Bag 45. Selamat Datang Kembali

35 11 0
                                    

Seminggu setelah penghukuman, akademi berangsur normal di bawah kepemimpinan Paijo yang kembali ke takhtanya. Tidak ada lagi dominasi para bangsawan; setiap siswa, baik dari kalangan biasa maupun terpandang, berdiri setara. Dekrit-dekrit baru yang diturunkan Paijo menjadi dasar perubahan, menghapus aturan lama yang penuh ketidakadilan dan membawa angin segar bagi warga Klan Penyihir.

Para siswa yang dulu hidup di bawah bayang-bayang status kini merasakan kebebasan baru. Kegiatan belajar mengajar terasa lebih inklusif, tanpa batasan yang dulu menguntungkan kalangan atas.

Selain menghapus peraturan lama, Paijo juga memperkenalkan pelatihan-pelatihan baru yang lebih menekankan kerja sama dan pengembangan kemampuan individu. Siswa-siswa dari latar belakang berbeda kini berlatih bersama tanpa hambatan status, menjalin ikatan pertemanan yang erat.

Aku selesai mengemas semua barangku ke dalam Pouch—kantong spesial untuk penyihir yang diberi mantra perluasan—menatap kamarku sekali lagi. Tempat ini penuh kenangan, entah itu waktu yang kulewatkan berlatih mantra, meledakkan ramuan, atau hanya sekadar berbaring menatap langit-langit sambil merenung. Tapi sekarang, waktunya pergi.

Kemarin aku sudah berpamitan dengan Atefeh. Dia tampak kecewa mendengar bahwa aku memilih untuk meninggalkan akademi, apalagi saat semester baru saja dimulai. Walau berat, ini adalah keputusanku.

Aku tidak mau melanjutkan studiku.

Aku mau berpetualang ke Klan Peri, terutama Kota Fairyda. Di sanalah aku harus menyampaikan pesan dari Encore untuk gurunya, Alkaran. Aku juga harus mampir ke rumah keluarga Wise untuk mengabari...

Ah, kepalaku mendadak kosong. Mengabari apa? Haruskah aku memberitahu orangtuanya?

Pintu kamarku diketuk sebelum aku larut dalam kesedihan tak berkesudahan. Aku menyeka ujung mata, membuka pintu. Berdirilah seorang penyihir pos dengan kantong besar penuh surat dan paket.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

Dia mengulurkan dua benda padaku. Yang pertama adalah amplop surat, dan yang kedua sebuah benda panjang yang terbungkus rapi dengan kain berwarna merah. "Berikan hadiahnya pada hari ulang tahun Kala-La yang kesebelas," lapornya tanpa ekspresi. "Paket telah dikirim. Selamat tinggal."

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, dia sudah menghilang begitu saja. Aku memandangi paket yang ada di tanganku. Siapa yang memberiku hadiah? Aku tidak punya banyak kenalan di sini. Dan lagi, aku bahkan lupa hari ini adalah hari ulang tahunku.

Seseorang mengingatnya untukku.

Aku membuka kotak yang panjang terlebih dulu karena penasaran, seketika tertegun. Itu adalah sebuah tongkat sihir! Yang bisa dipendekkan, bisa juga dipanjangkan sesuai keperluan. Simbol duabelas zodiak terukir di batangnya. Bagian kepalanya berbentuk bulan sabit dengan empat duri runcing di atasnya. Lalu di tengah 'bulan sabit'-nya terdapat bola kristal bintang segi delapan berwarna merah.

Aku melihat kertas kecil tergantung di gagang tongkat itu, goresan tinta halus membentuk pesan singkat: Pakai dengan bijak! Ini mahal lho! (Wise)

Mataku berair, tertawa pahit. "Dasar brengsek. Jadi kau pergi ke dungeon untuk membelikanku tongkat? Aku itu Penyihir Angin tahu, bukan Penyihir Bintang. Harusnya kau gunakan uangmu untuk dirimu sendiri."

Hatiku sesak sekali. Aku sulit bernapas, seiring dengan air mata yang sulit kutahan. Tapi aku tidak boleh larut dalam perasaan ini. Masih belum. Ada satu lagi paket yang harus kubuka—surat yang ditulis oleh Dadia. Isi surat itu pendek, namun membuatku semakin yakin untuk berangkat ke Klan Peri.

'Ini pertama kali aku menulis surat mengingat tidak ada yang mau berteman denganku sebelumnya karena aku seorang Shade. Tapi kau mengabaikan gelar yang membebaniku selama 900 tahun dan mengulurkan tangan kepadaku. Aku sudah muak dengan kehidupanku, namun kau memberi warna.

[END] Where Should Dreams Rest? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang