Aku pulang; kata yang sangat ingin Sephia ucapkan. Tapi untuk siapa? Tidak ada orang di rumah yang luas ini. Papinya telah pergi dan ayahnya kini berada di balik jeruji besi. Sedangkan sang kakak, ia berdalih tidak bisa menjemputnya pulang sebab ada kuis di kelasnya hari ini. Sama seperti dulu, semuanya tidak berubah, rumah ini masih sangat dingin.
Namun, sekarang Sephia tidak lagi masuk ke rumah sendirian. Dulu, kakinya melangkah masuk ditelan sepi. Dan kini ia melangkah masuk bersama Arshan dengan senyum terpatri di wajahnya yang berseri.
"Duduk dulu, Shan, makasih udah mau nganterin. Mau minum apa?" ujarnya, menuntun Arshan untuk duduk di sofa ruang tamu.
"Apa aja."
"Kopi mau?"
"Boleh, thanks."
Sephia membentuk ok dengan jarinya, tersenyum kemudian berjalan ke dapur. Kala Sephia beranjak, Arshan tak hentinya edarkan penglihatannya ke setiap sudut rumah. Tak ada yang spesial, hanya ada guci di setiap sudut tanpa ada sesuatu yang menarik. Kecuali bingkai foto kecil yang tampak berdiri tidak sempurna di atas nakas.
Benda itu berhasil curi perhatian nya. Arshan melihat ke arah Sephia yang masih sibuk membuatkan kopi untuknya, dan ia putuskan untuk melihat bingkai kecil itu.
Warna foto dalam bingkai itu telah pudar ditelan usia, tampak tak seorangpun yang berusaha merawatnya. Padahal tampaknya itu adalah kenangan yang berharga, dimana tampak satu keluarga kecil di dalamnya tersenyum lebar pancarkan bahagia.
Netranya melihat anak laki-laki kecil yang ada di gendongan pria cantik yang lebih pendek dari ayah Sephia. Itu adalah Shai-nya saat masih kecil, dengan pipinya yang bulat disempurnakan kedua matanya yang menyipit kala bibirnya tampakkan senyuman, senyum murni tanpa palsu.
Benaknya bertanya, dimana kah sosok pria cantik yang mirip dengan Sephia itu? Sebab selama ini tak pernah dilihatnya ada dalam rumah ini juga tak pernah keluar dari mulut matenya, seakan memang enggan mengingat.
Begitu fokus ia pandangi foto itu, sosok Ran yang masih kecil, sang ayah yang tak jauh beda dari sekarang, hingga sosok yang tak pernah terlihat ia kunci dalam matanya yang terpancar curiga. Sampai tak sadar jika Sephia telah memandangi nya dari belakang.
Dua gelas bening berukuran kecil diatas piring yang tak kalah kecil berisi kopi telah Sephia taruh di atas meja, kemudian ia memandang ke Arshan yang tengah perhatikan bingkai foto yang sengaja ia biarkan dari tahun-tahun silam. Dan sang kakak pun ikuti jejaknya, coba ikhlaskan sosok yang sedari dulu mereka nanti kedatangannya namun tak kunjung tiba.
"Serius amat liatnya." celetuk Sephia, buat Arshan terkejut langsung berbalik arah melihat Sephia yang sedang ukir senyum tipis di sudut bibirnya.
"Iya, yang gendong aku tuh papi, yang sekarang aku gak tau ada dimana." ucapnya santai, perhatikan air muka Arshan yang memang sedari tadi tampak penasaran.
"Ah, i'm sorry to hear that."
"Haha apaan, kaya papi aku udah meninggal aja. Eh, mungkin juga sih soalnya udah lama ga keliatan."
Lagi, senyum palsu Sephia perlihatkan. Mungkin orang lain berpikir; ah, Sephia sudah berdamai. Tapi tidak untuk sang Enigma. Ia bisa tau, sorot mata kosong dengan suara yang sedikit bergetar. Sudah jelas; Sephia masih berusaha berdamai.
"Minum gih kopinya mumpung masih anget."
Keduanya duduk di sofa, berseberangan menikmati kopi di gelas masing-masing.
Sejujurnya rasa kopi itu sedikit terlalu pahit untuk Sephia, tapi ia bersyukur sebab Arshan tampak menyukai kopi buatannya.
Awalnya tidak ada obrolan di antara mereka. Suasana sunyi ditemani secangkir kopi menciptakan sensasi nyaman untuk keduanya. Tidak terasa canggung sama sekali, malah mereka merasa nyaman di tengah hawa dingin udara yang menunjukkan jika sebentar lagi akan turun hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha Belongs To Me
FanfictionEnigma itu begitu langka, bahkan dianggap mitos semata. Sephia, alpha yang sudah muak dengan hidupnya menemukan mate nya yang ternyata adalah si mitos, Enigma. Berhubungan dengan Enigma, apakah hidupnya akan seribu kali lipat lebih baik atau malah A...