Prolog Buku pemilik Hati

69 9 3
                                    

Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, di balik deru hujan yang menderai di jendela, Aganta duduk termenung di atas ranjangnya. Kamarnya yang biasa dipenuhi dengan  kehangantan malam terasa dingin, namun merasa hampa. Di tangan kanannya, sebuah buku harian terbuka, halaman-halamannya sudah menguning termakan usia, namun kata-kata di dalamnya masih jelas terbaca, menyimpan rahasia yang tak pernah terungkap. Suara halus dari tetesan air hujan seolah mengiringi setiap detak jantungnya yang berdebar tak menentu. Kenangan itu datang lagi, bayangan seseorang yang pernah mengisi hari-harinya, kini kembali menghantui pikirannya. Senyum manisnya, tatapan mata yang penuh arti, dan janji-janji yang terucap di antara desahan angin senja, semuanya seolah tergambar jelas di pelupuk matanya.

Aganta menghela napas, Berusaha mengusir bayangan itu. Namun, semakin ia mencoba, semakin rasa kuat dalam kerinduan yang mengikat hatinya. Cinta yang dulu ia pikir telah memudar begitu saja ternyata masih tersimpan di sudut hatinya, tersembunyi di balik setiap langkah dan keputusan yang ia ambil.

Malam itu, Aganta mencoba membuka buku kembali lembaran masalalu. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih pena diatas meja dan mulai menulis, merangkai kata demi kata yang selama ini terpendam dalam hati. Di bawah sinar lampu temaram, ia tahu bahwa malam ini, bayangan itu tidak cepat akan pergi tanpa meninggalkan jejak yang lebih dalam.

Malam semakin panjang, namun Aganta masih terjebak dalam tulisannya. Setiap kata yang ia tuliskan seolah menjadi pelepas dari rindu yang lama tertahan. Di setiap baris, ia mengenang pertemuannya dengan seseorang gadis yang dulu sangat berarti dalam hidupnya.

Dia adalah sosok yang muncul secara tiba-tiba dalam hidup Aganta, seperti angin yang membawa kesejukan di tengah panas terik matahari. Pertemuan mereka terjadi tanpa direncanakan, di sebuah toko buku kecil di pinggiran kota. Saat itu, Aganta baru saja pulang sekolah, sepulang sekolah ia merasa ingin mapir sementara untuk melihat buku novel terbaru di toko tersebut. Sementara itu samanya, Gadis itu yang baru saja pulang sekolah juga, ingin mampir ke toko buku itu, untuk mencari novel kesuakannya.

Sementara di balik rak buku, Gadis itu sedang mencari-cari dan membolak-balik halaman sebuah novel romance, rambutnya panjang bergelombang jatuh menutupi halaman buku, dan memiliki mata yang indah memancarkan rasa penasaran. Tanpa sengaja, ketika dia hendak menutup bukunya, matanya bertemu dengan tatapan Aganta di balik rak yang sedang sibuk dengan dirinya.

Hening sementara. Pandangan mereka terkunci sejenak. Gadis itu tersenyum manis, Aganta terkejut seketika merasakan ada sesuatu yang menarik di balik tatapannya. Kini detak jantungnya terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang istimewa yang baru saja terjadi. Tanpa disadari, tangan gadis itu bergerak, dan dia menjatuhkan bukunya. Suara buku yang jatuh menarik perhatian Aganta, yang kemudian berjalan menghampirinya. 

"Kamu gapapa kan?" tanya Aganta dengan nada lembut, sembari membungkuk untuk mengambil buku itu.

Dia tersenyum malu, pipinya memerah sedikit. "Ah, iya, terima kasih. Aku... sedikit tidak hati-hati."

Aganta menyerahkan bukunya dan tersenyum lebih lebar kali ini. "Novel Romance, ya? Ini salah satu favoritku juga."

Sebuah percakapan kecil pun dimulai, di antara rak-rak buku yang sunyi itu. Pertemuan pertama yang tak terduga di toko buku itu mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan mereka berdua belum sepenuhnya pahami arti buku itu.

Dia masih memegang buku yang dijatuhkannya, tetapi pikirannya kini lebih sibuk memikirkan pria di depannya. Aganta tidak seperti orang asing yang baru saja ditemuinya. Ada kehangatan dalam caranya berbicara, cara matanya tetap terfokus padanya, seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang.

"Romance favoritku juga... sepertinya nasib kita bertemu di bagian ini," Aganta mencoba bercanda untuk mengusir kecangguangan. Ia biasanya bukan tipe orang yang berbicara begitu terbuka dengan orang yang baru ditemui, namun ada sesuatu tentang Ghea yang membuatnya merasa nyaman.

Gadis itu terkekeh malu. "Iya, toko buku ini memang seperti magnet bagi para pencari buku lain. Aku sering ke sini, mencoba mencari pelarian dari dunia nyata, bagi aku ini tempat ternyaman"

 Tatapannya sedikit melunak saat mengamati buku di tangan gadis itu. "Kebetulan, aku udah baca buku itu. Ceritanya bagus banget, tentang seorang perempuan kuat, yang bisa menemukan kekuatan di dalam dirinya saat menghadapi kekacauan di kehidupan nyata."

Ghea mengangguk, merasakan benang merah dari cerita yang diungkapkan Aganta, seolah-olah menyentuh sesuatu yang dalam dalam dirinya. "terkadang kita memang butuh dunia lain untuk bisa memahami diri sendiri yang sebenarnya."

Kata-kata itu membuat Aganta terdiam sejenak. Sepertinya mereka berbagi pemahaman yang lebih dalam daripada sekedar obrolan ringan. "Benar. Tapi mungkin kita juga butuh seseorang yang bisa menemani kita di dalam pencarian itu, kan?"

...

Hari demi hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Dia selalu tahu cara membuat Aganta tersenyum, menghilangkan segala kekhawatiran dan beban yang ada di pundaknya. Aganta merasa hidupnya lebih berwarna setiap kali bersamanya, dan tanpa sadar, ia mulai jatuh cinta. Namun, di balik kebahagiaan itu, tersimpan rasa takut yang mendalam kehilangan, takut semua ini hanya sementara, dan semua hal itu tidak ada yang abadi.

Malam ini semakin larut, saat ia menulis kembali kenangan itu, Aganta merasa hatinya berdesir. Ada sesuatu yang tertinggal dalam hubungan mereka, sesuatu yang belum terselesaikan, dan malam ini, bayangan itu kembali menghantuinya. Ia ingat betul hari terakhir mereka bertemu, ketika gadi itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak, meninggalkan Aganta sendiri dengan sejuta tanya dan luka yang tak dapat terobati.

Pena di tangan Aganta berhenti menulis. Ia menatap halaman yang baru saja ia tulis, merasa seolah kembali ke masa itu. "Kenapa harus dia lagi?" gumamnya pelan, pertanyaan yang tak pernah terjawab hingga kini. Malam itu, Aganta tahu bahwa cinta yang pernah ia pendam tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti bayangan yang  selalu mengikuti, cinta itu masih ada, tersembunyi di balik kerinduan dan kenangan yang tak pernah pudar.

Di luar, hujan mulai reda, namun hatinya masih penuh dengan rasa tidak tenang. Lalu, Aganta menutup buku itu dengan perlahan, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukan akhir dari ceritanya. Ia harus memelih dua jawaban itu. Antara ia ingin menemukan jawaban buku lembaran masalu yang telah lama hilang, atau ia harus membuka buku halaman lembaran baru, tetapi harus membuang buku lama itu.

...

Terima Kasih! 

kakak yang udah baca, aku sangat senang kakak membacanya.

Oh yaa, jangan lupa favoritkan cerita ini dan satu lagi share ketemen kakak yang belom tahu novel ini...

Yeay, bye...





Cinta Dalam BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang