Bersekolah setengah hari menjadi hal yang paling didamba setelah fenomena jam kosong mulai terasa diraup kehampaan. Bangunan tinggi dengan animasi tulisan digital yang memunculkan huruf demi huruf nama kebesarannya itu masih dalam nuansa yang begitu hidup hampir di setiap sudut lingkungannya, SMAN 1 Cilangka.
Hari yang cerah sungguh selaras dengan binar pada wajah-wajah pelajar disana tatkala mereka mendapatkan suatu pemberitahuan langka melalui pengeras suara dari satu tempat terbaik di sebrang sekolah terkait bahwasanya kegiatan belajar mengajar akan benar-benar selesai lebih awal serampungnya sesi setor muka paling diutamakan di setiap jam istirahat kedua itu. Walau ujung-ujungnya tetap tak lepas dari segala ketentuan meliputi kebersihan habitat masing-masing yang senantiasa dikompetisikan. Termasuk pantangan keras untuk tak keluyuran seenak jidat dengan masih mengenakan seragam sekolah.
Maka tidak membutuhkan waktu lama hingga pergerakan kaum perempuan cenderung lebih dominan selengkingan-lengkingan suaranya. Sementara laki-lakinya keasikan berlagak menghayati peran layaknya tokoh-tokoh kalangan atas jaman-jamannya VOC dahulu kala, terlampau kebanyakan gaya. Seandainya tidak dengan turut diimbangi sosok-sosok pribumi dengan nyala membara dalam dadanya, bibit-bibit pemilik naluri hama itu bisa menguasai bumi dan merusak tatanan kedamaian dunia lama-lama.
“Sopan-sopan kali, oi. Nggak ngotak banget lantai masih basah juga.” Alna orang yang cukup mudah menyemburkan bisanya, terlebih setelah mengetahui lantai yang benar-benar baru saja beres dikinclongkannya dengan sepenuh hati, sama sekali tidak bernilai di mata segelintir manusia menyebalkan di lingkungannya itu. Kejadiannya tepat di bibir mata sendiri pula. Maka Alna bantinglah kemudian lembar-lembar kardus yang rencananya akan dia hamparkan untuk mengamankan hasil usahanya tersebut dan kembali meraih alat tempurnya biarpun suasana hatinya sudah tak karu-karuan.
Faktor letak kelas yang termasuk bagian dari jalur paling sering dilalui tak ubahnya menjadi resiko paling menguji hati dari segi perawatannya. Kini, XII-IPA 1 yang tidak lain merupakan kelas Alna bertempat di salah sebuah ruangan yang memang terbilang cukup luas juga dari kelas lainnya. Tepatnya di sudut bangunan sebelah kiri lantai dasar yang berbatasan langsung dengan bangunan utama serta terselip sebuah jalur tangga diantara kedua bangunannya itu. Tidak jauh dari belokan tangganya pun, pada tiap lantainya akan terdapat setidaknya dua sampai tiga bilik toilet umum, baik di bawah belokannya maupun di sampingnya.
Untuk sekilas, hal itu terasa kecil hingga 'menyoalnya' pun sering kali cepat dilabeli 'berlebihan'. Ya, entahlah. Padahal jika memang sesederhana itu, seharusnya pada kesempatan pertama ketika dipersoalkan pun, paling tidak sudah cukup mampu untuk memperkecil kemungkinan terulangnya satu pembahasan serupa dengan muatan fakta yang lebih parah lagi dari sebelum-sebelumnya.
Seperti asalkan adanya satu kesepakatan bersama yang sama-sama dapat dijalankan dengan baik tanpa dicampuri niatan busuk sesaat apapun mungkin misalnya, dan selesai. Sayangnya karena saking hebatnya lisan dari ego-ego yang begitu meliar dari waktu ke waktu dalam memperjelas yang kabur, begitupun dalam mengaburkan yang pada dasarnya telah jelas, alih-alih mencapai titik terang, hal sederhana itu akhirnya malah cenderung bernasib layaknya benang kusut disudut ruangan sebab 'anggapan' sederhananya itu sendiri.
“Apa?” Suasana hati Alna masih belum mencapai titik netral saat tau-tau mendapati tiga orang siswa angkatannya sedang berjajar tepat di undakan tangga kedua terakhir, menyumbat orang-orang dibelakangnya.
Belum lama adik-adikannya, sekarang abang-abangannya. Percuma menaruh harap pada salah satu dari ketiga laki-laki di paling depan itu supaya dia berkenan pindah pihak meski melayangkan bujuk rayu demi kepentingan kelasnya sendiri. Dasar setia kawan anak itu tetap akan lebih sehidup ke teman tongkrongannya giliran sebutuh barulah dia gelendotan ke teman satu kelasnya.
“Eh, Bestie.” Dia Abu. Cukup mudah bukan menguraikan sapaan mencurigakannya itu? Alna tau Abu sendiri mampu menyadarinya langsung.
“Numpang lewat gapapa ya? Mumpung masih kotor ini.” Orang disebelah Abu ikut bersuara. Lalu begitu saja helaan kecil meluncur dari mulut Alna.
Walau segemas bagaimanapun terhadap modelan makhluk-makhluk yang malah thawaf tak jelas disaat yang lain sedang sibuk-sibuknya bergotong royong supaya lekas bebas tugas ini, untuk meringkas waktu Alna lantas memilih menepi tanpa melisankan sepatah katapun, sehingga sesaat justru semakin meningkatkan sinyal kewaspadaan mereka tampaknya. Entah telah terbangun sebuas apa gambaran Alna di mata mereka.
Berlalunya gerombolan yang sekitar lebih dari tujuh orang itu Alna saksikan bersama Abu disebelahnya. Beberapa dari mereka merupakan anak tahun kedua dengan riwayat naik daun yang bervariasi tentu saja. Satu dua orang dari mereka lalu sapa-menyapa Abu, singkat. Ada juga diantaranya yang sampai terkesan bertelepati ‘aneh’ dimana seolah-olah masih ada keterkaitannya dengan Alna. Untungnya sisa pertahanan Alna masih cukup untuk menekan keliaran prasangkanya.
Sebelum kemudian ember keramat di sudut dekat undakan tangga dalam sekejap berhasil menghancurkan kedamaian yang ada.
Genangan kotor dengan kecepatannya menjangkau segala arah. Kaki Alna dan Abu pun turut terkena imbasnya. Detik itu juga tempat kejadian perkara menyita banyak perhatian lantaran hantaman ember terhadap permukaan lantai yang lumayan nyaring. Aktivitas terdekat membeku. Sedang yang bersalah setengah tegang mengumbar deretan gigi uniknya dilengkapi dua jari ajakan perdamaian pada Alna.
Hari itu, nyaris sekali Alna bablas kesurupan seumpama Abu kalah cepat mengamankan keganasan mulut Alna yang aktif total. Susah payah ditariknya Alna ke dalam kelas demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Satu wajah yang paling Alna ingat di tengah-tengah berontakannya saat itu, di jendela paling ujung, Alna sempat mendapati seseorang yang sebelumnya telah berupaya mendapatkan akses jalan secara baik-baik dari Alna.
Dia, Atharizz namanya.
Anak seangkatan dan sejurusan dari kelas yang berbeda. Dengan terlihatnya dia, tambah-tambah menjadilah Alna. Dalam kepalanya tertanam kalau, ‘tak apalah sekali-sekali unjuk taring sekalian pada orang yang senang mengumbar taringnya kemana-mana’. Sungguh tidaklah sedikit pemicu dibalik munculnya keberanian itu sehingga dapat menjadi sebuah ‘setir’ yang terhubung langsung ke seluruh anggota tubuh Alna.
Tidak ada ruang untuk mempertimbangkan apapun lagi.
Karena, Alna kepalang sudah benar-benar mengamuk.
-Di S5-
Bersambung ...
YOU ARE READING
Di S5
Teen FictionDuduk bersama dan membicarakan banyak hal. Menyantap bekal makan siang pada jam istirahat dengan persatuan lauk pauk yang beragam dalam satu perkumpulan melingkar. Lelucon demi lelucon menyenangkan, lengkap dengan segala penyokong yang berkilauan. S...