Perspektif Orang

42 5 0
                                    

Seiring berjalannya waktu, kehamilan kedua Jeno semakin terlihat jelas. Perutnya yang membesar menarik perhatian di mana pun mereka pergi. Meskipun Donghyuck selalu memberikan dukungan penuh dan berusaha menjaga agar Jeno tetap nyaman, kenyataan bahwa Jeno adalah seorang laki-laki yang sedang hamil di tengah masyarakat yang masih belum sepenuhnya menerima kondisi mereka menjadi tantangan tersendiri.

Pada suatu hari yang cerah, Donghyuck mengusulkan untuk pergi jalan-jalan ke mall bersama Haru untuk mencari suasana baru dan mencoba menghibur Jeno.

“Bagaimana kalau kita pergi ke mall hari ini?” ajak Donghyuck dengan senyum hangat. “Kita bisa makan es krim, berjalan-jalan, dan menikmati waktu bersama. Aku yakin kamu akan merasa lebih baik.”

Jeno awalnya ragu, tapi melihat antusiasme di wajah Haru dan senyuman penuh kasih dari Donghyuck, akhirnya dia mengangguk. “Baiklah, mungkin udara segar dan jalan-jalan akan membuatku merasa lebih baik.”

Mereka pun berangkat ke mall. Sesampainya di sana, mereka mulai berjalan-jalan, mengunjungi beberapa toko mainan untuk Haru dan toko pakaian untuk bayi yang akan segera lahir. Namun, seperti yang dikhawatirkan Jeno, tidak butuh waktu lama bagi orang-orang di sekitar mereka untuk mulai memperhatikan dan berbisik-bisik.

Beberapa pengunjung mall memandang Jeno dengan tatapan bingung dan penuh rasa ingin tahu. Ada yang tampak terkejut, ada juga yang menunjukkan ekspresi sinis. Beberapa ibu-ibu berbisik satu sama lain sambil menatap Jeno dan tertawa kecil, jelas mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak biasa, bahkan salah.

“Lihat, itu pria yang hamil,” bisik seorang wanita kepada temannya dengan nada mengejek. “Apa yang salah dengan dunia ini?”

Yang lain menambahkan, “Betapa memalukannya”

Tatapan dan komentar yang menyakitkan itu membuat Jeno merasa sangat tidak nyaman. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat. Rasa minder dan sedih mulai merayap masuk ke dalam hatinya. Bagaimana pun dia mencoba untuk mengabaikan, kata-kata itu tetap menembus pertahanan emosinya. Ia merasakan matanya mulai berkaca-kaca.

Donghyuck, yang sangat peka terhadap perasaan Jeno, segera menyadari perubahan di wajahnya. Dia memeluk bahu Jeno, mencoba memberikan kenyamanan.

“Jangan pedulikan mereka, Jen,” bisik Donghyuck lembut. “Mereka tidak tahu apa-apa tentang kita atau cinta kita. Mereka hanya takut pada hal yang tidak mereka mengerti.”

Jeno mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya. “Aku tahu, Hyuck… tapi sulit untuk tidak merasa sedih ketika semua orang menatapku seperti ini. Seolah-olah aku… aku salah.”

Haru, yang mendengar percakapan orang tuanya, tiba-tiba menarik tangan Jeno dan menatapnya dengan wajah penuh tekad. “Daddy, jangan dengarkan mereka. Mereka jahat. Aku mencintaimu, Appa mencintaimu, dan adikku juga mencintaimu. Kamu yang terbaik, Papi.”

Mendengar kata-kata polos dan tulus dari Haru, Jeno merasa hatinya menghangat. Anak kecil ini, meski usianya masih begitu muda, memiliki hati yang penuh cinta dan keberanian. Air mata Jeno akhirnya jatuh, tetapi bukan karena sedih, melainkan karena haru. Dia berlutut di depan Haru dan memeluknya erat.

“Terima kasih, Haru. Kamu adalah anak yang luar biasa,” ucap Jeno dengan suara serak karena emosi.

Donghyuck kemudian mengambil inisiatif untuk mengajak mereka berdua menuju kafe yang tenang di dalam mal, jauh dari kerumunan dan tatapan sinis. Di sana, mereka duduk dan memesan beberapa minuman serta es krim untuk Haru. Mereka mencoba menciptakan suasana yang menyenangkan meski di tengah-tengah keramaian.

“Kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan atau katakan, tapi kita bisa memilih bagaimana kita meresponsnya,” kata Donghyuck lembut sambil mengusap punggung Jeno. “Aku bangga padamu, Jen. Kamu kuat. Kamu membawa keajaiban lain ke dalam hidup kita.”

Jeno tersenyum tipis, merasakan kekuatan yang perlahan kembali dalam dirinya. “Aku hanya ingin kita bahagia, Hyuck. Aku tidak ingin Haru atau bayi kita merasa malu karena keadaan kita.”

Donghyuck menggeleng, memandang Jeno dengan penuh kasih. “Mereka tidak akan pernah merasa malu, karena mereka tahu mereka dicintai. Dan itulah yang terpenting. Kita akan mengajarkan mereka bahwa keluarga kita, meskipun berbeda, adalah keluarga yang penuh cinta.”

Haru ikut menyahut, “Aku bangga punya Papi dan Appa. Kita keluarga terbaik!”

Perkataan Haru membuat Jeno dan Donghyuck tertawa kecil. Rasa bahagia perlahan kembali memenuhi hati mereka, menggantikan kesedihan dan ketidaknyamanan. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi selama mereka memiliki satu sama lain, mereka bisa melewati semuanya.

Di tengah tatapan dunia yang penuh prasangka, mereka memutuskan untuk terus berjalan dengan kepala tegak, percaya pada cinta dan kebahagiaan yang mereka miliki. Mereka tahu bahwa keluarga kecil mereka adalah sebuah keajaiban, dan keajaiban itu layak untuk diperjuangkan, apa pun yang terjadi.

HomofobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang