19. Tenggelam

5 2 0
                                    

"Ada kemungkinan kalau perkataan Jiwon itu benar," kata Won-Jin sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Bahkan, kau memang gila. Setiap kali aku bersamamu, kau selalu bertingkah aneh."

Won-Jin menatapku dengan tatapan tajam, seolah tak ada sedikitpun rasa belas kasihan. "Kenapa aku harus mempertaruhkan diriku untuk seseorang yang bahkan tak bisa mengendalikan pikirannya sendiri? Maaf, Youngjae, tapi aku lebih memilih menjaga jarak daripada ikut tenggelam dalam kegilaanmu."

"Cekik saja dia," bisikan itu kembali muncul, semakin kuat dan mendesak. "Orang seperti itu tidak pantas hidup. Jangan banyak alasan, cekik saja dia sekarang."

"Kau! Sungguh membuatku merasa jengkel!" Tanpa aba-aba, aku langsung maju dan mencekiknya dengan sekuat tenaga. Wajahnya berubah, antara terkejut dan ketakutan, namun bisikan itu terus mendesakku. "Lakukan! Jangan ragu!"

Won-Jin terdesak, tidak bisa berkata apa-apa lagi selain berharap ada yang datang menolong. Aku melihat ekspresi putus asanya, mempertanyakan apa yang harus dilakukan. Ya! Dia pantas mendapatkan ini semua. Won-Jin tidak layak untuk hidup! Dia sudah kurang ajar padaku! Aku tidak bisa membiarkan orang yang mengejekku akan tetap hidup terus. Aku akan memberikan sebuah pelajaran!

Dan tiba-tiba, sebuah pukulan hebat mendarat di wajahku, membuatku terlempar jauh dari Won-Jin. Aku terjatuh ke lantai dengan keras, pipiku berdenyut sakit. Ketika aku melihat siapa yang memukulku, aku melihat Jihoon berdiri dengan tatapan penuh amarah.

"Jihoon?!" seruku, setengah bingung setengah terluka.

Jihoon mendekat dengan ekspresi dingin. "Ya, mungkin Won-Jin benar," katanya dengan suara yang tegas. "Tidak ada gunanya kau berteman dengannya. Bahkan, aku pun meragukan kewarasanmu sekarang. Jika kau terus begini, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu. Lebih baik, istirahat saja dirumah daripada semua orang-orang terdekatmu mendapatkan masalah serius."

Aku merasa hatiku remuk mendengar kata-kata Jihoon, tetapi bisikan itu tidak berhenti. "Jangan dengarkan mereka," bisik suara itu lagi. "Mereka semua salah. Mereka pantas dihukum."

"Aku mohon, hentikan..." kataku dengan suara gemetar, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Aku memandang Jihoon dengan harapan kecil bahwa dia akan mengerti, bahwa dia akan mendengarkan.

Namun, Jihoon hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi dingin. "Youngjae, kau butuh bantuan. Ini tidak bisa terus begini," kata Jihoon dengan suara tegas, nadanya penuh rasa frustrasi. "Jika kau tidak mau mendengarkan kami, maka kami juga tidak bisa terus berada di sisimu. Kami semua akan mendapatkan nasib sial. Kau harus menjauhi kami! Kau benar-benar gila, bodoh!"

Kau benar-benar gila!

Kau benar-benar gila!

Kau benar-benar gila!

Kau benar-benar gila!

Teriakan Jihoon berulang kali, setiap kata menusuk lebih dalam. Aku sudah tidak kuat lagi. Pandanganku mulai kabur, dan air mata tak bisa lagi kutahan. Telingaku berdengung, suara Jihoon bercampur dengan bisikan yang semakin keras di kepalaku. "Sudah cukup," pikirku, hatiku hancur berkeping-keping.

"Tidak ada gunanya, Youngjae! Kau hanya akan membuat masalah lebih besar!" Jihoon berteriak dengan penuh kemarahan, wajahnya memerah dan matanya menyala-nyala. "Pergi dari sini! Kami tidak butuh seseorang seperti kau yang hanya membawa sial dan kekacauan! Pergi sebelum semuanya bertambah buruk!"

Semua kerumunan pun tertuju padaku, menatap dengan mata penuh kebencian dan ketakutan. Aku merasa terpojok, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Mereka melihatku sebagai sumber semua masalah, dan aku tahu, di mata mereka, aku adalah ancaman.

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang