Dadaku terasa sesak.
Tak kusangka aku pun menjadi korban yang menghilang dari fenomena Cocoon of Cacophony. Tapi karena aku masih bernapas, berarti benda itu tidak membunuh korbannya secara langsung. Hanya memindahkan.
Usai menormalkan napas, aku menoleh ke sekeliling. Merujuk cerita tentang asal usul pembentukan Asfalis lalu sejarah adanya makhluk Flawless dan Flawed, maka tak pelak lagi kami berada di bekas Katastrofi.
Ini adalah tanah yang tandus. Kerangka pohon-pohon kurus yang meranggas tanpa daun, hanya tinggal ranting-ranting kering yang mencuat tajam seperti duri. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, seolah seluruh alam di sini telah menyerah pada kegelapan.
Perlahan aku mendongak, tersentak.
Langit di atasku tidak hitam cemerlang seperti malam di Tovenar; ini adalah malam yang berwarna merah menyala. Bulan putih yang biasa kulihat sangat berbeda dengan bulan di tempat ini. Benda itu berwarna merah darah, memancarkan sinar kemerahan suram yang kental membuat pemandangan di daratan terlihat mengerikan.
Aku tercenung sejenak, mencerna semuanya. Rasanya seperti aku terjebak di dunia lain, tempat yang asing dan tak bernyawa. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengobservasi. Dari tadi hanya aku yang bereaksi. Tidak terdengar suara teman-temanku.
"Wise! Encore! Rina! Kalian di mana..."
Aku tidak perlu repot-repot mencari karena mereka tak jauh di belakangku. Saat aku memicingkan mata, ada yang aneh. Mereka terkulai di tanah sambil terengah-engah. Hidung mereka berdarah, pucat, memegang leher. Tangan mereka mengais-ngais udara seolah mencari sesuatu yang tidak ada.
"Hei! Ada apa dengan kalian?! Bertahanlah!"
Encore yang pertama merespon. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. "Napas..." lirihnya gemetar. "Aku tak bisa bernapas..."
Aku terdiam mendengar kata-kata itu. Tidak hanya Encore, Wise dan Rinascita juga menggumamkan kalimat yang sama dengan kondisi yang sama pula—menjangkau udara seperti orang yang sedang tenggelam.
Aku mundur selangkah, sekali lagi memeriksa sekeliling. Sial, aku sungguh bingung saat ini. Aku baru sadar bahwa aku satu-satunya yang tidak terpengaruh oleh keadaan ganjil tersebut. Kenapa mereka tidak bisa bernapas sedangkan aku bisa? Apa yang terjadi?
Jangan bilang di sini tidak ada oksigen?!
Aku berhenti mengacak-acak rambut, tertegun menyadari suatu hal. Sebentar. Mungkinkah aku tidak terpengaruh karena aku pada dasarnya adalah Spirit Angin?
Tidak, ini bukan waktunya memikirkan itu. Aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak teman-temanku bisa mati kehabisan napas. Tidak ada mantra yang akan mempan karena masalahnya kekurangan oksigen.
Bisakah aku melakukannya? Aku tahu, Ibu pernah mengatakannya. Hanya dengan unsur angin saja tidak bisa membentuk oksigen. Paling tidak, harus ada nitrogen atau unsur lain untuk kupadukan. Tapi di sini tidak ada satu pun selain kekosongan dan kengerian.
Jika tidak ada, gunakan energi kehidupan!
Aku memejamkan mata. Konsentrasi. Aliran angin perlahan keluar dari tubuhku lantas berputar seperti spiral mengelilingi kami berempat. Sebuah lingkaran berwarna mint terbentuk di bawah kami. Di tengahnya, tampak simbol sayap tunggal terentang.
Keringatku menetes, sedikit tersengal. Aku mengalirkan energi kehidupanku ke dalam angin itu dan memanipulasi komposisi di dalamnya menjadi oksigen yang cukup.
Mata Wise membulat, meraup oksigen sebanyak-banyaknya. "Sial! Kupikir aku akan mati," desahnya sambil terengah. Beralih menatapku. "Apa itu teknik spesial milik Penyihir Angin? Membuat oksigen mandiri?"
Encore dan Rinascita pun sama; mereka segera menarik napas dalam-dalam, wajah mereka perlahan memerah kembali, mengusir kepucatan yang tadi menyelimuti.
Aku tersenyum lemah, merasakan lelah luar biasa merayap di tubuhku. "Mungkin?"
"Kenapa jawabanmu skeptis begitu?!"
Encore yang kini sudah pulih total, beranjak bangun. "Buruk sekali nasib murid-murid dan warga yang diteleportasi oleh cacophony. Di sini tidak ada oksigen sedikitpun."
Rinascita mengangguk pelan, memandang ke arah kekosongan yang masih membingungkan. "Benar. Mereka sudah pasti mati karena tidak bisa bernapas. Tapi setidaknya kita selamat untuk sekarang berkat Kala."
"Tidak, Rina, kita masih jauh dari kata selamat. Kita tidak bisa berdiam diri saja di sini. Kita harus mencari jalan keluar. Kawah angin ini," aku menunjuk lingkaran di bawah kami, "takkan bertahan lama. Sebelum waktu kita habis, kita harus kembali ke dunia kita."
"Tapi bagaimana caranya? Lihat sekeliling kita, Kal, tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada jalan keluar," kata Encore lesu.
"Ayolah, En, jangan pesimis begitu. Setiap ada pintu masuk, selalu ada pintu keluar..."
Kalimatku terhenti ketika menangkap suara grasak-grusuk dari arah kegelapan. Aku menajamkan pendengaran, bertukar pandang dengan yang lain. Wise, Rinascita, dan Encore spontan mencengkeram senjatanya. Aku hanya bisa mengandalkan tangan kosong saja. Toh, aku bisa menyihir tanpa tongkat.
Suara itu semakin jelas, seperti sesuatu yang besar tengah meluncur cepat. Saat mendongak, kami langsung melotot. Sebuah gerobak makanan entah bagaimana bisa muncul dari atas, terjun ke arah kami.
"CEPAT MENGHINDAR!" Wise berteriak.
Kami serentak berhamburan ke sembarangan arah, menghindari gerobak yang jatuh dan menghantam tanah dengan dentuman keras.
Aku meringis merasakan telapak tanganku menusuk batu lancip hingga mengucurkan darah. Tapi tidak ada waktu menangisi luka kecil. Aku buru-buru mendongak, menatap tanda cacophony mengambang di udara.
"Itu dia! Kalian melihatnya?!"
Rinascita mengangguk. "Sepertinya Cocoon of Cacophony adalah satu-satunya jalan keluar. Jika kita menyentuhnya saat muncul lagi, kita mungkin bisa kembali ke Asfalis."
"Semuanya! Siapkan mantra melayang—"
Tanda itu jelas tidak membiarkan kami bersiap. Sebelum sempurna kalimatku terucap, ia tanpa peringatan melesat ke depan. Meluncur menuju arah lain seperti menari di udara dengan gerakan acak.
"Astaga, benda itu bisa bergerak?!" desis Wise meremas rambutnya frustasi. "Kalau pintu keluarnya terus berpindah secepat itu, kapan kita bisa menangkapnya?"
"Tidak!" sanggah Rinascita. "Masih ada jalan. Ada jejak tipis yang ditinggalkannya saat bergerak. Kita bisa mengikutinya."
"Kalau begitu kita kejar sekarang."
"Sebaiknya begitu atau kita yang dikejar," celetuk Encore. Gadis itu ternyata tidak memperhatikan tanda cacophony dari tadi, fokus menatap hutan di belakang kami.
"Huh? Apa yang kau katakan, En?"
Suara aungan yang dalam dan menyeramkan menjawab pertanyaanku, menggema dari balik pepohonan. Makhluk-makhluk buas keluar dari rumah sambil mengendus-endus. Kami benar-benar lupa ini dunia Flawed dimana monster bisa muncul kapan saja.
Menilai gelagatnya yang seperti mencium aroma harum, Wise menoleh ke tanganku yang meneteskan darah. "Sepertinya mereka datang karena mencium darahmu!"
"Ah..." Seharusnya cepat-cepat kusembuhkan. "Kita harus kabur sekarang juga!"
"Gigantes Geante!" Encore berseru menyebut mantra raksasa. Dalam sekejap, tongkat miliknya memanjang dan membesar agar bisa kami tumpangi. Tanpa basa-basi kami bertiga melompat naik ke atasnya. Di sisi lain, ratusan monster mulai mengejar kami.
"Ditambah Flugen Exagere," lanjutnya.
Aku mengerjap. Exagere? Itu kan mantra peningkat tertinggi yang jarang digunakan karena menguras Spirit Gauge sebesar 35%. Jika Encore menggunakannya, maka...
Tubuh kami melenting seperti kilat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Where Should Dreams Rest?
Fantasía[Fantasy, Mystery & Friendship] Di kota penyihir yang megah, sebuah ramalan kuno menyebutkan bahwa 'Bulan Akan Segera Jatuh', menandakan datangnya bencana besar. Kala, seorang penyihir kecil dari hutan, berangkat ke ibukota untuk mendaftar ke akadem...