Part 8

187 30 8
                                    

"Daleman lo lucu, warna pink." Bisik Sheila di telinga Febi.

"Sheila babi."

Sheila tertawa dengan tangan menutup. Keduanya tengah berdiri di depan meja piket, beserta pak Enoy yang menatap tajam bak singa siap terkam. Sheila dan Febi mencoba menahan tawa. Bayangkan, pak Enoy itu memiliki perut yang buncit dengan tubuh yang gendut, di tambah rambut klimis nya padahal setengah botak. Gerak-geriknya sangat kemayu, pak Enoy itu ibaratkan pria setengah wanita, atau istilah lain ialah bencong.

Entah kesalahan apa mereka bisa mendapati wali kelas seperti pak Enoy. Tatapan mengintimidasi dari sang pria setengah wanita itu tak membuat mereka takut, sebisa mungkin keduanya tak mengeluarkan suara tawa.

"Iiiiih! Mana buku ijo kaliaaaan?!" Pak Enoy bersuara manja di buat-buat. Sheila dan Febi saling pandang, tawa mereka langsung pecah, "Kok ketawa siihh! Sini buku ijo nya, cepeeeeet! Bapak mau ngajar looh aduuh sayy!"

"Udah bego, jangan ketawa!" Bisik Febi.

"Lo dari tadi masih ketawa anjing."

"Ya gimana anjing, pak Enoy mukanya lucu banget, Shei!"

"Eh kalian berdua! Buruuaan atuuhh!"

Sheila menyenggol lengan Febi seraya mengambilnya buku hijaunya di tas, ia menatap Febi yang tengah mencari buku hijaunya. Keduanya sama-sama memberikan buku hijau itu dengan timing yang pas.

"Ini ide siapa siiichhh yang manjat lewat belakang?" Tanya pak Enoy sembari mencoret salah satu halaman.

"Sheila pak!"

Sheila hanya diam, mau mengelak pun rasanya tak mungkin, apalagi yang memberi ide untuk lewat belakang adalah ulahnya sendiri.

"Niihh! Awas yaaa! Kalo kalian lewat belakang lagi. Bapak jemur kalian di tengah lapangan!"

"Ih pak Enoy, jangan celem-celem gitu dong!" Jawab Febi dengan suara imut. Sheila yang mendengarnya tertawa lagi, terutama saat melihat ekspresi pak Enoy yang berubah di imut-imutkan.

"Makanya jangan bandel!"

"Aduuh pak! Tadi tuh kita cuman ke pepet doang! Maca bapak ngasih kita point cihhh? Mana sama anak murid sendiri lagi bapak nih!"

Pak Enoy menggelengkan kepalanya, ia memberikan kembali buku hijau mereka, "Udah sana masuk kelas! Bapak nggak nerima alasan a-pa-puuunn!"

Febi tertawa, ia memasukkan buku hijaunya ke dalam tas.

"Iyaaa, bapaaakk. Kami berdua minta maaf ya paaak Enoooy!"

Pak Enoy mengibaskan kedua tangannya, menyuruh mereka supaya cepat pergi ke dalam kelas. Sheila dan Febi tertawa lepas, mereka akhirnya bisa bebas dari kawasan pak Enoy. Keduanya berjalan di iringi tawa yang tak ada habisnya.

"Lo liat hidungnya pak Enoy gak? Ada upilnya, Shei, bangke!"

"Iya, liat. Untungnya pas dia ngomong upilnya nggak keluar anjing."

Febi tertawa mendengar jawaban Sheila, tanpa sadar tali sepatunya mulai terlepas selama ia berjalan, namun Febi tak menggubris sama sekali, malahan ia tetap berjalan santai dengan langkah kaki kecilnya.

Sheila menunduk, ia mengamati tali sepatu Febi yang terlepas. Langkah kakinya berjalan lebar di depan Febi, ia langsung berhenti detik itu juga. Febi yang tengah asik berjalan secara kontan menabrak punggung belakang Sheila.

"Lo ngapain stop gila!"

Sheila mengabaikan ucapan Febi, ia membalikkan tubuhnya kebelakang. Wajah keduanya sangat dekat, hanya menyisakan beberapa senti jarak, terlebih lagi keduanya memiliki tinggi badan yang sama.

Hujan Sore HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang