Bag 3. Haberit of Oath

156 28 0
                                    

Aku memiliki tiga mode: Minor, Mayor, Finality.

Minor adalah batas waras dimana aku bisa terbang dan mendengar bisikan yang dibawa embusan angin. Mayor adalah batas meletus dimana emosiku memuncak dan aku merasa terancam hingga aku bertransformasi menjadi puting beliung raksasa. Sedangkan Finality adalah batas terlarang dimana aku memanggil kawah angin, menciptakan pusaran destruktif yang mencincang seluruh area di sekitarku.

Nah, yang dilarang Ibu adalah bentuk terakhir. Jadi menurutku aku akan baik-baik saja menunjukkan kekuatan anginku di depan Wise yang mendapatkan semangat baru.

Wise berkata bahwa dia memang sudah ingin kabur dari tempo lalu, namun selalu gagal karena ketidakberdayaannya. Begitu mendengar aku punya satu dua teknik kecil, dia segera memancarkan aura semangat kemerdekaan.

Menurut informasi yang Wise dengar dari obrolan antar sipir, alasan mereka mengincar anak kecil yaitu magia milik anak-anak jauh lebih mudah diambil ketimbang milik orang dewasa. Itu terkadang suka tersangkut di tengah-tengah penyedotan dan justru menghabisi nyawa si penyihir. Hal ini membuatku sadar bahwa meski mereka menculik kami, mereka tidak punya niat membunuh. Mereka hanya mencuri magia.

"Jika magia-mu telah disedot, lantas kenapa mereka tidak membebaskanmu jika mereka benar-benar tidak punya niat jahat?"

"Mungkin mereka takut anak-anak yang dilepaskan dari penjara mengadu ke guild petualang dan markas mereka bisa ketahuan. Mereka tidak menelantarkan kami kok. Mereka bahkan teratur memberi kami makanan."

Aku menatap Wise tidak mengerti. Secara kasar, Wise seakan memaklumi tindakan mereka. Dia tidak terkena Sindrom Stockholm, kan?

"Ada informasi lain yang kau miliki?"

Wise berpikir sejenak sebelum teringat sesuatu. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah lencana antik. "Lusa lalu, salah satu sipir yang memberiku makan menjatuhkan ini. Mereka juga membicarakan sesuatu tentang Haberit of Oath yang tidak kuketahui maknanya."

Aku menerima lencana kayu itu, mengernyit saat melihat ukiran bunga kemboja dengan empat kelopak yang tampak flamboyan, mencolok di tengah kesederhanaan kayunya.

"Tapi kau sungguh punya cara untuk kabur, kan?" tanya Wise, suaranya bergetar saat aku masih memeriksanya. "Aku sangat merindukan orangtuaku. Jangan patahkan harapanku, ya?"

Kata-kata Wise menyiratkan perasaan putus asa yang mendalam, seolah dia menggantungkan segala sisa keyakinannya padaku. Mendengarnya sangat ingin bebas membuatku tersenyum.

"Tentu saja! Aku juga punya orangtua tahu."

Rencana kami simpel. Begitu waktu makan siang habis, kami akan pergi sebelum para sipir berdatangan mengecek kondisi tahanan. Aku belum bisa menyelamatkan mereka semua, tapi secepat mungkin aku akan mencari bantuan.

Aku dan Wise berpura-pura makan saat para sipir mondar-mandir di sekitar sel, berusaha sebisa mungkin terlihat tenang. Bahkan Wise memasang tampang tidak punya harapan hidup.

Tapi sialan, makanan ini enak banget. Sungguh ironis di tengah situasi seperti ini makanan penjara justru jadi godaan tersendiri. Aku nyaris lupa pada rencana kami sejenak karena hampir mewek teringat sup buatan Ibu.

"Sudah waktunya!" Wise berseru pelan setelah memastikan semua sipir meninggalkan sel. 

Baiklah. Aku menempelkan tangan ke dinding. Sejumput rambutku yang berwarna mint bercahaya begitu aku mengaktifkan kekuatan. Angin berputar hampir tak terlihat, menggerus dinding sedikit demi sedikit tanpa suara.

Perlahan namun pasti, tembok itu terkikis oleh angin yang kusalurkan menciptakan celah sempit cukup untuk kami lolos, beriringan berbunyinya sesuatu semacam alarm membuat ruangan seketika disiram cahaya kemerahan. Aungan sirine yang keras terdengar oleh semua sipir.

Mampus! Jadi selain memasang antisihir, mereka juga memasang alarm? Ketat banget! Wise sepertinya tidak memperkirakan ini.

"Cepat! Jangan biarkan satupun kabur!"

Tidak ada lagi waktu untuk perlahan-lahan. Aku mengerahkan segenap tenaga, membuat dinding itu jebol dalam satu hentakan kuat. Kami harus kabur sekarang atau tidak sama sekali.

Di saat aku bersiap-siap untuk melompat, Wise memperingatiku tentang lokasi markas yang tinggi. Tapi aku tidak terlalu mendengarnya karena turbulensi angin yang kencang ditambah celetukan panik dari tahanan di sebelah sel.

"Kalian akan mati kalau keluar dari sini."

Aku menatapnya. "Apa maksudmu?"

Sipir sampai di tempat kejadian tepat saat dia melanjutkan perkataannya. "Bulan akan segera jatuh," ucapnya misterius. "Ramalannya akan jadi kenyataan. Mimpi-mimpi pun beristirahat."

Tanpa mempedulikan peringatannya yang tidak jelas, aku meraih lengan Wise dan terjun ke bawah. Tapi, eh? Mataku melotot. Tidak ada pijakan melainkan daratan yang sangat jauh. Kami berdua jatuh bebas dari langit, menembus awan-awan dan kawanan burung yang langsung menyebar, enggan bertabrakan dengan kami.

"UWAAAAA!!!! KENAPA JADI BEGINI?!"

"Markas mereka diberi sihir perluasan! Dari luar terlihat seperti pabrik satu lantai, namun sebenarnya dari dalam itu menara dengan seratus lantai! Kita akan mati!" jerit Wise.

"Kenapa kau tidak memberitahuku?!"

"KAU YANG TIDAK MENDENGARKANKU DAN MAIN LONCAT SAJA, DASAR BODOH!"

Enam ratus meter, lima ratus meter... Jarak terus terpangkas. Dalam beberapa detik kami akan bertemu malaikat maut. Sial! Aku tidak meninggalkan rumah untuk petualangan pendek.

"Wise! Lakukan sesuatu! Tubuh kita akan hancur berkeping-keping begitu tiba di permukaan!"

"Demi dewa Asfalis yang maha kuasa, kau penyihirnya!" Wise ingin menangis menghadapi kebodohanku. Teriakan paniknya menyatu dengan tekanan angin yang mengobrak-abrik.

Ah, benar juga. Aku lupa diriku penyihir. Kepanikan ternyata membuat seseorang kalap. Aku mengarahkan tangan ke bawah, berusaha mengalahkan tekanan angin. Tinggal dua ratus meter sebelum pendaratan. "Jadilah kenyal!"

Sepetak tanah keras berubah sifat menjadi permen karet. Kami mendarat dengan selamat ke atasnya dengan muka pucat pasi. Tsk! Sebenarnya setinggi apa markas orang-orang gila itu? Hampir saja aku menuju alam baka.

"Hei, aku punya firasat umurku akan pendek jika aku pergi denganmu. Ayo kita berpisah saja."

Aku beranjak bangun, tidak terima dengan kalimatnya. "Eh, aku baru saja menyelamatkan kita. Kau seharusnya berterima kasih padaku."

"Terima kasih untuk apa? Untuk hampir membunuh kita karena kecerobohanmu?!"

Seruan kelompok pencuri magia menghentikan perkelahian kami, mengingatkan kami bahwa bahaya belum sepenuhnya hilang. Mereka menyusul, ya? Kelihatannya mereka sudah sadar aku bukan penyihir awam dan takkan ditaklukkan semudah itu oleh ketinggian ratusan meter.

"Gencatan senjata! Kita kabur dulu."

Aku mengangguk. Kami menjauh dari tkp.

[END] Where Should Dreams Rest? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang