Bag 1. Dahulu Kala

412 51 17
                                    

Ibu adalah seseorang berkepribadian sederhana. Ketika memberiku nama, Ibu tidak repot-repot mengarang. Dia mencomot satu kata pada prolog dongeng dan mengatakannya dengan percaya diri seakan habis melakukan hal hebat.

Namaku Kala. Umurku sembilan tahun.

Aku sangat menyayangi Ibu. Dia memberiku banyak hal. Dimulai dari nama, tubuh manusia, mengajariku berbicara, berhitung, moralitas, bahkan memberiku kehidupan yang harmonis.

Awalnya aku bukan manusia melainkan roh angin. Aku lebih suka menyebutnya peri angin alih-alih roh karena kalau dipanggil demikian aku merasa aku sudah mati dan jiwaku gentayangan.

Bagaimana ceritanya ada peri angin? Itu karena aku menaungi dunia tak biasa. Aku tinggal di dunia pedang dan sihir dimana naga pun eksis di sini. Saking banyaknya mereka seperti capung.

Dunia ini bernama Asfalis. Setiap sekali dalam lima ratus tahun, terjadilah fenomena bulan purnama biru yang mana kekuatan penciptaan milik Sang Dewa akan tumpah ruah ke daratan selama sehari. Segala sesuatu akan berada di kondisi terbaik, bisa menciptakan entitas baru, bahkan bisa menyembuhkan orang sekarat. 

Hari itu menjadi hari spesial lantas dirayakan sebagai Kelimpahan Surgawi. Sebuah peristiwa yang dipenuhi keajaiban dan membangkitkan potensi tanpa batas. Aku terlahir berkat fenomena itu. Angin berkumpul, memampat, lalu membuat satu-kesatuan yaitu aku.

Umurku boleh jadi sembilan tahun, namun usia mentalku lima ratus tahun. Dan aku menderita berabad-abad karena hanya aku angin yang memiliki akal pikiran layaknya manusia.

Tidak ada yang bisa melihatku. Tidak ada yang tahu aku ada di samping mereka. Memikirkannya kembali membuatku ingin menangis. Aku sangat kesepian. Aku butuh teman bicara. Kenapa aku memiliki kesadaran jika aku hanya sendirian?

'Hei, Topan Kecil, kenapa kau begitu sedih?'

Itulah pertama kali aku bertemu Ibu. Dia menyapaku yang sedang melamun di dahan pohon memandangi langit. Manusia pertama yang dapat melihat dan berbicara denganku.

Kami tinggal di rumah pohon di sebuah hutan terpencil. Ibu tidak suka keramaian, makanya membangun rumah di tempat sepi. Ibu penyihir veteran. Jika membuat tubuh manusia saja bisa, tidak sulit baginya membuat rumah dari kayu hanya lewat seuntaian kata-kata ajaib.

Dan ini sudah lima tahun sejak Ibu pergi.

🌙🌙🌙

Lima tahun berlalu sejak Ibu mengangkatku jadi anaknya dan mengajariku menyihir, tidak ada tanda-tanda Ibu akan pulang. Jangankan pulang, mengirim surat saja tidak. Kami hilang kontak.

Saat aku bangun di hari kesekian dan bersiap memulai hari seperti biasa, aku menemukan surat peninggalan Ibu. Dia bepergian menjalani misi. Ibu menyuruhku masuk akademi jika dia belum pulang begitu umurku genap sepuluh.

Aku menopang dagu. "Akademi sihir, huh?"

Tanpa adanya Ibu, pengetahuan sihirku tidak dapat berkembang alias mentok. Tingkatan sihir dibagi dalam: Dasar, Menengah, Lanjut, Suci, Kaisar, dan Dewa. Aku sudah membaca semua buku yang diberikan Ibu dan kemampuanku tertahan di level tiga, tidak bisa menembus level empat karena tidak ada bacaan baru.

Aku tidak peduli dengan gelar. Memangnya aku mau jadi apa sampai repot-repot menembus batasan. Penyihir agung? Penyihir menara? Sekali lagi, aku tidak peduli. Aku tidak ingin mencapai apa pun. Aku hanya ingin bersama Ibu, menunggunya pulang dan tinggal bersama.

Walau sekarang aku hidup sendirian, aku tidak ada masalah dalam hal makanan dan minuman. Urusan makanan aku tinggal pergi berburu, menanam padi dan menumbuhkannya memakai sihir. Praktis. Urusan minuman lebih mudah lagi. Ada mata air jernih di dekat sini. Kalau aku malas keluar, yah, tinggal gunakan sihir air.

Tersisa sebulan lagi sebelum ulang tahunku yang kesepuluh. Jika Ibu belum pulang juga... apa yang akan kulakukan? Haruskah aku menuruti keinginannya untuk masuk akademi? Kurasa Ibu sudah memprediksi kalau aku bakalan ngestuck. Atau Ibu memang ingin aku belajar di akademi dan sengaja tidak meninggalkan banyak buku.

Sebulan pun datang begitu saja. Tapi Ibu tetap tidak ada hilal akan pulang. Dia tidak meninggalkan apa pun dan tidak ada mantra yang bisa melacak keberadaannya.

Aku mulai merasa paranoid. Misi macam apa yang dia jalani sampai lima tahun lamanya tak kunjung pulang? Apakah itu sangat penting?

Atau... jangan-jangan aku dibuang? Ibu tidak menyayangiku lagi karena aku ketergantungan dengannya dan itu merepotkannya. Ibu sadar aku hanya jadi bebannya dan meninggalkanku di sini dengan dalih menjalani misi rahasia.

"Itu tidak benar kan, Bu? Pulanglah..."

Lagi-lagi kesepian menemaniku. Kupikir aku sudah terbiasa dengan kesendirian, ternyata tetap saja rasanya hampa. Aku hanya meringkuk di lantai rumah pohon dengan kue ulang tahun yang tak kusentuh sedikitpun. Berkaca-kaca.

Aku hanya mengenal Ibu di dunia ini. Apabila aku pergi ke ibukota seperti yang Ibu pinta, apakah orang-orang itu akan bersikap baik sepertinya? Bagaimana jika mereka jahat? Aku takut meninggalkan rumah. Aku tidak mau kebahagiaan singkat yang kudapatkan berakhir di sini.

'Kala tahu Ibu mencintaimu, kan?'

Mataku terbuka teringat kalimat tersebut.

Aku mengepalkan tangan. Tidak seharusnya aku bersikap pengecut begini. Sebelum kami bertemu, Ibu memiliki kehidupannya sendiri. Merawatku hanya sepenggal paragraf dalam kisahnya. Aku harus melanjutkan ceritaku tanpa dirinya karena chapter Ibu sudah berakhir.

Apa yang kutakutkan? Aku bisa menyihir, bisa mengendalikan angin, mampu melindungi diri kalau-kalau betulan ada orang berniat jahat.

Maka aku segera mengemas semua barang yang akan kubawa ke ibukota. Tidak ada lagi penantian panjang tanpa jawaban pasti. Tidak ada lagi menjalani kehidupan damai yang biasa. Aku yakin Ibu tidak ingin aku terus di sini.

Aku degdegan. Saking gugupnya, semalam aku harus pakai mantra untuk memaksa diriku tidur. Ini kali pertama aku pergi ke ibukota. Di sana pasti ada banyak manusia. Apa aku akan baik-baik saja tanpa ada Ibu yang menemani?

Ini bukan waktunya untuk takut! Aku harus sekolah supaya sihirku bisa berkembang.

Aku turun dari rumah pohon dengan melayang. Terbang? Tentu saja aku bisa terbang. Aku kan angin itu sendiri. Tidak seperti saat aku dalam wujud peri, kini terbang menguras stamina.

"Ah, hampir saja lupa."

Supaya rumah kami tetap aman dari monster, aku memasang penghalang dan menanamkan mantra tak kasat mata. Aku tersenyum mantap. Sempurna! Wilayah itu terlihat kosong. Aku menyetel hanya aku dan Ibu yang bisa melihat rumah pohon kami yang penuh kenangan hangat.

"Kalau begitu aku berangkat dulu, Bu. Aku pasti akan menjadi penyihir yang kuat sepertimu."

Aku membayangkan petualangan seru mendebarkan di ibukota. Itulah yang kuharapkan. Tapi ketika aku membuka mata, tahu-tahu aku berada di penjara penjualan budak.

Hah? Kenapa aku ada di sini?!!!!

[END] Where Should Dreams Rest? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang