chapter 09 cemburu yang membara

147 14 1
                                    

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

“raf, lo cantik banget,” ujar Nathan tiba-tiba sambil menatap Rafael dengan intens.

Ucapan itu seketika membuat Rafael terkejut dan gugup, wajahnya memerah. Ia tidak menyangka akan mendengar pujian semacam itu atau lebih tepatnya dianggap hinaan bagi sebagian pria, apalagi dari Nathan,

Suasana di kelas menjadi canggung seketika, Rafael merasa seperti terperangkap dalam pandangan Nathan.

Sementara itu, di lapangan basket, Bryan tengah bersiap bermain bersama beberapa temannya.

Namun, dari kejauhan, ia menangkap pemandangan yang tidak biasa—sekelompok siswi dari asrama putri tampak berada di area sekolah putra.

Bryan mengerutkan dahi, merasa aneh dengan kehadiran mereka.

“Ngapain anak asrama putri di sini?” tanyanya pada Henry, yang sedang sibuk mengikat tali sepatunya.

Henry menoleh dengan ekspresi datar. “Lah, lo nggak tahu? Ketos kok nggak tahu, hari ini ada kolaborasi,” jawab Henry santai.

Reno yang berdiri di samping Henry menambahkan sambil tertawa kecil, “Kenapa lo? Biasanya kalau ada acara kayak gini, lo yang paling semangat karena bisa ketemu Vanya.”

Bryan menghela napas berat.
“Gue udah putusin dia,” ucapnya singkat dengan wajah datar.

Pernyataan Bryan membuat teman-temannya terkejut, kecuali Henry yang tampak tidak terlalu kaget. Henry mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Bryan.
“Lo udah tahu, ya?”

Bryan langsung menoleh tajam. “Maksud lo?”

Sebelum Henry sempat menjawab, Vanya sudah menghampiri Bryan dengan langkah cepat, ekspresinya penuh dengan kekecewaan yang tertutupi senyum manis.

“Sayang, kamu nggak kangen apa sama aku? Kamu bahkan nggak balas pesan aku,” ujar Vanya, mencoba menggenggam tangan Bryan.

Bryan segera menarik tangannya dengan kasar, ekspresi tak nyaman dan kesal terlihat jelas di wajahnya.

“Lepasin gue! Kita udah putus! Dan gue udah punya pengganti lo,” balas Bryan dengan tegas.

Vanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Kita baru dua hari putus, dan kamu udah punya pengganti aku? Bryan, kamu pikir aku anak umur lima taun yang bisa dibohongi?”

Bryan, yang sudah lelah dengan debat ini, menggertakkan giginya.

“Lo nggak percaya? Ayo ikut gue.” Tanpa menunggu jawaban, Bryan menggandeng tangan Vanya dan menyeretnya keluar dari lapangan.

Teman-teman mereka hanya bisa melihat dengan tatapan bingung, sementara Bryan dan Vanya berjalan cepat menuju kelas tepat dimana Rafael dan Nathan berada.

Di sepanjang perjalanan, Vanya berulang kali mempertanyakan maksud Bryan, tapi Bryan hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Kali ini, Bryan berniat mengenalkan Rafael sebagai pacar barunya—atau lebih tepatnya, pacar palsu yang ia gunakan untuk mengelabui Vanya.

Mereka tiba di depan pintu kelas, Bryan berhenti sejenak, menarik napas panjang. Vanya semakin bingung dengan sikap Bryan. “Maksudnya apa sih kamu bawa aku ke sini?”

Bryan tidak menjawab. Dengan perasaan campur aduk, ia membuka pintu kelas lebar-lebar, berharap untuk menunjukkan Rafael kepada Vanya. Tapi pemandangan yang disaksikannya justru membuat darahnya mendidih.

Di dalam kelas, Bryan melihat Rafael dan Nathan sedang berdekatan. Nathan tampak berusaha mencium Rafael, dan Rafael, seolah terhipnotis, tidak melawan sedikit pun. Bryan merasa dadanya bergemuruh. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mendekat dan menarik Nathan dengan keras hingga terjatuh ke lantai.

“Lo ngapain bangsat!!!” teriak Bryan dengan mata membara, membuat Nathan tersentak.

Rafael, yang kini tersadar dari lamunannya, terkejut melihat Bryan dan Nathan yang kini terlibat dalam pertengkaran fisik. Nathan yang ikut terbawa emosi, langsung bangkit dan balas berteriak,

“Maksud lo apa bangsat!”

“Berani-beraninya lo deketin Rafael!!” Bryan tidak bisa menahan amarahnya. Ia melayangkan pukulan ke wajah Nathan, memulai perkelahian yang tak terelakkan.

Keduanya saling adu jotos, tidak ada yang mau mengalah. Rafael yang panik mencoba melerai mereka, namun kekacauan itu sudah terlanjur terjadi.

Bryan akhirnya menarik Rafael dengan paksa, menyeretnya keluar dari kelas dengan langkah cepat. Sementara itu, Vanya hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu, shock dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia melihat Rafael, yang selama ini ia kira hanya teman sekamar biasa Bryan, kini terlibat dalam sesuatu yang lebih kompleks.

“Lo tadi ngapain anjing?” tanya Vanya dengan nada tinggi.

Nathan yang masih terengah-engah karena dipukuli hanya bisa menjawab kesal,

“Gue abis dipukulin sialan bukannya bantuin, malah nanya yang nggak penting!”

Vanya menatap Nathan  tajam. “Gue serius bangsat!”

“Udah jelas kan tadi?”

“Lo gay?”

Nathan menghela napas panjang, matanya tampak sayu. “I don't know, maybe.”

Vanya terdiam, perasaan yang berkecamuk di hatinya semakin sulit untuk dipahami.

Vanya terdiam, perasaan yang berkecamuk di hatinya semakin sulit untuk dipahami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC.

Haloo semoga kalian suka sama chapter ini...

Maaf chptr ini pendek, soalnya lagi sibuk belajar buat ujian hehe

Btw semangat terus kalian!!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PRETTY ROOMMATE' Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang