke arahnya. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “anak aneh” atau “anak tanpa ibu.”

Haru mulai pulang ke rumah dengan wajah sedih dan mata bengkak karena menangis. Jeno, yang selalu peka terhadap perubahan perasaan anaknya, segera menyadari bahwa ada yang salah.

“Haru, apa yang terjadi sayang? Mengapa kamu tampak sedih akhir-akhir ini?” tanya Jeno lembut, mengusap rambut Haru dengan penuh kasih.

Haru menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca dan akhirnya meledak dalam tangis. “Teman-teman di sekolah mengejekku, Papi. Mereka bilang aku aneh karena aku tidak punya ibu dan lahir dari seorang laki-laki.”

Mendengar itu, hati Jeno terasa hancur. Ia menarik Haru ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan anaknya. Donghyuck, yang mendengar percakapan mereka dari dapur, segera bergabung dan duduk di samping mereka, menggenggam tangan Jeno erat.

“Kamu tidak aneh, Haru,” kata Donghyuck dengan tegas. “Kamu istimewa. Kamu lahir dari cinta yang sangat besar, dan tidak ada yang salah dengan itu. Beberapa orang mungkin tidak mengerti, tapi bukan berarti kita salah.”

Jeno mengangguk, masih memeluk Haru erat-erat. “Apa yang teman-temanmu katakan itu salah, sayang. Papi dan Appa sangat mencintaimu. Kamu adalah hadiah terindah yang pernah kami terima. Tidak peduli apa yang mereka katakan, kamu selalu menjadi kebanggaan kami.”

Haru mengusap air matanya, merasa sedikit lebih baik mendengar kata-kata penyemangat dari kedua ayahnya. Namun, ia masih merasa bingung dan terluka oleh kata-kata kasar teman-temannya.

Keesokan harinya, Donghyuck dan Jeno memutuskan untuk bertemu dengan guru Haru untuk membicarakan masalah ini. Mereka menjelaskan situasi mereka dengan hati-hati dan meminta pengertian serta bantuan dari pihak sekolah untuk menghentikan perundungan terhadap Haru. Guru Haru, seorang wanita bijaksana bernama Ibu Lee, mendengarkan dengan seksama dan mengangguk penuh empati.

“Saya minta maaf atas apa yang terjadi pada Haru,” kata Ibu Lee dengan tulus. “Saya akan berbicara dengan anak-anak di kelas dan mengajarkan mereka tentang menghargai perbedaan. Semua anak harus merasa aman dan diterima di sekolah ini.”

Setelah pertemuan itu, Ibu Lee mengadakan sesi diskusi di kelas tentang keluarga dan cinta, mengajarkan anak-anak bahwa tidak ada satu pun cara yang “benar” untuk menjadi sebuah keluarga. Ia menjelaskan bahwa keluarga adalah tentang cinta dan dukungan, tidak peduli seperti apa bentuknya. Beberapa anak mulai memahami, tetapi yang lain masih ragu.

Minho, yang merasa bersalah setelah mendengar pelajaran tersebut, akhirnya mendekati Haru di taman bermain beberapa hari kemudian. Dengan kepala tertunduk, ia berkata, “Maaf, Haru. Aku tidak seharusnya mengejekmu. Aku tidak mengerti, tapi sekarang aku tahu bahwa itu salah.”

Haru tersenyum kecil, merasa lega. “Tidak apa-apa, Minho. Terima kasih sudah mau minta maaf.”

Seiring berjalannya waktu, anak-anak lain mulai menerima Haru apa adanya. Meski mereka tidak sepenuhnya mengerti, mereka belajar untuk menghargai perbedaan dan berhenti mengejeknya. Haru mulai merasa lebih baik di sekolah, dikelilingi oleh teman-teman yang lebih menerima dan terbuka.

Jeno dan Donghyuck tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka bangga pada Haru karena tetap kuat di tengah-tengah kesulitan. Mereka berjanji akan selalu ada untuk anak mereka, mengajarinya bahwa cinta dan keluarga sejati adalah tentang hati, bukan tentang apa yang dipikirkan orang lain.

HomofobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang