Berteman atau Musuhan [2]

5 1 0
                                    

Setelah menaruh seluruh kopi, barulah pemuda-pemudi itu cuci tangan di sudut ruang dan kembali duduk di hadapan Novan. Mas Eki telah menghidangkan tiga piring porsi nasi penuh dengan beberapa lauk pauk dan sepiring sayur singkong.

"Terima kasih, Mas Eki."

"Sama-sama, Bos! Saya izin kembali buat pesanan dulu." Mas Eki mundur perlahan dan kembali melaksanakan tugasnya.

"Silakan dinikmati. Kalau ingin tambah lauk dan nasi jangan sungkan." Novan mempersilakan dua pelanggannya menikmati sajian nasi padang. Namun, karena Alen baru mengetahui fakta tidak menyenangkan ini membuatnya sungkan berbicara apa pun.

Jaime langsung berdoa sebelum makan dalam hitungan detik, kemudian mengaduk nasinya tanpa jaga image, "Selamat makan!"

Alen yang malu-malu kucing ikut melakukan hal yang sama dan menyuap suapan pertamanya. Ia baru makan setelah  berdoa sebelum makan ia tidak malu menjaga image untuk makan seperti biasa.

Selama delapan menit berlalu, makanan mereka diisi keheningan dan beradu sendok-garpu. Tidak ada yang saling menatap dan fokus dengan makanan masing-masing.

"Gue akui masakan nasi padang di sini selera gue banget. Gue paling suka perkedelnya." Jaime akhirnya bersuara setelah menghabiskan setengah porsi.

"Syukurlah kalian cocok dengan masakan di sini," balas Novan setelah menelan makanannya. Ia sempat melirik Alen yang masih fokus menghabiskan makanannya.

"Gue penasaran, deh. Sejak kapan lu jalanin bisnis makanan?"

"Bisnin makanan cuman di tempat ini. Kalau dihitung-hitung hampir tiga tahun lah, ya. Pekerjaan utama yang lagi gue urus gak jauh-jauh dari perusahaan keluarga di bidang media dan penerbitan."

"Keren banget. Sesuai sama jurusan dan passion lu. Gak kayak gue, jurusan broadcasting malah jadi mentor public speaking."

"Jurusan broadcasting sama  mentor public speaking itu masih nyambung, daripada ditipu sama maling naskah yang jadi juri lomba production house abal-abal," sahut Alen tanpa dosa.

"Jangan membuka luka lama, dong. Ada bos nasi padang, nih." Jaime mendadak sedih saat masa lalunya dibuka terang-terangan.

"Eh, Mbak Mouly Surya!" Alen menengok ke belakang dengan antusias.

"Hah Mbak Mouly?" Jaime mengikuti arah pandang Alen.

"Emang lebih baik lu jadi mentor aja," ujar Alen tak berdosa. Dia melanjutkan makan dengan tenang dan mengabaikan tatapan Jaime yang kecewa.

"Gak baik nipu orang yang mengubur mimpinya, Len." Jaime mulai mencubit pipi Alen yang baru kosong.

"Swalah luw swendiri pwercayaan. Lewpasiwn pwipi gwue!"

Novan merasa terhibur. Interaksi Alen dengan rekannya membuat meja makan lebih hidup. Namun, Novan penasaran akan sesuatu.

"Kalian benaran sekadar teman?"

Alen dan Jaime berhenti bertengkar. Mereka saling bertatapan seakan bertelepati. Perlahan tangan Jaime yang mencubit pipi Alen melingkar ke belakang kursi.

"Eng—kami menjalin hubungan juga," jawab Jaime percaya diri. "Ya ... sekitar tiga tahunan. Bulan Februari tahun depan nanti anniversary keempat." Lalu empat jarinya ikut muncul ke udara.

"Wow, lumayan lama juga." Novan mengangguk paham. Lalu ia melirik Alen yang kembali menyuap makanan. "Gak ada rencana buat tunangan atau nikah?"

"Ngapain buru-buru nikah," balas Alen cuek, "kami masih ingin menikmati waktu bekerjasama."

"Kalau sudah nikah pun harusnya masih bisa tetap kerja bareng 'kan? Daripada nanti satu di antara kalian tiba-tiba pergi begitu aja, who knows?"

Alen telah menghabiskan makanannya. Ia meminum airnya sampai tandas tak tersisa lalu menggebrak meja dengan gelas. Alen tidak tahan melihat Novan yang sengaja memprovokasi.

"Kalau begitu kenapa lu gak langsung nikah aja? Kalau lu merasa sudah siap, silakan  nikah. Bagi gue, menikah itu gak segampang ucapan lu yang memiliki segalanya. Persetan dengan pernikahan yang mengutamakan cinta kalau finansial aja belum cukup." Alen bangkit dari kursi dan berjalan keluar. Ia tidak tahan menghadapi sang pemilik rumah makan nasi padang.

"Len, mau kemana?"

"Nyebat," jawab Alen singkat. Sebelum keluar, ia menghampiri mas Eki yang baru melayani pelanggan untuk mengambil pesanannya.

"Pinjam asbak sama korek."

"Ini, Mbak." Dia menyerahkan asbak bersih dan korek api kepada Alen yang terlihat bersungut-sungut keluar dari rumah makan berbelok ke tempat lain. Mas Eki agaknya merasakan hawa tidak menyenangkan setelah mendengar gebrakan meja.

"Tolong maafin dia, Novan. Hari ini anaknya lagi sensitif. Jadi begitulah," jelas Jaime mewakili perilaku Alen yang siap memancarkan lahar kapan pun.

"Gak apa-apa. Salah gue juga udah ungkit hal yang gak boleh gue bicarain." Novan mengangguk kikuk. Dia memaklumi mengapa reaksi Alen hampir memecahkan gelas minumnya. "Sudah lama tidak bertemu dengannya gue sampai lupa mengontrol pembicaraan."

"Gue paham maksud lu. Kasih waktu untuk Alen berpikir tenang supaya dia gak terlalu kaget liat kehadiran lu lagi."

Perkataan Jaime ada benarnya. Novan agak menyesal membuat Alen naik pitam di pertemuan perdana setelah sekian lama memutuskan kontak dan hubungan mereka.

"Sejak kapan Alen merokok lagi? Bukannya dia sudah berhenti?"

"Setelah hubungan kalian berakhir dia merokok lagi, tapi tenang aja dia gak merokok sebanyak yang lu bayangin."

Novan baru mengetahui fakta terbaru seorang Alen yang sudah lama ia temui. Sepertinya dia harus menghadapi situasi baru dan tidak bisa mengharapkan apa pun  dari seorang Alen di masa lalu. Ia kembali melanjutkan makanannya sebelum meluruskan salah paham yang bisa menghancurkan kesempatan lain.

MAPS (Menanti atau Pergi Selamanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang