Permintaan atau Harapan [1]

5 1 0
                                    

Makan malam bersama saudara mantan kekasih adalah imajinasi di luar nalar Alen. Ini baru hari kedua Alen bertemu dengan Novan, bahkan masih terhitung dua puluh empat jam. Sungguh ia berterima kasih kepada dirinya di masa lalu yang sudah menyempatkan diri sibuk berorganisasi sehingga ia beradaptasi pada suasana dengan cepat.

Seperti sekarang. Alen menyantap hidangan yang cukup akrab di lidahnya. Tentu dengan restoran lokal yang kata Valen pernah didatangi presiden ini harga masih bersahabat di dompet dan soal rasa tidak mengecewakan.

"Kamu suka makanannya?" Julian bertanya kepada Alen sebelum menyuap makanan selanjutnya.

"Suka, Kak. Ini enak banget." Alen mengangguk. Dia mengakui makanan yang tengah ia santap membuatnya lahap makan. Temperatur emosinya ikut menurun berkat makanan.

"Syukurlah Alen menyukainya. Kalau mau tambah menu langsung bilang ya."

"Makasih banyak, Kak Julian. Saya akan menikmati makanan ini sepenuh hati," jawab Alen sungguh-sungguh tanpa melepas kesopanannya.

Sisi lain, Novan bernapas lega. Ia tak perlu mendapatkan amuk massa dari keteledorannya sendiri. Sudah cukup tatapan Alen sejak perjalanan di mobil menargetkan kepalanya. Apa jadinya jika Julian tidak pandai bercakap dengan wanita emosional itu.

"Novan," panggil Alen kala pria itu fokus menyantap isi piringnya.

"Ya?" Novan tidak menduga Alen memanggil namanya di meja makan ini.

"Anggun ... tidak diajak makan malam bersama?" Alen melihat-lihat sekelilingnya. Tidak ada tanda kehadiran tunangan Novan bergabung ke meja makan ini.

Kunyahan Novan melambat. Alen pasti bertanya karena ia menjaga perasaannya yang sudah memiliki wanita lain. Julian dan Valen diam-diam menatapnya dengan tenang.

"Dia hari ini sibuk," jawab Novan. "Aku berniat mengajaknya juga, tapi Kak Juli bilang lebih baik tidak usah memaksa jika Anggun sibuk." Kemudian Novan kembali menyuap makanannya.

"Bilang aja malas ngajak," ujar Valen tanpa dosa.

"Mulutnya. Emang benaran sibuk, kok." Novan berniat menyumpal mulut adiknya dengan telur balado di piringnya.

"Kak Alen emang gak cemburu kalau Kak Novan udah tunangan?" Valen mulai mengalihkan fokusnya pada wanita di sampingnya.

"Ngapain cemburu," jawab Alen tanpa beban. "Jodoh gak akan ke mana ini."

"Dengerin tuh!" Novan menyahut percakapan adiknya yang tidak tahu malu.

"Gimana kalau Kak Alen tunangan aja sama Kak Julian?"

Detik berikutnya Novan tersedak. Kakak pertamanya pun langsung memberikannya segelas minuman. Setelah Novan berhasil menelan makanannya, Julian menepuk-nepuk punggungnya.

"Makannya hati-hati."

Reaksi Novan membuat Alen ingin tertawa. Sebab tak bisa menjambak atau menendang Novan ke planet mana pun, Alen berniat menanggapi pertanyaan konyol Valen lebih lanjut.

"Oh ya? Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Menurutku Kak Alen lebih cocok sama Kak Juju dibandingkan sama orang itu." Valen menunjuk Novan dengan tatapannya. "Kalau boleh jujur ya, Kak. Kak Juju lebih ganteng. Dokter pula. Soal loyalitas? Aku jamin Kak Juju suamiable banget."

"Hmm, boleh juga. Aku coba tanya dulu kali ya." Alen langsung menatap Julian yang pura-pura tidak menyimak percakapan mereka.

"Kak Julian kita nikah, yuk?"

Novan menyemburkan airnya ke samping. Valen reflek menutup mulutnya. Ia menahan tawa setengah mati melihat respon saudara keduanya yang shock, sementara kakak pertamanya terdiam saat menyuap nasi.

MAPS (Menanti atau Pergi Selamanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang