Kamis, hari pertama kerja.
Jeongyeon bangun pagi, sarapan perlahan dan mengambil pakaian di depan lemari. Karena dia sedang dalam perjalanan bisnis, dia tidak membawa banyak pakaian jadi dia memilih dan mencocokkan pakaian yang cocok untuk hari pertama bekerja.
Dia mengenakan kemeja polos bewarna putih di bagian atas tubuhnya, di padukan dengan celana bahan berwana hitam di bawahnya.
Jeongyeon berdiri di depan cermin setinggi badannya dan melihat bayangan dirinya lalu menyisir rambutnya ke belakang. Dahi yang terpampang bebas memberikan pesona menawan pada seluruh wajahnya.
Tampilannya yang sekarang terlihat benar-benar berbeda dari biasanya. Ini jelas bukan gayanya.
Dia jarang berpakaian formal dan lebih suka berpakaian santai, seperti kaos polos dan celana pendek serta rambut yang sering tak diatur.
"Huffttt...."
Jika bukan karena perintah Irene, dia tidak akan mau berpenampilan seperti ini. Mengingat kerja sama mereka, dia tidak bisa melakukan apapun dan hanya patuh pada wanita cerewet itu.
Mengambil tas dan blazer, Jeongyeon keluar dari apartemen dan turun ke bawah. Irene yang teliti juga sudah berdandan dan berpenampilan rapi, memegang dagu sembari memainkan ponselnya.
Jeongyeon berjalan mendekat dan menyapanya, mengatakan bahwa dia akan pergi duluan.
"Apa yang kau bicarakan?! Seungwan akan mengantar kita ke sana..."
"Tidak perlu, itu sangat dekat dengan stasiun kereta. Aku bisa naik kereta saja..." tolak Jeongyeon.
Dia tak ingin terus-terusan
menjadi roda ketiga di antara Irene dan Seungwan. Itu sangat tidak menyenangkan dan membuatnya frustasi."Apa kau yakin?" Irene ragu-ragu.
"Ya..."
Irene tidak berkata apa-apa lagi. Akan lebih baik jika Jeongyeon merasakan antusiasme kereta pada jam sibuk di pagi hari.
"Oke, kalau begitu hati-hati..." tambah Irene.
"Oke..."
.
.
.
.
.
Jeongyeon sedikit gugup akan pertemuan dengan rekan-rekan yang akan bekerja sama dengannya hari ini. Tapi sekarang bukan waktunya untuk merasa cemas, begitu juga dengan orang-orang yang terjepit di sudut kereta.Dia tiba-tiba menyesal tidak menerima tawaran Irene sebelumnya. Kereta pada jam sibuk di pagi hari bahkan lebih menakutkan dari yang dia ingat.
Sudah lama sekali dia tidak merasakan situasi yang berdesak-desakan dan berdempetan seperti ini.
Dulu dia tak pernah memperhatikan karena dia terlalu sibuk memandangi dan memperhatikan Mina hingga tidak peduli akan keadaan sekitarnya.
Untungnya kereta sangat cepat dan masih ada tiga stasiun yang harus dia lalui. Memikirkan hal ini, Jeongyeon menoleh untuk melihat keluar jendela, mencoba mengalihkan perhatiannya dari terjepit diantara sekelompok manusia.
Kereta perlahan melambat dan penumpang sudah terlihat menunggu di peron. Setelah berhenti, orang-orang di dalam kereta itu turun sebagian dan sebagian lagi bangun.
Jeongyeon memandang orang-orang di peron dengan segala jenis kebosanan dan tiba-tiba melihat wajah yang agak familiar.
Mata hitam yang indah, bibir tipis dan merah serta tatapan dingin yang membuat orang asing terus mendekat dan mengerubunginya.
Hanya dengan pandangan sekilas, tubuh Jeongyeon langsung menegang seperti tersengat listrik.
Dia buru-buru menunduk dan menggelengkan kepalanya ketika pikiran untuk mendekati Mina mulai berputar di benaknya.