Setelah Baratab mengumumkan kejahatan Diadia, suasana lapangan bergemuruh dengan berbagai reaksi dari kerumunan warga. Ada yang tampak terkejut, beberapa saling berbisik dengan tatapan tidak percaya, sementara yang lain menatap Diadia dengan tatapan marah atau penuh kecurigaan.
"Apa? Dia seorang penipu?" Terdengar bisikan dari arah kiri, diikuti satu-dua penyihir yang saling memandang seolah mencari kepastian.
"Jadi selama ini dia memperdaya kita semua?" ujar seorang pria tua, suaranya bergetar antara marah dan kecewa mendalam.
Seorang wanita muda, wajahnya pucat, mengepalkan tangan seakan menahan emosi. "Dia mengaku sebagai Shade of Flora... tapi dia bahkan bukan keturunan asli!"
Seorang anak yang datang bersama ibunya menatap panggung dengan binar mata polos. "Ibu, kenapa mereka bilang begitu? Bukankah Nona Diadia adalah penyelamat kita?"
Ibunya dengan suara tenang, membelai kepala anaknya dan berbisik takut, "Mungkin dia bukan seperti yang kita kira, Nak..."
"Penipu? Apa yang dia katakan? Nona Diadia telah memimpin kita selama 900 tahun! Katakan saja kau ingin mengambil takhtanya!"
Kecaman demi kecaman semakin menggelora. Suara-suara pro dan kontra bersahutan. Beberapa penyihir muda dengan emosi tak terbendung tampak ingin maju ke depan, memarahi Diadia atau menyeret Baratab.
Situasi ini sangat kacau. Wajah-wajah di sekitarku tampak ragu. Mereka melihat Diadia sebagai sosok penyelamat, dan kabar ini jelas bagaikan pukulan keras yang sulit dipercaya.
Diadia tergelak, suaranya melengking tajam. Ekspresinya menunjukkan ketenangan yang mencolok, seolah semua tuduhan yang diarahkan padanya hanya lelucon murahan.
"Sungguh tuduhan yang tidak masuk akal, Raja Barat. Atas dasar apa kau mengira aku seorang pembohong yang berpura-pura?"
Baratab berdiri dengan sorot mata kebencian, menjawab lantang tanpa ragu. "Karena kau tidak pernah melakukan apa pun untuk negeri ini! Kau hanya menikmati semua kehormatan dan kekuasaan dari peran Shade of Flora. Bukankah seharusnya sebagai keturunan dewa, kau dapat melakukan sesuatu terhadap bencana ramalan? Tapi lihatlah, kau hanya menempel seperti parasit pada seekor naga!"
"Hanya karena aku tidak menunjukkan kekuatanku pada kalian semua, kau lantas mencapku sebagai penipu? Haruskah para shade memamerkan kekuatannya hanya untuk memuaskan keraguan orang-orang?"
"Ya, harus!" Baratab membalas dengan nada tinggi, tidak membiarkan Diadia menyusun kalimat penyangkalan. "Shade of Memokeeper mendirikan sebuah menara di Kerajaan Timur, sebuah karya yang membuktikan kekuatannya bagi klan. Sedangkan kau? Kau hanya duduk bermain-main di atas takhta, mengabaikan peran yang seharusnya kau emban! Selalu memakai alasan remeh untuk menghindar."
Jangan termakan provokasinya, Diadia! kataku dalam hati, masih berusaha menerobos kerumunan untuk sampai ke depan.
Baratab mengangkat tangannya, membuat kerumunan diam. "Kau bisa mengelak semaumu, Nona Diadia. Tapi ingatlah, kau sedang berdiri di bawah Pedang Kejujuran." Dia menunjuk ke arah pedang perak yang berputar lembut di atas kepala Diadia. "Jika pedang itu berhenti menari, maka kebohonganmu dikonfirmasi. Dan seluruh rakyat di negeri ini akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya! Kau takkan berada di bawah perlindungan Tuan Magistrate lagi!"
Sekelumit ketegangan muncul di wajah Diadia meski senyumnya tetap bertahan. Penduduk yang menonton persidangan menahan napas menyaksikan pedang yang terus berputar tanpa henti, menunggu momen tepat untuk menjatuhkan keputusan pada terdakwa.
Akhirnya aku sampai di barisan terdepan. Uatura orang pertama yang menotis batang hidungku, melotot kaget seolah ingin bilang: apa yang dilakukan bocah itu di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Where Should Dreams Rest?
Fantasy[Fantasy, Mystery & Friendship] Di kota penyihir yang megah, sebuah ramalan kuno menyebutkan bahwa 'Bulan Akan Segera Jatuh', menandakan datangnya bencana besar. Kala, seorang penyihir kecil dari hutan, berangkat ke ibukota untuk mendaftar ke akadem...