Part 7

554 46 22
                                    

Jam di layar ponsel menunjukkan pukul tujuh malam lewat dua belas menit. Sheila termenung di salah satu kursi taman kanak-kanak. Ingat? Awal pertemuan mereka? Ya. Benar, disini. Cahaya remang-remang dari sang bulan menyinari kegelapan yang ada di sekitar.

Tanpa tau tujuan dan alasan pasti mengapa ia kesini, Sheila cukup menikmati heningnya suasana malam. Hatinya itu resah, gelisah, cemas, bercampur aduk dengan rasa takut. Sheila memikirkan tentang hubungannya bersama Febi.

Sebenarnya apa tujuan sang gadis pintar mengajak si gadis nakal untuk berpacaran? Rasanya aneh, kadang-kadang menyenangkan, kadang-kadang bimbang. Padahal keduanya baru menjalani hubungan selama satu hari, tapi mengapa rasanya aneh?

Di tambah pula, Sheila selalu merasakan perasaan tidak wajar ketika berdekatan dengan Febi. Ia merasa salah tingkah, terkadang juga merasa kesal.

Suara mesin motor terdengar mengisi keheningan yang ada. Motor itu berhenti di depan Sheila, Anin turun dari motor sekaligus menghampiri gadis itu serta merta duduk di sampingnya.

"Lo ngapain manggil gue kesini? Mana gelap lagi. Kenapa nggak di rumah lo aja sih."

"Kalo ke rumah, nanti Febi ikut."

Anin memandang remang-remang sorot mata Sheila, "Emang kenapa sih? Bukannya lo sama dia udah baikan ya? Kenapa? Berantem lagi?"

"Nggak."

"Teruuuusss?"

"Gapapa."

Anin mendengus kesal, pandangannya kembali ke depan, meratapi jalanan yang sepi seakan tak kunjung di lalui oleh kendaraan. Sheila merasa gelisah sedari tadi, angin malam terus menyeruak dinginnya kulit.

"Pacaran itu kayak gimana?" Satu pertanyaan keluar dari mulut Sheila.

"Hah?" Anin memasang raut wajah bingungnya, sekejap mengamati manik bola mata Sheila dengan keheranan. "Maksudnya?"

"Menurut lo, kalo pacaran itu harus kayak gimana?"

"Lo punya pacar, Shei?" Tuduh Anin. Alternatif lain, ia menyilangkan kedua kakinya di kursi lalu memandang Sheila di samping dengan wajah bertanya.

"Kepo."

"Ih! Serius! Lo punya pacar, ya, Shei!?"

"Kepo."

Anin menghela napas kesal. Kalau terus di tanya, ia yakin Sheila tak akan memberi tahu jawabannya. Huft, Anin tengah berpikir atas pertanyaan Sheila, sampai-sampai tangannya memangku pipi chubby-nya. Pandangan mata hazel itu terus kedepan. Secercah bayangan tentang pasangan di dasar hubungan terlintas di kepala, ia menatap Sheila lagi.

"Kalo menurut gue sih.. pacaran itu butuh usaha."

"Kenapa?"

"Karnaaaa. Pertama, lo harus bisa bagi waktu buat dia. Kedua, lo harus bisa jadiin dia prioritas utama lo, eh, enggak deh, prioritas kedua setelah orang tua lo."

"Hmm, trus?"

"Ketiga, lo harus bisa membangun hubungan yang sehat dan romantis. Keempat, lo sama dia harus bisa saling percaya di dalam hubungan. Kelima, lo harus setia dan cukup sama satu pasangan. Keenam paling penting."

"Apa?"

"Lo harus selalu ada untuk dia," Anin memejamkan mata seraya menghirup udara malam di sekitar, "Dimanapun itu, kapanpun itu, lo harus siap sedia kalonya dia tiba-tiba minta tolong sama lo. Even itu hal kecil."

Sheila terdiam mendengar tuturan kata Anin. Ah, rasanya ia tidak salah pilih orang kalau bercerita tentang cinta ke Anin, karena ia tau, di antara ketiganya hanyalah Anin yang lumayan mengerti akan percintaan.

Hujan Sore HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang