Dia atau Masalalu part 2

61 9 0
                                    


Beberapa menit, bel masuk berbunyi menandakan dimulainya pelajaran pertama hari ini. Suasana kelas yang semula riuh langsung berubah sunyi ketika nama guru yang akan mengajar terlintas di benak setiap siswa, 'Bu Fania, guru fisika yang terkenal paling tegas dan menakutkan di sekolah. 

Bu Fania memiliki reputasi yang tak terbantahkan. Dengan tatapan tajam dan suara lantang, setiap siswa di kelas selalu merasa waspada saat dirinya masuk. Banyak yang berkata bahwa mata Bu Fania seolah-olah bisa melihat kesalahan bahkan sebelum mereka melakukan, seketika membuat suasana di kelas tegang setiap kali dia mengajar.

Tak lama kemudian, Bu Fania muncul di balik pintu. Dia mengenakan pakaian serba rapi dan berkacamata tebal, membawa tumpukan buku pelajaran dan lembaran soal yang langsung membuat siswa di dalam kelas tampak gelisah. Langkahnya terasa begitu formal, seolah tidak ada ruang untuk kesalahan.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Fania dengan nada yang terdengar santai tapi penuh wibawa.

"Selamat pagi, Bu..." jawab seluruh kelas dengan serempak, mesik sedikit tegang.

Bu Fania berjalan menuju meja guru, meletakkan bawaannya, lalu berdiri di depan kelas dengan tatapan yang menyapu seluruh ruangan. Tak ada yang berani menatapnya terlalu lama, kecuali mungkin untuk memastikan bahwa mereka tidak menarik perhatiannya dengan cara yang tidak benar.

Tanpa sedikit jeda Bu Fania langsung berkata untuk materi hari ini. "Baik, hari ini kita akan melanjutkan materi tentang hukum newton," tanpa basa-basi. "Saya harap kalian semua sudah siap, karena kita akan langsung masuk ke soal yang lebih rumit. Oh, ya.. ada yang tidak siap?"

Tidak ada yang berani berkata dan mengangkat tangan. Semua hanya diam, meski di dalam hatinya banyak yang merasa cemas dengan ingi berkata bahwa 'pliase... harus lari dari pelajaran ini', termasuk Aganta. Mata pelajaran fisika bukanlah favoritnya, dan pelajaran bersama Bu Fania selalu membuatnya merasa lebih tertekan.

"Baik, kita mulai dari soal pertama," lanjut Bu Fania sambil menulis di papan tulis dengan cepat. "Siapa yang mau maju untuk menyelesaikan soal ini?"

Suasana kelas semakin tegang. Beberapa siswa menundukkan kepala, berharap Bu Fania tidak memanggil nama mereka. Aganta mencoba menatap bukunya, berdoa dalam hati agar namnya tidak di sebut untuk maju ke depan.

"Aganta," panggil Bu Fania secara tiba-tiba, suaranya memecah kesunyian.

Jantung Aganta langsung berdetak kencang. Kenapa harus gua? pikirnya panik. Dengan berat hati, dia bangkit dari kursinya dan berjalan perlahan menuju papan tulis. Pandangan temannya  terasa tidak percaya bahwa Aganta dengan nekat maju mengerjakan soal itu. Sementara Bu Fania menatapnya tanpa ekspresi, hanya menunggu.

Di depan papan tulis, Aganta melihat soal yang tampak rumit tentang hukum newton yang membutuhkan beberapa langkah untuk diselesaikan. Tangannya sedikit gemetar saat meraih spidol, tapi ia tahu harus mencobanya.

Aganta mulai menulis langkah demi langkah, mencoba mengingat rumus yang dia pelajari sebelumnya. Di saat itu juga suasana kelas terasa semakin tegang, seolah-olah setiap gerakan tangannya sedang diawasi dengan sangat serius. Beberapa kali dia berhenti menulis untuk memastikan jawabannya benar, dan dalam beberapa saat, ruang kelas begitu sunyi.

Setelah menyelesaikan beberapa rumus, Aganta berhenti dan menatap hasil kerjanya. Di dalam hatinya, ia berharap bahwa setidaknya jawabannya mendekati sedikit benar.

Bu Fania berjalan mendekat, memeriksa hasil tulisan Aganta dengan tatapan serius. Tiba hening sejenak, seluruh kelas menunggu reaksi Bu Fania.

"Jawabanmu... hampir benar," ucap keluar dari mulut Bu Fania akhirnya, suaranya tetap tegas tapi tidak sekeras yang Aganta bayangkan. "Tapi, kamu salah di langkah terakhir. Perhatikan kembali cara penulisannya, ya."

Cinta Dalam BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang