Bab 6 : Melihat pertunjukan lumba-lumba.

6 5 0
                                    

“Hari ini aku merasa senang karena melihat pertunjukan yang menyenangkan bersama teman-teman dan para guru. Semoga saja nanti aku bisa merasakan hal ini lagi.”
-Yana Tri Oktavia.

Pagi yang cerah menyinari bumi beserta seluruh isinya, hari ini aku bangun lebih awal karena harus berangkat jam 06:00 pagi, tapi hari ini aku merasakan mual entah kenapa, dan aku masih bisa menahannya sejenak dengan meminum teh hangat agar rasa mualku mereda.

Kutoleh Ayah yang tengah memakaikan ku sepatu, dia menoleh ke arahku dan melihat wajahku yang pucat. “Kamu enggak usah sekolah dulu, ya. Wajahmu kelihatan pucat gitu, kok,” larangnya padaku, dengan memasang wajah khawatir.

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum lemah. “Enggak, Yah. Aku enggak papa, nanti di sekolah juga aku akan mendingan,” jawabku mengelus pipi Ayah dengan lembut menggunakan kaki.

Ayah terdiam sambil mengelus kepalaku, saat sudah selesai semua aku berdiri dibantu olehnya dan berjalan menuju ke motor yang sudah ada Risma dan Nenek di sana.

Aku menutup mulutku karena tiba-tiba ingin muntah, Ayah bahkan memperhatikan ku sejak tadi.

“Kamu libur dulu aja lho, kapan-kapan aja lihat pertunjukan lumba-lumba nya,” cakap Ayah khawatir, sambil menatapku dengan sedih.

Karena aku memang anak yang keras kepala jadi aku tidak mau libur. “Aku enggak papa, Yah. Beneran,” balasku tersenyum lemah.

Ayah tampak geram padaku, tapi dia masih bisa menahan emosinya. “Ya sudah tidak apa-apa, tapi kalau nanti ada masalah kamu telpon Ayah lho nanti tak jemput,” ujarnya padaku, dengan memberi pengingat.

Aku kembali melanjutkan langkahku menuju ke motor, saat sudah sampai aku naik ke motor seperti biasa tapi kali ini agak sempoyongan karena tubuhku sedikit lemah.

Ayah melajukan motornya dengan pelan-pelan agar aku tidak kedinginan.

“Nduk, nanti kamu jangan lupa untuk minta maaf sama pak Herru soal perkataanmu yang kemarin,” kata Ayah padaku, untuk mengingatkan.

Aku mengangguk sambil cengengesan. “Iya, Ayah. Nanti aku bakalan minta maaf.”

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya kami sampai di sekolah, aku melihat ada dua kereta kelinci yang terparkir.

“Yana!” teriak seseorang yang memanggilku.

Aku langsung mencari siapa yang memanggilku, saat sudah ketemu ternyata itu adalah pak Herru yang tengah duduk manis di kereta itu, aku melongo karena melihat tingkahnya yang selalu random.

“Yana, ayo sini,” sambungnya mengajakku untuk duduk di kereta kelinci itu, dengan senyuman yang mengembang.

Aku berjalan mendekati beliau yang kala itu masih duduk, saat sudah sampai aku naik ke kereta dan duduk di samping beliau bersama dengan Nenek.

Aku teringat dengan pesan ayah tadi, setelah itu aku menoleh ke arahnya. “Pak, saya minta maaf soal yang kemarin, soalnya ayah saya takut kalau hati Bapak tersinggung,” ucapku meminta maaf, dengan wajah tertunduk.

Beliau tampak tersenyum sambil mengelus kepalaku, lalu membalas, “Udah enggak papa, kamu jangan begitu karena saya tau kalau kamu sebenarnya hanya bercanda saja, sudah jangan minta maaf,” balas beliau dengan bijaksana, dan murah senyum.

Aku menghela nafas lega karena beliau sangat baik padaku. “Bapak beneran enggak marah, ‘kan. Sama saya?” tanyaku memastikan.

Pak Herru tampak menggelengkan kepalanya, lalu membalas, “Enggak, Bapak beneran enggak marah, suer deh,” cakapnya mengacungkan dua jari.

HARAPAN YANG MEMBUATKU TERPURUK DALAM KESEDIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang