Bag 17. Court of Elders

74 15 0
                                    

"Apa yang anda lakukan di sini, Lady Dadia?"

Dadia cemberut. Dia jelas terganggu dengan kehadiranku. "Oh, ayolah. Jangan formal begitu. Kau membuatku tidak nyaman."

Aku mengedikkan bahu. Aku hanya bersikap sewajarnya. Dia tidak memberitahu identitasnya dan memiliki kewenangan berkeliaran di akademi meski bukan murid sekalipun. Itu berarti dia orang penting seperti si Tuan Naga.

Kualihkan pandanganku ke sekitar. Suara isak tangis yang dibawa angin barusan menghilang sejurus kemudian. Padahal aku yakin arahnya di sini, tempat dimana Dadia berdiri sendirian.

Sebentar, ada yang tidak beres. Suara itu bukan miliknya, kan? Karena tercampur oleh tiupan angin, kualitas suaranya jadi buram. Kalau begitu daripada tanya jawab sendiri, mending kutanya langsung ke orangnya deh.

"Apa anda barusan menangis?"

Gadis itu tersentak sedikit. "Tangisan?" beonya mengibaskan tangan. "Tidak ada yang menangis di sini. Kau pasti salah dengar. Dan sudah kubilang jangan bicara kaku!"

Angin jarang sekali berbohong padaku. Tidak mungkin itu hanya ilusi. Tangisan itu begitu nyata, begitu penuh duka. Ada sesuatu yang disembunyikan Dadia, aku bisa merasakannya.

"Kau tidak perlu berbohong."

Dadia mengembuskan napas panjang. "Aku ingin ke sana," ucapnya menunjuk bola yang dipegang patung raksasa di tengah halaman. Benda itu bercahaya keperakan seolah mengawasi sepenjuru akademi dari ketinggian.

"Memangnya itu apa?" tanyaku polos.

"Court of Elders, tempat tinggal dewan pemerintahan Klan Penyihir. Raja dari empat kerajaan juga tinggal di sana lho."

Yah, aku sudah menduganya sejak pertama kali tersesat ke sini. Tekanan kuat yang terpancar dari sana menjelaskan patung ini bukan sekadar hiasan, juga menguatkan fakta bahwa Dadia punya hubungan yang relevan dengan Klan Penyihir. Mungkin dia seorang putri.

"Tuan Ultimatia masih belum datang. Tanpa dia aku tidak bisa ke sana," lanjutnya cemberut.

"Lho kenapa? Kau tidak punya sapu?"

Dadia berdeham pelan. Aku menangkap sekilas semburat merah di pipinya. "Aku... tidak bisa terbang. Kau tahu, tidak semua penyihir berani pada ketinggian..." Suaranya mengecil di akhir kalimat, seakan malu mengakuinya. "Mereka juga punya ketakutan yang manusiawi."

"Lalu kenapa tidak pakai mantra teleportasi?"

Rasanya aneh saja seorang penyihir tidak bisa mencapai sebuah lokasi yang ingin dia tuju, apalagi dia bukan dari kalangan rendah. Jelas kualitas magia miliknya jernih dan kental.

Dadia berkacak pinggang. "Court of Elders bukan tempat sembarangan yang bisa diakses menggunakan sihir, tahu. Tuan Ultimatia yang menciptakannya sebagai tempat perlindungan, pengadilan, opera, dan pengawasan."

Aku mengangguk pelan. Dia seekor naga, auranya kuat dengan kehadiran yang tidak dapat diprediksi. Mungkinkah dia Sang Descender yang disebut-sebut khalayak?

Panjang umur. Sebelum aku sempat menjawab, udara tiba-tiba berubah lembap. Dalam sekejap, Tuan Magistrate muncul begitu saja di belakang kami tanpa peringatan sedikitpun. Astaga! Teknik teleportasinya sangat halus. Aku tidak merasakan kedatangannya sama sekali.

"Maaf membuat anda menunggu, Lady Dia."

Aku refleks menegang, mengunci rapat-rapat bibir. Suasana ini cukup canggung. Aku tahu dia mengenaliku sebagai peri angin, namun kenyataan bahwa dia memilih untuk tidak peduli membuatku kikuk di hadapannya.

"Kau sungguh lama sekali, Ulti!" protes Dadia seperti anak kecil yang ditinggal orangtuanya pergi ke pasar. "Apa yang membuatmu telat?"

"Saya sedang rapat mengenai beberapa murid yang menghilang misterius akhir-akhir ini."

Dadia spontan berhenti mengeluh. Aku juga berhenti gugup tak berkesudahan, menatapnya intens. Ternyata benar kata Reason. Saat itu aku tidak begitu memikirkannya, berpikir itu hanya rumor belaka. Sekarang itu terasa nyata menilai Tuan Magistrate sampai mengadakan rapat dengan guru-guru akademi.

Dadia bersedekap, wajahnya lebih serius dari seperkian detik lalu. "Bagaimana hasilnya?"

"Tampaknya ini berhubungan dengan ramalan."

Aku terdiam. Ramalan? Seperti yang dikatakan tahanan di penjara budak dan Madam Pedestrian? Sebenarnya ramalan macam apa yang membayang-bayangi Klan Penyihir...

Tunggu, waktu itu si tahanan bilang 'Bulan Akan Segera Jatuh'. Apakah itu isi ramalannya?

Aku mendongak menatap bulan yang bersinar indah dan terang di langit. Cahaya bulan yang lembut mengundang banyak pertanyaan di benakku. Apa yang akan terjadi jika bulan jatuh? Apakah itu hanya kiasan, atau sungguh akan ada sesuatu yang mengerikan terjadi? Ukh! Aku ingin bertanya, tapi takut sama naga.

Tanpa kusadari, Tuan Magistrate melirikku yang tenggelam dalam pikiran. Dia berbalik menghadap ke arahku. "Lalu, apa yang dilakukan siswa sepertimu bermain-main di sekitar Court of Elders? Ini wilayah terlarang."

Mampus! Aku terperanjat. Kukira dia tidak tertarik menotisku karena fokus melapor pada Dadia, tetapi pada akhirnya begini juga.

"Ah, i-itu... saya s-suka dengan patung ini!"

Demi Dewa Asfalis, alasan goblok macam apa itu? Mengatakan bahwa aku hanya menyukai patung di sini terasa sangat tidak meyakinkan. Aku berharap bisa memberi jawaban yang lebih baik, namun lidahku kelu. Jemariku dingin.

Dadia menatapku dengan ekspresi bingung dan geli. Ini bukan momen yang tepat untuk bersikap canggung, apalagi di depan Tuan Magistrate yang terlihat berwibawa.

"Wajar kau tertarik," katanya datar. "Patung ini adalah bentuk penghormatan pada Sang Descender. Setiap kota, desa, dan wilayah yang ada di Klan Penyihir memiliki satu patung."

"Eh? Itu patung Sang Descender?" kataku terkejut, menatapnya sekali lagi. Berdecak kagum. "Sepertinya beliau penting sekali sampai seluruh wilayah memiliki patungnya."

Tuan Magistrate mengernyit, raut wajahnya mendadak berubah. "Apa ini, jadi kau belum tahu siapa itu Sang Descender?"

Aku menelan ludah, kemudian menggeleng patah-patah. Apa, apa? Apa aku salah bicara? Tidak tahu siapa itu Sang Descender adalah kesalahan fatal? Aku juga ingin tahu, tapi selalu ada penghalang yang membuatku kesulitan!

Dia menghela napas panjang, menatapku seakan aku siswa paling bodoh dan pemalas di akademi ini. "Jangan sering membolos kelas," ujarnya dingin, kemudian menjentikkan jari. Tubuh mereka berdua mulai memudar.

Dadia menatapku yang melongo dengan senyum tipis, melambaikan tangan sebelum ikut menghilang bersama Tuan Magistrate. "Sampai jumpa lagi, Kala!" katanya ringan. "Dengarkan perkataan Master Ultimatia ya. Hahaha!"

Dalam hitungan detik, mereka sudah lenyap menuju Court of Elders, meninggalkanku sendirian di lorong yang hening. Angin berdesir pelan, turut mempermainkan perasaanku.

Aku menendang kerikil kecil di lantai, frustasi dengan tuduhan itu. Wajahku memerah. Apakah barusan aku dituduh membolos? Aku tidak pernah bolos! Bahkan saat masih bersama Ibu, aku tidak pernah bermalasan!

Dasar menyebalkan.

[END] Where Should Dreams Rest? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang