Part 2

670 54 17
                                    

"Nggak usah ngebut."

"Ngebut ah."

"Jangan ngebut."

"Aah, nggak mau, ahh..."

Tangan Sheila kontan mendarat mulus di helm Febi, "Di bilangin jangan ngebut malah makin ngebut si babi!"

Febi tertawa hingga keluar setetes air bening dari mata. Kini keduanya sementara dalam perjalanan pulang dari sekolah, bel pulang sekolah sudah berbunyi sedari tadi, sekitaran jam dua lewat sepuluh menit. Febi menepati janjinya kepada Sheila, yaitu Sheila pulang bersama dirinya menggunakan motor. Namun Sheila meminta mereka supaya singgah sebentar di warung depan gang rumah mereka.

Yang pasti itu bukan warung biasa.

"Shei."

"Hm."

"Mau coba ngerokok?"

Sebuah cubitan kuat mengenai perut Febi. Lantas gadis yang tengah mengendarai motor itu mengaduh kesakitan, tangannya langsung mencengkram lengan Sheila.

"Jangan di cubit syetan!"

"Mau lo tawarin sampe mati pun gue nggak bakal mau nyentuh rokok, syetan!" Balas Sheila jadi ikutan meniru nada Febi.

"Kali aja lo mau gitu," Febi menekan tombol sein kanan lalu membelokkan motornya ke arah tujuan, sekilas ia mengamati Sheila dari kaca spion, "Beneran nggak mau?"

"Nggak."

"Kalonya gue kasih satu kardus gerry saluut tetap nggak mau?"

"Nggak."

Oke, Febi menyerah. Menurutnya menyogok Sheila dengan cara apapun pasti di tolak mentah-mentah kalau berurusan tentang rokok. Ngomong-ngomong, gadis itu kenapa sangat anti dengan rokok ya?

"Lo kenapa nggak suka rokok sih?" Sesekali netra Febi menatap figur Sheila dari kaca spion.

"Nggak baik."

"Buat?"

"Kesehatan."

"Bisa nggak ngomongnya jangan irit gitu njing!"

Sheila terkekeh. Ini salah satu kelemahannya dalam berbicara, yakni irit ngomong. Bukan karena apa, hanya saja Sheila kerap kali belibet seumpama bicaranya terlalu panjang lebar. Itulah sebabnya mengapa ia di juluki manusia yang terbilang irit ngomong.

Mata Sheila terpejam sewaktu sinar terik matahari menerpa pandangan matanya, ia mendengus pelan.

"Jangan beli teh pucuk."

Alis Febi bertaut, memicingkan matanya lalu memelankan laju motor saat mendekati warung yang hampir dekat.

"Hah?"

"Gue traktir gorengan, tapi jangan beli teh pucuk, apalagi ngerokok. Gue patahin rokok lo disitu."

Febi memasang wajah cemasnya, ia tidak beneran takut, hanya saja sedang mengejek nasihat Sheila.

"Ih, takutnyeee."

Plak!

Kali ini pukulan yang sangat kuat mendarat di helm Febi. Mendadak, Febi jadi oleng dengan motornya lalu berteriak berkat naluri karena hampir menabrak pengendara di depan mereka, untungnya ia sempat mengerem laju motor.

"Sheila!" Nadanya meninggi, menghasilkan vokal suaranya naik satu oktaf. Febi akurat kesal dengan candaan Sheila yang hampir merenggut nyawa. "Dikit lagi loh! Gila lo ya?!"

"Lo nggak bisa bawa motor."

"Gu— Ah! Lo ngeselin, Shei!"

"Bukannya yang sering ngeselin itu lo, yaaa?"

Hujan Sore HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang