──ASTRAEA : Pagi.

117 17 7
                                    

“Sarapan udah gue masakin, sekalian bekalnya. Kalau kurang anget, panasin aja, mintol si Jacob atau Sargas. Adeknya jangan lupa dianterin sama dijemput. Jangan ada yang sampe telat juga. Gue berangkat dulu, ya. Bye!” Jovian menghilang setelah mengatakan kalimatnya yang terlampau panjang untuk diucapkan dalam sekali napas.

“Hati-hati, Jov!” Jacob sempatkan diri untuk membalas.

Keempat pasang mata lain hanya bisa menggeleng. Sudah hapal betul dengan perilaku tersebut sebab memang, peringatan Jovian setiap pagi selalu tidak jauh-jauh dari apa yang ia ucapkan barusan dan ya, itu merupakan satu dari sekian hal yang biasa terjadi di pagi rumah Keluarga Astraea.

Ada si sulung Jovian yang membuat kerusuhan di dapur pagi-pagi buta guna memasak sarapan dan bekal untuk adik-adiknya. Lantas, akan peringatkan segala hal ke yang lainnya sebelum pergi ke kantor dengan tergesa. Kemudian, ada Jacob dan Sargas yang bertugas menghangatkan makanan yang telah Jovian buat. Juga menatanya ke dalam kotak bekal masing-masing milik keempat adik mereka. Si kembar Sham yang menyapu rumah serta Juno yang mengurus cucian. Lalu …

“AAAAAAA! TOLONG! MATI LAMPU!!”

Yap. Pagi hari di rumah Astraea tentu tidak akan lengkap jika belum terdengar teriakan dari si bungsu yang menggelegar.

Sham berjalan mendekati saklar lampu di dapur. Menekannya ‘tuk melihat apakah benar apa yang dikatakan oleh si bungsu and voila! Ruang tamu seketika terang-benderang; efek dihujani cahaya dari lampu dan matahari secara bersamaan. “Di ruang tamu nggak lagi mati lampu, Adek!”

“Adek di mana, deh, kok bisa mati lampu?” Juno datang menghampiri sang kembaran dengan tangan yang sibuk saling mengelap. Sham mengedikkan kedua bahunya. Namun, belum sempat ia kembali buka suara, teriakan Helio kembali terdengar.

“HUHUHUHU! KOKO, TOLONGIN!! PERIIIH!!”

Mendengar kata ‘perih’ tentu timbulkan setitik khawatir dari si kembar. Mereka berdua pun segera pergi menaiki tangga; menuju kamar yang termuda—berasumsi Helio ada di sana. Jacob dan Sargas juga Rigel–yang sepertinya baru saja selesai bersiap–turut mengikuti mereka.

Mendapati bahwa tidak ada sosok Helio di kamarnya, Juno akhirnya memutuskan untuk merubah haluannya ke kamar mandi yang terletak di kamar bernuansa pastel itu. Niatnya, sih, mengetuk untuk pastikan apakah si bungsu benar berada di sana. Namun, entah apa yang merasukinya, pemuda berusia dua puluh satu tahun itu malah dengan cepat membuka pintu kamar mandi tersebut; menampilkan isinya yang tidak terlihat dengan begitu jelas–akibat dari kurangnya pencahayaan. Akan tetapi, hal itu tidak menghalangi keempat anak adam yang ada di sana untuk melihat sosok adik bungsu mereka yang tidak memiliki sehelai kain pun untuk membalut tubuhnya.

Jacob, Sargas, Sham, Rigel, dan terutama Juno–selaku pelaku yang membuka pintu–seketika terdiam. Sementara Helio, yang segera menyadari situasi apa yang tengah dialaminya, langsung menjerit, dan tentu saja, kali ini lebih melengking dari sebelumnya.

● ● ●

“HUAAA! MAS JAHAT!!”

Waktu bahkan belum menunjukkan pukul tujuh, tapi kelima pemuda yang lebih tua itu sudah kelabakan setengah mati; sudah tidak bisa memikirkan cara untuk bisa membuat tangisan si bungsu berhenti.

“Aduh, Mas ‘kan udah minta maaf, Adek. Mas nggak sengaja …. Lagian kamu kebiasaan, sih, mandi kok, suka banget nggak dikunci pintunya–”

Sebelum Juno bisa selesaikan kalimatnya, Helio sudah mengangkat kepalanya terlebih dahulu. Memandang si Mas dengan kedua alis yang berkerut. Sepertinya ia ingin buat ekspresi menyeramkan. Alih-alih merasa takut, kelima orang yang lain hanya bisa rasakan keinginan untuk tertawa. Melihat mata bulat yang penuh air mata serta hidung merah bak rusa natal, manusia mana yang bisa tahan untuk tidak rasakan gemas?

“Tapi ‘kan nggak boleh langsung buka-buka aja! Harusnya Mas ketuk dulu, tau! Bukan malah main nyelonong aja!” Tangis Helio kembali pecah. Anak itu lantas benamkan lagi kepalanya ke pelukan sang Koko. Sham hanya bisa pasrah ketika merasakan bahwa kemejanya semakin terasa basah. Biarlah pagi ini ia berganti baju dua kali, asal ia tidak dimusuhi sang adik seperti kembarannya saat ini.

Juno layangkan tatapan tak terima kala melihat perbedaan perlakuan dari Helio untuknya dan juga untuk saudara-saudaranya. Padahal, bukan hanya dia yang melihat, tapi kenapa hanya ia yang dimusuhi habis-habisan?

Ssstt …, cup, cup. Udah cakep habis mandi begini kok, mukanya malah jadi sembab gegara nangis, sih. Udah, ya. Mas ‘kan juga udah minta maaf, Mas nggak sengaja itu. Adek nggak diajarin buat jadi orang pendendam, ‘kan? Dimaafin Mas-nya, okay?” Sham menangkup wajah bulat Helio yang masih basah dipenuhi air mata. Tangannya dengan sigap mengambil tisu yang ada di meja sampingnya, lalu diusap-usapkannya pada wajah Helio untuk hapus tiap tetes air matanya.

Helio menatap sang Koko. Mendiamkan diri sejenak, sebelum berikan anggukan kepala yang pelan. Akan tetapi, ketika melihat Juno yang seperti akan memeluknya, ia langsung sembunyikan wajahnya kembali pada perut Sham. Seolah memberikan sinyal bahwa ia belum berikan ampunan sepenuhnya pada yang lebih tua. Timbulkan tawa dari Jacob, Sargas, juga Rigel yang sedari tadi memilih untuk diam–tidak mau kena risiko permusuhan dari bungsu mereka.

Good luck, Mas Juno! Semoga kamu segera dapatkan ampunan dari Helio.

— ASTRAEA : 01

dearestsseungie, 2024.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ASTRAEA; ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang