“Eh, Bestie.” Di Senin pagi awal bulan yang cerah, itu termasuk sapaan pertama yang Alna dapat ditengah-tengah antrian panjang pemeriksaan ketat bagi seluruh peserta didik di pintu gerbang utama sekolah. Siapa lagi yang lekat dengan dua kata pembuka andalannya begitu kalau bukan Abu. “Nah lho! Kan! Kan! Bengkak kan! Gue kataaa! Liat Bestie gue, Tam. Coba nih. Liat nih, nih ...” beonya main memaling-malingkan Alna hanya untuk memamerkan raut letih Alna pada Rustam sepasukan-pasukannya langsung.
“Ah, bener. Dikencingin kecoa apa kenapa tuh mata lo bisa jadi segede telor puyuh gitu, Al?” sahut Rustam, hiperbola. Mengundang sudut-sudut bibir satu dua orang yang pasang telinga tergerak sekalipun sembunyi-sembunyi.
Alna sontak asal mengoper tas jinjing gemuk-gemuknya yang berisikan bekal makan siang dan buku-buku paket tebal pada Abu untuk bercermin ke layar handphonenya. Nasib nyempil di kelas para generasi yang otaknya sepanjang riwayat seolah bongkahan karya terbaik yang esa semua. Semalaman suntuk Alna mabuk tugas sampai subuh-subuh sembari nangis segala dan ketiduran tanpa sempat cuci muka terlebih dahulu. Alna berdecak. Bagaimana lagi. Masih untung-untungan otak chibi Alna tidak turun berok setiap hari dikasih asupan yang sama dosisnya dengan para mayoritas disana. “Bengep banget gitu keliatannya?”
“Haaah, abis nangisin cowok palingan tuh.” Ribet ikut-ikutan bersuara, sok tahu.
“Sembarangan! Capek-capek prustasiin cowok emangnya bisa dapetin apaan? Yang udah-udah juga eeeuuuh, pret!” Dan seperti sebuah mantra, suasana pun mendadak lebih mencair terpapar kekonyolan Alna. Yang dibelakang Alna bahkan lebih rusuh lagi dari situ mentang-mentang punya jumlah.
Lalu, Alna tanpa sengaja mendapati keberadaan Atharizz yang juga sedang larut dalam celotehan para anak laki-laki itu. Dia tertawa lebar. Sampai Alna cepat-cepat buang muka ketika radar anak itu hampir menangkap basah Alna. Entah kenapa, perasaan 'ganjil' muncul. Menyertai kompas pikiran Alna dengan sendirinya. Hidayah hebat macam apa kiranya yang merasuki hati bajanya para bandar huru-hara ternama sekolah sekroco-kroconya ini hingga bisa membuatnya turun gunung semua sesuai standar jam masuk menjelang upacara bendera dimulai.
Kalau Pak Lean tau, sebagai salah seorang yang memegang peranan penting selama masa rehabilitas anak-anak spesial itu, beliau bisa-bisa sujud syukur buah kesabarannya lambat laun menunjukkan grafik yang mulai mendekati harapannya jua. Secara, Abu saja yang istilahnya lapisan positifnya cukup baik menyusupi 'ruang gerak' mereka tetap tidaklah seberapa berpengaruh terhadap ‘pendirian’ mereka. Ataukah sekarang karena kebanyakan dari mereka adalah anak tahun terakhir barangkali. Jadinya yang lain pun lebih mudah terbawa arus yang sudah ada kemauan sendiri untuk pensiun sesuai siklus dunia persekolahan yang banyak dibicarakan lintas generasi.
“Udah sarapan belum?” Alna sedikit terhenyak mendapat pertanyaan dari Abu. “Kalau sekiranya nggak kuat upacara di UKS aja nggak usah maksain. PMR kan lo lagian? Ambil tugas disana aja nanti,” katanya.
“Hari ini bukan jadwal gue. Udah sarapan kok tadi dikit.”
“Pusing nggak tapi? Pucet gitu.”
“Nyut-nyutan dikit sih kepala.”
“Emh. Mau diganti aja sekalian?”
“Apanya?”
“Kepalanya?” Umpatan kasar otomatis tidak dapat terbendung dari mulut Alna. Begitu melihat peluang untuk maju melakukan proses pemeriksaan, Alna tak menyia-nyiakannya. Mengabaikan cekikikannya Abu. Walaupun ia sempat harus menghampiri anak itu lagi sebentar untuk mengambil dua tas miliknya dari Abu.
Pernyataan Abu tentang Alna yang terlihat berbeda dari hari-hari biasanya rupanya kian diperkuat lagi oleh staff muda yang menangani pemeriksaan Alna, Kang Egi. Pria jangkung bertopi hitam dengan jahitan tunas kelapa mini berwarna emas itu, entah saking telah seringnya menjadi sosok yang Alna kagumi secara ugal-ugalan, beliau seperti pemulih suasana hati rasanya. Ribuan bunga bermekaran dalam semesta Alna setiap kali kedapatan bertatap muka dengan pria itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/376533017-288-k850006.jpg)
YOU ARE READING
Di S5
Teen FictionDuduk bersama dan membicarakan banyak hal. Menyantap bekal makan siang pada jam istirahat dengan persatuan lauk pauk yang beragam dalam satu perkumpulan melingkar. Lelucon demi lelucon menyenangkan, lengkap dengan segala penyokong yang berkilauan. S...