Bab 4 : Kebaikan Pak Herru.

12 6 0
                                    

“Hari kedua masuk sekolah, rasanya sangat menyenangkan, namun.

Ayah tampak masih khawatir denganku, ada apa sebenarnya?”

-Yana Tri Oktavia.


Hari kedua, hari ini terlihat berbeda karena aku melihat Ayah yang tatapannya kosong seperti banyak pikiran.

“Yah,” Panggilku menyentuh tangannya menggunakan kaki, sambil memasang wajah khawatir. “Ayah enggak papa, kan?” tanyaku khawatir.

Ayah kelihatan seperti orang yang lelah, lalu dia mengelus kepalaku dan menjawab, “Ayah enggak papa, kok. Ayah hanya khawatir dengan kamu, Nak,” jawabnya dengan lesu, sambil menyuapi aku sarapan.

Aku berpikir sejenak dengan sesekali menoleh ke arah Ayah. “Kalau gitu aku keluar dari sekolahan saja, dari pada Ayah kek gini terus,” ucapku dengan berat hati.

Ayah tampak terkejut lalu dia menaruh piring nasiku ke meja, setelah itu dia memegang kedua pipiku dan mengangkat wajahku untuk menatapnya. “Kamu ngomong apa sih? Jangan bicara seperti itu, kamu itu harus fokus sama pendidikan, jangan pikirkan Ayah biarkan Ayah seperti ini agar kamu bisa menjadi seorang gadis yang pintar dan bijaksana, paham?” katanya dengan suara tegas, wajahnya terlihat serius.

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan sarapanku dengan khidmat.

“Nanti Ayah kasih kamu hp lho, buat jaga jaga kalau kamu udah pulang nanti bisa telpon Ayah ataupun ibu,” sambungnya dengan serius.

Aku menoleh ke arahnya, lalu berkata, “Memangnya enggak papa kah kalau bawa hp di sekolahan? Takutnya nanti enggak aman, Yah. Ayah kan tau sendiri kalau murid-murid di sana itu ada yang nakal,” kataku khawatir.

“Udah enggak papa, nanti kamu titipin aja ke nenek biar enggak hilang,” balas Ayah meyakinkan aku.

Aku hanya nurut saja karena itu sudah menjadi keputusan Ayah, saat sudah selesai sarapan aku minum air dibantu oleh Ayah, saat sudah selesai Ayah masuk ke dalam dapur untuk mengembalikan piring.

Saat sudah selesai semuanya, barulah aku diantar ke sekolah oleh Ayah, sedangkan Risma duduk di depan karena dia juga sekolah.

“Ayah, nanti anterin aku sampai ke dalam kelas, ya?” pintaku pada Ayah.

“Memangnya kenapa, sayang? Apa kamu diganggu sama teman-temanmu?” tanyanya padaku, yang kelihatannya khawatir..

Aku menggelengkan kepala, tanganku memeluk perutnya. “Aku cuman pengen aja sih, Yah,” jawabku sedikit malu-malu.

“Oalah, ya sudah kalau begitu nanti Ayah anterin sampai ke kelas sama sekalian lihat perlakuan guru-guru seperti apa pada kamu,” cakapnya mengangguk setuju.

Aku memicingkan mata karena heran mendengar perkataan Ayah. “Ayah kok seperti belum percaya gitu sama semua guru yang ada di sana sih, padahal mereka emang baik-baik banget lho sama aku,” ujarku yang memahami perasaannya.

Ayah langsung terdiam dan dia terus menyetir motor tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, aku mulai merasa bersalah karena dari tadi selalu memprotes setiap apa yang Ayah katakan. “Maaf, Yah ...” lirihku menunduk, karena sedih.

Aku merasakan elusan dari tangannya yang mengelus tanganku, aku menoleh ke arahnya dan melihat wajahnya dari kaca spion, terlihat wajahnya tampak tersenyum padaku seperti memberikan dukungan.

“Udah enggak papa, seharusnya Ayah yang minta maaf karena terlalu mengkhawatirkan kamu, sampai lupa kalau sekarang ini kamu sedang bahagia karena sudah mempunyai teman banyak.”

HARAPAN YANG MEMBUATKU TERPURUK DALAM KESEDIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang