Bag 21. Menghilang di Depanku

62 11 0
                                    

Kepalaku benjol dijitak Esok.

"Kau! Apa kau ingin dieksekusi?! Dia itu raja, lho, R-A-J-A. Terlebih beliau adalah Raja Baratab! Menyentuh tangan raja itu sama saja menodai kehormatan kerajaan! Apalagi untuk kita warga dari kalangan rendah."

Esok tampak benar-benar marah, seolah memperingatiku akan bahaya yang baru saja kutimbulkan. Aku terhuyung sedikit. Tidak sakit sih. Perasaan syok lebih mendominasi.

Dia memberitahuku jika ada sosok berjubah atau murid yang memakai lencana bunga lavender, maka dia berasal dari Kerajaan Baratab (Malam Keheningan). Kerajaan lain juga memiliki lencana sesuai dengan simbol menara yang ada di akademi. Tapi mari kita lewatkan itu karena ada hal yang lebih penting.

Aku tidak peduli dengan silsilah kerajaan. Tidak ada gunanya menghormati bangsawan kecuali mereka beradab. Tato kamboja di tangan orang tadi, itulah hal yang mendesak.

Masa sih seorang raja ikut berkecimpung di dunia bawah. Apa perannya di pabrik itu? Seharusnya dia fokus saja pada tugasnya sebagai raja, bukan mendirikan penjara budak.

Tidak, tidak. Terlalu dini menyimpulkan. Aku harus mengumpulkan lebih banyak petunjuk. Pokoknya sekarang beritahu Wise dulu.

"Maaf, Esok, tapi aku tidak bisa mencari Lusa bersamamu. Ada yang harus kulakukan. Kalau kami bertemu, bakal langsung kulapor!"

Aku memanggil Sinyi—dia bisa berubah menjadi wujud sapu atau peri sesukanya. Tidak seperti awal-awal (enggan mendengarkan panggilanku), kini Sinyi sedikit patuh. Dia sama seperti kucing liar yang jinak diberi makanan.

Saat meninggalkan Esok, diam-diam gadis itu memasang ekspresi misterius.

🌙🌙🌙

Kupikir sulit bertemu Wise sebab ini kali pertama aku ke jurusan pedang. Dari tadi aku dilirik oleh murid-murid di sana, membuatku merasa canggung dan tidak nyaman. Mereka semua rata-rata tinggi dan berotot.

Tidak ada larangan penyihir bertandang di bangsal ksatria, begitupun sebaliknya. Mungkin menarik bagi mereka melihat penyihir kecil yang dalam masa pertumbuhan.

Aku mempercepat langkah, mengabaikan tatapan mereka yang terus mengikuti. Wise sedang berdiri di depan papan pengumuman, memperhatikan daftar nama murid ksatria yang hilang. Di sekelilingnya, beberapa murid lainnya tampak penasaran dan khawatir.

Dia menoleh padaku. "Oh, Kala. Ada apa?"

Aku tidak segera menjawab, ikut menatap papan. Ada lima ksatria dengan level di atas 200 dan sepuluh ksatria level 20 yang hilang.

Namun, ada perbedaan mencolok di antara mereka. Para ksatria level rendah seperti lenyap tanpa jejak seakan tak pernah lahir. Sementara itu, untuk para ksatria level tinggi, keberadaan mereka masih terasa samar-samar, seolah ada sesuatu yang masih mengikat mereka ke dunia ini, meski tak jelas di mana.

"Jadi di sini juga ada yang menghilang?"

Wise menghela napas. "Yeah, seperti yang kau lihat. Guru-guru berkata ini ada hubungannya dengan ramalan. Ditambah Cocoon of Tacet semakin aktif terbuka. Banyak yang menduga murid-murid yang hilang terjebak di sana. Ramalan mungkin mengacu pada lubang itu."

Aku menggeleng. Tidak, itu akan berbeda jauh dengan isi ramalannya. Bulan Akan Segera Jatuh, tidak ada sangkut pautnya dengan Cocoon of Tacet. Tapi, apakah ramalan itu benar-benar hanya tentang bulan atau ada makna tersembunyi yang belum kami pahami?

"Jadi, untuk apa kau kemari? Merindukanku?" Wise tersenyum tengil. Alisnya naik-turun.

"Mimpi pun tidak pernah." Aku mendekat dan menurunkan volume suara, memastikan hanya dia yang mendengar. "Ini tentang Haberit of Oath," bisikku penuh kewaspadaan.

Aku pun menjelaskan tentang tato kamboja.

Sama seperti reaksiku sebelumnya, Wise juga tampak tidak percaya. Tidak mungkin pihak kerajaan terlibat dalam latar belakang penjara budak. Itu gila. Apalagi seorang raja!

"Kau yakin tidak salah lihat? Kita sedang membicarakan Raja Baratab lho ini."

"Kenapa kalian bisik-bisik?" celetuk Encore.

Aku dan Wise sama-sama tersentak kaget mendengar suara itu. Kami langsung menoleh ke arah Encore yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang kami. Wajahnya polos.

Aku mencoba menenangkan diriku. "Encore... Sejak kapan kau ada di sini?"

Encore mengangkat bahu, tersenyum. "Cukup lama untuk mendengar bisik-bisik rahasia kalian. Jadi, ada apa? Sesuatu yang seru?" Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, sementara aku dan Wise hanya saling melirik.

Wise mendesah pelan, tidak ingin melibatkan lebih banyak orang. "Tidak ada apa-apa, Nona En. Omong-omong ngapain di jurusan pedang? Ada keperluan atau... kangen denganku?" katanya jenaka, dengan mulus menukar topik.

"Aku punya teman di sini dan ingin bertemu dengannya. Lalu melihat kalian bergosip."

"Heh, enak saja! Kami tidak bergosip," kataku tersinggung. Bergosip bukan perbuatan baik. Aku tidak mau dicap jadi anak nakal.

Tiba-tiba sekelompok bangsawan muncul di ujung koridor, mengalihkan perhatian kami. Mereka adalah gerombolan yang merundung Encore di kantin waktu itu. Pemimpinnya menutup bibir dengan kipas sambil menatap sinis ke arah kami, spesifiknya Encore.

"Oh lihat ini, para jelata berkumpul," ejeknya, suaranya penuh nada merendahkan. Gelak tawa teman-temannya menggema.

Aku mencibir. "Apa mereka tidak punya hal baik untuk dilakukan selain mengejek?"

Wise mengedikkan bahu. "Mungkin mereka tidak ada kerjaan selain menghina orang lain. Aku baru tahu bangsawan segabut ini."

"Ada apa, Wise?" Aku melipat tangan ke dada, santai menunjuk kelompok gadis bangsawan itu. "Bukankah kau penggila wanita? Gih sana, hampiri dan puja mereka seperti biasa."

"Meh, ogah sama mereka. Bau sombong."

Encore ikut meledek. "Sepertinya mereka memang butuh perhatian deh. Caper kan istilahnya? Mengingat bangsawan tugasnya belajar dan terus belajar, tidak punya waktu bermain. Makanya masa kecil kurang bahagia."

Kami tertawa keras dengan sengaja. Wajah gadis bangsawan itu merah padam. Dia menggenggam kuat kipasnya, terlihat sebal.

"Beraninya kalian mengejek bangsawan! Jangan kira kalian bisa berbicara sembarangan!" teriaknya, suaranya bergetar karena marah. "Aku akan membuat kalian menyesal!"

"Kami sudah menyesal bertemu denganmu," balasku tanpa ragu. Berkacak pinggang. "Selagi kami tidak berbuat onar, tidak ada yang bisa kau lakukan. Mengadu? Silakan!"

Suara pengumuman menggaung di udara.

"Peringatan! Cocoon of Tacet telah terbuka! Flawed menyerang! Para penyihir dan ksatria diharapkan berkumpul di halaman! Sekali lagi..."

CoT brengsek. Kenapa ia selalu terbuka di situasi yang menyenangkan sih? Aku—

Baik aku, Wise, dan Encore melotot merasakan energi negatif yang berat muncul di belakang kelompok bangsawan itu. Asap ungu bercampur hitam pekat menyembur dari celah yang merekah di lantai, menarik tiga kawannya kemudian menghilang tak berbekas.

"Hei, hei, jangan bercanda..." cicit Encore.

"Tidak ada yang bilang Cocoon of Tacet terbuka di tanah, kan?! Bukankah itu seharusnya menggambang di udara!" Wise menambahkan dengan nada panik.

Sebelum gadis bangsawan (pemimpinnya) ikut lenyap, aku melompat maju dan menariknya menjauh dari benda aneh itu. Normalnya bulan sabit melengkung ke arah kanan, tapi ini justru menghadap kiri. Warnanya hitam bukan putih.

"Apa yang terjadi? Apa ini sebenarnya? Ini bukan Cocoon of Tacet yang kutahu!"

[END] Where Should Dreams Rest? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang