Chaptēr 25 - Kesialan Tak Berujung {Part 02}

147 13 0
                                    

Another part terpanjang 😭👊

Happy reading, guys... Hope you enjoy.

Jam pelajaran pertama XI IPA 1 adalah olahraga. Sesuatu yang cukup menyebalkan mengingat seperempat jam yang lalu mereka baru saja selesai upacara bendera. Masih bisa diterima kalau olahraganya digedung indoor. Setidaknya meski tidak bisa beristirahat, mereka tak perlu kembali kelapangan untuk kepanasan lagi.

Sayangnya Pak Gandhi adalah penganut ajaran kalau olahraga haruslah ditempat terbuka. Jadilah meski kebanyakan anak IPA 1 cemberut dan menggerutu, mereka tetap membentuk barisan ditengah-tengah lapangan.

Pak Gandhi menatap anak-anak kelas IPA 1 dengan tatapan tajam. "Kenapa barisannya banyak yang kosong? Ada yang gak berangkat hari ini?"

Anak-anak yang ditanyai cuma saling tatap satu sama lain. Beberapa menoleh kekanan-kiri untuk mengecek siapa yang tidak ada dibarisan, sisanya terlalu acuh untuk sekedar menggerakkan kepala. Pada akhirnya tidak ada yang menjawab pertanyaan Pak Gandhi karena tak ada yang berminat membuka mulut.

Pak Gandhi yang diabaikan cuma bisa menghela napas. "Rafka mana, Rafka?"

Rafka, cowok tinggi dibarisan tengah yang tak lain adalah ketua kelas, mengangkat satu tangan karena panggilan itu.

"Siapa anak kelasmu yang gak ada disini?"

"Berliana sama Dante gak masuk, Pak. Sisanya yang gak disini ikut latihan turnamen basket." Jawab Rafka menjelaskan.

"Cuma itu?"

"Iya, Pak."

"Terus Ravisha sama Deruna mana? Kok gak disini. Katanya yang gak masuk cuma Berliana sama Dante?"

"Kalau itu... Saya kurang tahu, Pak." Ujar Rafka jujur.

Pak Gandhi berdecak kesal. "Kalian ini gimana, sih? Sudah jauh-jauh hari Bapak bilang ada penilaian. Kenapa malah gak disiplin kayak gini?!"

"Kalian bentar lagi mau kelas dua belas! Harusnya sudah gak perlu diingatkan soal kedisiplinan lagi! Kan sudah saya kasih tahu kalau akan ada penilaian, kenapa malah-kamu kenapa angkat tangan, ha?!"

Perhatian orang-orang teralihkan pada siswi dibarisan depan yang mengangkat satu tangan, merasa heran-tapi sedikit lega, karena ada yang menginterupsi omelan Pak Gandhi.

"Itu, Pak..." Clara sedikit menundukan kepala karena mendapat tatapan orang-orang. "... Kayaknya saya tahu dimana Deruna sama Visha."

"Tadi saya lihat mereka ada diloker, Pak. Mungkin sekarang juga masih disana," Lanjut Clara memperjelas.

Pak Gandhi nampak menghela napas panjang. "Ngapain saja mereka sampai gak inget waktu? Masa ganti baju aja gak kelar-kelar dari tadi!?"

"Adhita!" Panggil Pak Gandhi pada seorang siswi disamping Rafka. "Coba kamu kegedung loker, cari Deruna sama Visha terus suruh cepetan datang kesini."

"Kok saya Pak?" Siswi disamping Rafka bertanya dengan wajah keberatan.

"Terus siapa lagi? Kamu kan wakil ketua kelas. Masa iya saya suruh Rafka ke gedung loker cewek?" Ujar Pak Gandhi setengah berteriak.

"Tapikan-"

"Lakuin aja, Ta. Gak capek lo dengerin omelan Pak Gandhi." Bisik Rafka pelan.

Melihat tatapan penuh paksaan milik Rafka, Adhita tidak bisa melakukan apapun selain pasrah. Ia lantas keluar dari barisan untuk mencari Deruna dan Visha. Adhita tidak tahu dimana mereka sekarang. Clara cuma bilang bertemu Deruna dilokernya. Jadi dengan petunjuk itu Adhita akan mencari mereka disana.

D E R U N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang