Bag 9. Teman Baru

83 15 1
                                    

Aku sudah memikirkan ini sejak pertama kali kami bertemu dengan lady pemandu rupawan waktu itu dan kecurigaanku mulai tumbuh sejak saat itu. Ternyata dugaanku benar.

Wise, si sialan ini, maniak cewek!

Aku menatap Wise dengan penuh rasa hina. Dia berlebihan sekali membantu si gadis rambut pink yang membasuh jubahnya. Apa perlu dia sampai begitu? Wise memegang bahunya, tersenyum hangat seperti seorang pahlawan yang baru saja menyelamatkan dunia. Mata Wise bersinar dengan semangat yang tak wajar, sementara aku hanya bisa menghela napas. Merasa geli sekaligus muak.

"Nona, apa kau sungguh tidak ingin ke ruang kesehatan?" tanya Wise lembut.

"Aku tidak apa-apa, sungguh. Terima kasih sudah membantuku. Ini kali pertama aku melihat kalian, apa kalian murid baru?"

Sebentar, gadis ini... tidak ada tanda-tanda syok atau ketakutan sedikitpun! Sikapnya begitu santai dan terkontrol seolah perlakuan kasar ini adalah hal biasa baginya. Padahal aku yakin dia sempat gemetaran tadi.

"Kau yakin baik-baik saja? Kenapa kau santai sekali?" tanyaku menyipit.

Dia hanya mengangkat bahu, matanya sedikit meredup. "Murid dari kalangan bawah sering diperlakukan seperti ini," jawabnya datar. "Sudah jadi rutinitas harian. Tanpa perlu kalian bantu tadi pun, aku sudah terbiasa."

Tanganku terkepal. Bangsawan sialan! Sudah berapa lama tirani ini berlanjut? Berapa banyak orang yang menderita sepertinya terjebak dalam siklus kejam ini?

"Omong-omong, namaku Encore. Kalian?"

"Aku Wise," jawab Wise dengan senyum lebar yang masih tak luntur, menunjukku. "Dia Kala. Mari kita berteman baik!"

"Teman..." Dahi Encore berkerut, mengusap lengan. Aku menangkap denting keraguan menggantung di wajahnya. "Yakin? Kalian bisa terlibat masalah bahkan dirundung jika berteman dengan rakyat jelata lho."

"Apa masalahnya?" Wise menyeringai. "Kami berdua juga rakyat jelata. Takdir telah mempertemukan dan mempersatukan kita!" lanjutnya sambil menari-nari bahagia.

Bilang saja kau demen dengannya!

Aku mengembuskan napas panjang, malu dengan tingkah Wise yang lebay. Sementara itu, Encore menatapnya dengan pandangan lelah yang sama seperti aku.

Mendadak aku teringat suatu hal, beralih menatap Encore. "Ada yang ingin kutanyakan padamu. Tadi... teman si bangsawan kasar mengatakan sesuatu tentang pemerintahan dan Descender. Itu maksudnya apa?"

"Jika aku menjelaskannya, itu akan memakan banyak waktu. Terlebih aku tidak punya kemampuan komunikasi yang hebat dan juga masih mempelajari sejarah Asfalis. Saranku, ikuti kelas Historis Kuno. Itu setiap hari rabu. Semua pertanyaanmu akan terjawab."

Bahuku merosot. "Apa kau yakin aku dinotis? Mereka pasti akan mengacangiku."

"Percaya saja padaku."

🌙🌙🌙

Keesokannya, aku mengikuti kelas ramuan. Tidak perlu ditebak lagi, aku juga dikucilkan di sini. Setiap kali aku mencoba berinteraksi atau bertanya, hanya ada tatapan sinis dan umpatan pelan yang menyertainya.

Begitu juga dengan gurunya, Master Side. Sikapnya sebelas duabelas dengan Madam Flya, menganggapku seperti manusia tak terlihat. Dia tidak melirik ke arahku ketika menjelaskan bahan ramuan untuk ramuan perubah wujud, seolah aku bukan bagian dari kelas ini. Saat para siswa lain dipanggil satu per satu untuk mencoba mencampur ramuan di depan kelas, namaku tidak disebut.

Hahaha, beginilah hidup. Kadang di atas, kadang di bawah. Tapi di sini akan selalu di bawah jika statusmu tidak berubah.

Ya sudahlah ya. Aku juga tidak butuh teman sesat. Malah aku senang ditinggal sendirian di kelas dan bebas meracik sesukaku. Paling tidak diperbolehkan meminjam buku—itu pun buku yang sudah menguning oleh waktu dan halamannya robek-robek dimakan rayap.

Berbeda dengan yang diajarkan Ibu di hutan yang condong ke metode tradisional, teknik membuat ramuan di akademi jauh lebih modern. Alat-alatnya juga canggih. Selain itu ada banyak nama bahan-bahan yang belum pernah kubaca. Mereka dibagi per kategori; umum, super, langka, dan legenda.

Kelas ini seru. Aku hanya butuh lima menit untuk meracik ramuan penyembuh. Memang, pengetahuan adalah kekuatan berbahaya.

Benar juga. Kalau diingat-ingat, tempo lalu Wise bilang peri angin adalah bahan ramuan tipe legendaris. Kira-kira apa kegunaannya? Aku membalikkan halaman buku kamus dan terhenti di halaman 438. Mataku terbelalak.

T-tunggu. Apa ini sungguhan? Kata-kata yang tertulis di halaman tersebut membuat jantungku berdegup kencang. Bibirku memucat. Bulir keringat dingin mengalir. Jika ini benar, bukankah akan berbahaya? Skalanya setara dengan senjata dunia!

Aku keluar dari kelas dengan berbagai pertanyaan mencurah di kepala. Di antaranya adalah alasan Ibu membuatkanku sebuah tubuh manusia. Dia penyihir, namun tidak mengekstrakku menjadi bahan ramuan. Malah menjadikanku anaknya. Sebenarnya apa...

"Kumohon, cepatlah kembali."

Aku tersentak, berhenti menyusuri lorong, Angin membawa bisikan misterius. Suaranya sama dengan suara yang kudengar kemarin, terdengar putus asa dan dipenuhi kesedihan. Mataku menyensor sekeliling, mencari asal suara, namun tidak ada siapa-siapa. Suara tersebut menghilang secepat ia datang.

Terlalu aneh menyebutnya kebetulan dua kali. Apa ini hanya halusinasi? Atau ada sesuatu yang mencoba berkomunikasi denganku?

Kubiarkan kakiku menyusul arah suara. Jika benar ada yang membutuhkan pertolongan di luar sana, aku harus menolongnya. Ibu selalu mengingatkanku supaya tidak mengabaikan seseorang yang sedang kesusahan.

Tanpa sadar, aku tersesat ke bangunan utama akademi yang bertingkat. Ukiran dindingnya dipahat semewah dan sedetail mungkin melambangkan empat kerajaan, tapi yang membuatku terpana adalah patung raksasa menjulang di tengah lapangan.

Aku berbinar-binar, menyadari bahwa patung ini sangat mirip dengan yang pernah kulihat di ibu kota. Hanya saja ukuran yang satu ini sepuluh kali lipat, sebesar gedung sepuluh lantai. Patung itu menggenggam bola besar di tangannya. Aku dapat merasakan tanda-tanda kehidupan samar di dalamnya. Energinya tidak ramai atau mencolok, tapi kualitas magianya sangat kuat—sekelas Ibu!

Mungkinkah di sana tempat tinggal para penyihir penting? Aku takkan heran jika tebakanku benar. Para petinggi Klan Penyihir jelas memiliki selera bagus perihal rumah.

Tapi yang membuatku heran adalah...

Suara yang kudengar berasal dari sana.

[END] Where Should Dreams Rest? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang