Chapter 11: The Talk (TW: Abuse)

99 22 7
                                    

Rambut Raya berantakan tidak berbentuk. Tetapi, di situasi seperti ini penampilan adalah hal terakhir yang akan melintasi pikiran perempuan itu. Lengan kemeja panjang yang Raya pilih secara hati-hati untuk menutupi lebamnya itu terlipat, menunjukan bekas keunguan yang menjalar di lengan putih Raya. 

Axel menyadari hal tersebut. Dan walaupun dirinya sungguh ingin mendatangi dan merengkuh Raya dalam pelukannya, Axel menghargai permintaan terakhir Raya untuk memberinya ruang. 

"Raya, kondisi Gigi sudah stabil. Pulang, yuk? Kamu juga butuh istirahat, Ray." Axel memohon Raya untuk meninggalkan kursi dingin rumah sakit. 

"Nope. Aku ngga akan bisa ninggalin rumah sakit ini kalau dia masih belum bangun, Xel."

Axel mengacak rambutnya bingung. "Raya, jangan jadiin alasan Genevieve sakit kamu ngga balik ke rumah."

Raya mengerutkan keningnya. Dari semua orang, Raya tidak mengira Axel adalah orang pertama yang menyadari bahwa dirinya sudah beberapa hari menghindari berada di rumahnya untuk waktu yang lama. 

Faktanya, pemilihan legislatif akan dilaksanakan dalam waktu dekat dan tampaknya ada beberapa jurnalis yang menemukan foto Raya yang menghabiskan waktu di club milik Jesse dan juga foto Papanya bersama beberapa wanita. 

"Kamu tahu apa soal aku? Huh?" Raya memainkan jemarinya. "Aku beneran khawatir soal Gigi, Xel. She's my only bestfriend." 

"Well, aku tahu Soraya ngga akan datang ke kantor pakai kemeja yang belum disetrika dengan tanpa cela. Aku juga tahu Soraya ngga akan meninggalkan rumah tanpa rambut yang di-blow sempurna. Raya, I know you more than you realize." 

"Lebam ini, kenapa?" Axel memegang lembut lengan Raya dan mengelus pelan kulit keunguannya, "Siapa yang berani?"

Sudut bibir Raya bergetar dan matanya menahan air mata yang mengancam untuk keluar. "Kamu beneran ngga sabaran ya? I will handle this on my own."

"Kenapa harus hadapi sendirian Ray, kalau aku bisa juga menerima kamu dan seluruh beban kamu. Can't you trust me Ray...Kamu sendiri udah tahu kalau aku ngga akan kemana-mana. Please Ray. Let me by your side, ya?"

Pertahanan tebal Raya runtuh satu per satu. Sejak lama lalu sepertinya ia berdoa untuk momen ini. Raya kecil selalu berharap untuk dapat tiket keluar dari kesengsaraan yang dialaminya sekarang. He is her ticket

Isak tangis Raya semakin kencang. Lengan kemeja putih Axel dibasahi dengan air mata Raya yang semakin deras pula. Di momen seperti ini Axel tahu betul bahwa dalam hati Raya akan ada rasa penyesalan karena sudah menangis di mata umum. 

Axel memapah Raya menuju mobilnya untuk menjauhi orang-orang yang menunjukan rasa penasaran terhadap Raya. 

"It's okay Raya." Axel menyodorkan box tissue, "aku akan tetap disini sampai kamu selesai cerita." 

Raya mengelap air mata terakhirnya yang turun, "Papaku, Xel. Oh you could never imagine the things he did."

╠.╣╠.╣╠.╣

Butuh tepatnya satu jam dan lima belas menit sampai Raya selesai menceritakan bagaimana ayahnya  selalu melampiaskan kemarahannya pada Raya. Semua itu berawal dari 10 tahun lalu. pertama kali ayahnya melangkah menuju dunia politik yang keruh. Sang Ayah, Damar Handoko, awalnya merupakan seorang pebisnis di bidang tambang sebelum entah mengapa Damar mulai tertarik dengan politik. 

Dari awal, Damar bukanlah seseorang yang dapat dikatakan ayah yang baik. Akan tetapi, Raya ingat betul saat-saat pilihan karir ayahnya memengaruhi setiap aspek kehidupan Raya dan bagaimana ayahnya melakukan berbagai hal untuk dapat mempertahankan imejnya, termasuk menyingkirkan Raya. 

To: My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang