Rion berdiri di tengah hutan, kegelapan malam semakin pekat di sekitarnya. Cahaya bulan yang dulu terasa hangat dan menenangkan kini hanya menambah kesan dingin yang merayap di tulang-tulangnya. Pikiran-pikirannya berkecamuk, dan rasa ragu semakin menekan. Pikirannya masih terjebak pada apa yang telah ia temukan—kebenaran tentang Butterlie, sejarah gelap yang tersembunyi, dan bagaimana Iris, sosok yang ia anggap sebagai teman, kini menjadi ancaman terbesar.
Dia teringat percakapan terakhirnya dengan Iris sebelum kebenaran terungkap. Wajahnya yang ramah kini terasa seperti topeng, menyembunyikan niat tersembunyi yang gelap. Kegilaan yang dipicu oleh warisan Yama dan pengaruh Nocturna telah membuatnya kehilangan arah.
"Bagaimana aku bisa begitu bodoh?" gumam Rion, mengepalkan tangannya. "Aku pikir aku bisa menyelamatkan mereka... tapi sepertinya aku hanya memperburuk keadaan."
Langkah kakinya bergerak tanpa tujuan di bawah pepohonan besar, tetapi hatinya dipenuhi kebingungan. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa berat, membawa beban dari pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang menggantung di pikirannya.
"Apakah aku harus berhenti? Apakah mungkin dunia ini tak lagi layak diselamatkan?"
Namun, di balik kegelisahannya, ada sesuatu yang lebih kuat yang terus menariknya ke depan. Ketertarikannya pada misteri Butterlie kini berkembang menjadi rasa tanggung jawab yang lebih besar dari sekadar penelitian. Dia tidak bisa lagi hanya menjadi peneliti yang berdiri di pinggir, mengamati dari jauh. Kali ini, dia harus terlibat lebih dalam, bahkan jika itu berarti menantang segala yang ia yakini.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar di telinganya. Suara itu bukan suara manusia, tetapi lebih mirip dengan bisikan alam. Rion berhenti sejenak, menoleh ke sekeliling, mencoba mencari sumber suara tersebut.
"Rion..." bisik suara itu, seperti angin yang membawa pesan dari kejauhan.
Dia mengenali suara itu—Aponi. Dia telah merasakan kehadirannya beberapa kali sebelumnya, dalam mimpi-mimpi aneh dan saat-saat di mana pikiran-pikirannya diisi oleh bayangan masa lalu yang tak ia mengerti.
"Aponi?" panggil Rion, berusaha keras mendengarkan dengan cermat.
Tak lama kemudian, Aponi muncul dari antara pepohonan, tubuhnya bersinar lembut dalam kegelapan malam. Sayapnya, yang dulu berkilauan indah, kini berpendar dengan cahaya yang lebih pekat, mencerminkan perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Dia tampak lebih kuat, tetapi juga lebih berbahaya.
Rion menatapnya dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. Ada sesuatu yang berbeda dari Aponi—seolah-olah dia telah berubah, tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam sikap.
"Aponi... apa yang terjadi padamu?" tanya Rion dengan suara pelan, tapi jelas. "Kau terlihat berbeda."
Aponi menatapnya tajam, matanya yang dulu penuh dengan ketenangan kini mengandung ketegasan yang dalam. Dia melangkah mendekati Rion, tetapi tidak seperti sebelumnya. Kali ini, ada jarak yang tak terlihat antara mereka.
"Keseimbangan," jawab Aponi, suaranya tenang namun tegas. "Aku harus menjaga keseimbangan. Itu adalah tugasku sebagai Butterlie. Dunia ini berada di ambang kehancuran, dan aku tidak punya pilihan selain bertindak. Bahkan jika itu berarti... aku harus menjadi lebih dari apa yang pernah kukira."
Rion terdiam, mencoba memahami kata-katanya. Dia bisa merasakan ketegangan yang ada di balik sikap tenang Aponi. Kekuatan yang dulu terasa menenangkan kini menjadi sesuatu yang menakutkan.
"Apa yang kau maksud?" Rion bertanya dengan cemas. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sedang kau rencanakan?"
Aponi menghela napas, lalu menatap jauh ke dalam mata Rion. "Nocturna... dia bukan hanya ancaman bagi dunia ini. Dia adalah cerminan dari apa yang akan terjadi jika kekuatan Butterlie jatuh ke tangan yang salah. Iris sudah berada di bawah pengaruhnya, dan jika dia berhasil membuka pintu antara dunia kita dan dunia manusia, maka keseimbangan akan runtuh. Keduanya akan hancur."
Rion merasa jantungnya berdegup kencang. Ini lebih dari sekadar legenda atau penelitian yang dia bayangkan. Ini adalah pertempuran nyata untuk menyelamatkan dunia, dan dia berada di tengahnya.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyanya dengan putus asa. "Aku bukan makhluk magis seperti dirimu. Aku hanya manusia."
Aponi menggeleng pelan. "Kau lebih dari sekadar manusia, Rion. Kau adalah bagian dari ini semua, bahkan jika kau tidak menyadarinya. Pilihan-pilihanmu akan menentukan hasil akhirnya."
Dia berhenti sejenak, menimbang kata-katanya sebelum melanjutkan. "Tapi kau harus siap. Siap untuk mengorbankan segalanya, jika perlu. Karena dalam pertarungan ini, tidak akan ada kemenangan tanpa pengorbanan."
Rion menatap Aponi dengan mata yang lelah namun bertekad. Di dalam dirinya, dia tahu bahwa kata-kata Aponi benar. Tidak ada jalan kembali. Namun, satu hal yang masih menggantung di pikirannya: apakah dia siap menghadapi kebenaran yang lebih gelap dari yang pernah dia bayangkan?
Sementara itu, Aponi juga merasakan pertempuran batinnya sendiri. Kekuatan yang dia peroleh dari batu penjaga telah memberinya kemampuan untuk melawan Nocturna, tetapi dia juga menyadari bahwa kekuatan itu bisa mengubahnya. Dia bisa merasakan sisi gelapnya perlahan muncul, mempengaruhi setiap keputusan yang dia buat.
"Jika aku harus menjadi monster demi menyelamatkan dunia ini, maka biarlah," pikir Aponi dengan hati yang berat. "Tetapi pada akhirnya, aku harus siap menghadapi diriku sendiri."
Dengan tekad yang diperbarui, Aponi dan Rion kini berada di jalan yang sama—jalan yang akan membawa mereka ke pertarungan akhir yang akan menentukan nasib dua dunia.
Aponi menatap Rion dengan dalam, mencoba menilai apakah pria itu benar-benar siap menghadapi apa yang ada di depan mereka. Dunia manusia dan dunia Butterlie kini terjalin dalam simpul yang semakin sulit diurai. Setiap langkah yang mereka ambil akan membawa mereka semakin dekat pada kebenaran yang mungkin terlalu berat untuk ditanggung.
"Kita harus bergerak cepat," kata Aponi akhirnya, memalingkan wajahnya ke arah hutan yang semakin gelap. "Nocturna sedang menggerakkan caturannya. Jika kita terlambat, segalanya akan berakhir dengan kehancuran. Bukan hanya kota ini, tapi seluruh dunia manusia."
Rion mengangguk, meski dalam hatinya, keraguan masih menggantung. Seberapa besar perannya dalam semua ini? Dia bukan pahlawan dalam cerita dongeng, melainkan hanya seorang peneliti yang terjebak dalam kekacauan yang tak terduga. Namun, di balik ketakutannya, ada rasa tanggung jawab yang tak bisa dia abaikan.
"Kita ke mana sekarang?" tanyanya, mengikuti langkah Aponi yang sudah mulai bergerak.
"Kita harus kembali ke kuil," jawab Aponi. "Ada sesuatu di sana, sesuatu yang aku lewatkan sebelumnya. Kunci untuk menghentikan Nocturna mungkin tersembunyi di sana. Dan aku butuh kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi Iris."
Mendengar nama Iris disebut, Rion merasakan desakan amarah dan rasa bersalah. Iris yang dulu ramah dan hangat kini hanyalah bayangan dari dirinya yang asli. Pengaruh Nocturna telah mengubahnya menjadi alat dari kegelapan, dan dia tak tahu apakah ada cara untuk menyelamatkannya.
Langkah mereka semakin cepat di bawah sinar bulan yang perlahan tertutup awan. Kegelapan mulai menyelimuti mereka, dan udara menjadi lebih dingin. Di kejauhan, terdengar suara angin yang aneh, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka.
"Aponi..." bisik Rion, merasa merinding. "Apa kau merasakannya?"
Aponi berhenti sejenak, matanya menyipit saat dia mendengarkan suara angin yang semakin kuat. Ada keheningan sejenak, lalu dia menoleh pada Rion, wajahnya pucat.
"Kita tidak sendiri lagi."
-Bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterlie: Misteri di Antara Sayap
Mystery / ThrillerDi sebuah kota kecil yang tersembunyi di balik hutan lebat, ada legenda tentang kupu-kupu bernama Butterlie. Kupu-kupu ini memiliki sayap berkilauan yang memantulkan cahaya bulan dan matahari. Namun, di balik keindahannya, Butterlie menyimpan rahasi...