Aku perlahan membuka mataku yang terasa berat. Seketika aku mendapati pemandangan sebuah ruang yang bisa dibilang cukup besar dan luas.
Ruangan itu bercat putih dengan beberapa lukisan yang begitu indah. Ada pula jendela besar yang tertutup rapat dengan tirai berwarna abu-abu yang nampak mwah. Bagian lantainya sendiri ditutup karpet berwarna gelap. Ruangan itu sendiri sudah dilengkapi dengan berbagai perabotan mulai dari TV dengan layar besar, kulkas kecil, sofa, dan banyak perabotan yang sepertinya punya harga yang tinggi.
Kasur yang kutiduri saat ini pun tak kalah mewahnya. Ukurannya pasti king size yang bisa dipakai tidur beberapa orang sekaligus. Warnanya putih bersih dengan selimut super tebal berwarna merah.
"Eh, sudah bangun kamu Fah?"tanya sebuah suara menyadarkanku.
Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rupanya di bawah ada Kak Azizah yang seketika langsung berlari mendekat ke arahku dan memberikan satu pelukan erat.
"Aduh, aku khawatir banget tahu."
"Ehmmm...kak. Ini dimana?"tanyaku dengan suara lemah.
"Ini hotel pesanan teman kakak."jawab Kak Azizah.
"Hotel pesanan?"tanyaku bingung.
"Kamu gak ingat kah ? Kamu pingsan semalam."
Aku terdiam mendengar kata-kata itu. Perlahan aku mulai mengingat semua kejadiannya. Tentang kami yang pergi ke klub. Pertemuanku dengan Peter dan Catherine. Pesta sex di klub. Sampai.....
"AAAAHHHHHH!!!!"Aku berteriak kencang sekali mengingat hal durjana yang aku lakukan bersama Peter. Sebuah tindakan yang merengut kehormatan yang harusnya kuperjuangkan bahkan dengan nyawaku.
"Tenang fah. Tenang,"ucap Kak Azizah yang dengan sigap langsung menarikku ke dalam pelukannya yang hangat.
"Bagaimana aku bisa tenang kak!"balasku setengah berteriak."Aku...aku...aku sudah gak perawan lagi kak."
Aku tergugu sedih.
Ini benar-benar bencana. Aku tak pernah menyangka kondisiku akan berakhir seperti ini. Kehilangan keperawanan yang menjadi simbol kesucianku saat aku justru tengah berlibur.
Entah bagaimana reaksi orang-orang jika tahu aku tak lagi perawan. Bagaimana aku menjelaskan jika suamiku tahu selaput daraku sudah robek. Bagaimana juga jika ayah tahu aku tak lagi suci.
Citra sebagai perempuan alim yang selama ini kujaga baik-baik hancur seketika. Aku yang selama ini berusaha menjaga pergaulanku agar tidak sampai mendekat pada hubungan haram langsung sirna dalam semalam.
Air mataku terus menetes tanpa henti. Seperti pintu bendungan yang dibuka begitu saja.
Kak Azizah yang terenyuh melihat kerapuhanku perlahan menepuk-nepuk punggungku. Masih belum ada suara di antara kami. Kebisuan menyelimuti kami beberapa saat.
"Bagaimana ini kak..."tanyaku dengan suara lirih."Aku harus apa sekarang."
"Kakak tahu ini berat. Tapi ini bukan akhir."
"Ini akhirku kak!"bantahku."Aku gak bisa lagi menikah. Ayah pasti gak akan maafin aku. Aku mungkin diusir dari rumah. Terus bagaimana kata keluarga sama tetangga. Kemana aku cari tempat tinggal. Terus kerj—"
"Sssttttt."Kak Azizah langsung menempelkan jarinya ke ujung bibirku. Menghentikan semua racuanku.
Aku langsung terdiam. Untuk sejenak aku bisa melihat senyum Kak Azizah yang menenangkan dengan pancara mata yang seolah mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.
Aku mengatur kembali nafasku. Perlahan berusaha menjernihkan kepalaku dari semua kekalutin yang menyelimuti.
"Tenang dulu ok. Semua akan baik-baik saja. Kakak janji."Kak Azizah memelukku lagi. Mengirimkan energi ketenangan dalam diriku."Buat sekarang kau makan dan mandilah dulu. Nanti kita bicara lagi."
Aku mengangguk. Sepertinya untuk sekarang, lebih baik aku menenangkan diri terlebih dahulu.
Kak Azizah meninggalkanku sebentar. Aku beranjak dari kasur dan beranjak ke kamar mandi. Aku baru sadar kalau diriku memakai daster warna putih bersih berbahan sutera. Kulepaskan daster tersebut yang rupanya sudah tidak ada lagi pakaian dalam yang menutupi tubuhku.
Aku lalu memutar keran shower dan air hangat turun membasahi tubuhku. Mengalir membasahi setiap inci. Memberikan kehangatan yang begitu melegakan pikiran.
Tak lama kemudian aku selesai mandi. Aku mengambil handuk hangat yang sebelumnya sudah disiapkan pihak hotel. Setelah mengeringkan tubuhku, aku lalu mengenakan kembali daster yang sebelumnya kupakai. Setidaknya Cuma itu satu-satunya pakaian yang ada. Aku tidak tahu nasib baju yang sebelumnya kukenakan.
Seorang pelayan hotel kemudian datang mengetuk pintu sembari membawa nampan berisi bubur. Aku tanpa banyak bicara segera menghabiskan bubur tersebut.
Perlahan-lahan pikiranku mulai pulih. Kekalutan yang semenjak tadi menyelimutiku sirna seketika. Setidaknya aku bisa berpikiran jernih sekarang.
"Bagaimana? Sudah baikkan?"tanya Kak Azizah beberapa saat setelah aku menghabiskan makananku.
"Lumayan."
"Masa ?"Kak Azizah mendekat dan di sebelahku yang ada di atas kasur."Coba senyum."
"Ih, apa sih kak."
"Sudah senyum dulu dong."Kak Azizah menggunakan jarinya dan menarik ekdua ujung bibirku.
"Ah, kakak!"seruku sebal.
"Nah itu baru adikku."Kak Azizah tertawa lepas.
Aku tersenyum tipis. Kak Azizah sejak dulu sampai sekarang, meskipun orangnya menyebalkan, dia tetaplah kakak yang hebat.
"Jadi bagaimana sekarang? Sudah baikkan?"
"Iya kak. Lumayan."
"Fah, kakak minta maaf ya."
Aku terdiam lama. Teringat beberapa waktu sebelumnya dimana Kak Azizahlah yang mengajakku ke klub itu.
"Kenapa kakak mengajakku ke sana?"tanyaku dengan nada menohok.
Giliran Kak Azizah yang terdiam.
"Kakak kasihan sama kamu?"
"Kasihan?"
"Kakak sebetulnya sudah melangkah jauh, Fah. Jauh sekali."
Aku berusaha mencerna maksud di balik kalimat Kak Azizah. Mengingat bagaimana tingkah laku yang dia tunjukkan terutama saat liburan, sepertinya aku bisa menerka maksud dari Kak Azizah.
"Kenapa kak?"
"Karena kakak tidak bebas. Sialnya, kakak justru dikekang oleh orang yang bahkan tak layak untuk berkuasa."
"Apa maksudnya?"
Kak Azizah bercerita singkat. Sebuah kisah yang sangat memilikan seakan nasib buruk selalu menghampirinya. Kesuciaannya di rengut semenjak dalam pondok dan berlanjut ketika ia bergabung dengan organisasi keagamaan di kampusnya. Ironinya adalah semua itu dilakukan orang yang dianggap paling suci.
"Apa itu benar, kak?"
"Ya, begitulah."
"Kenapa kakak gak cerita?"
"Siapa yang mau percaya, Fah. Lapor polisi kakak malah diceramahin buat jaga diri. Bialng ke keluarga? Gak akan percaya. Mereka lebih percaya sama orang dengan label suci dibanding anak sendiri."
Aku terenyuh mendengar cerita Kak Azizah yang memilkan. Aku tak pernah menyangka kalau masa lalu Kak Azizah akan sekelam itu.
Perlahan aku mulai membandingkan kisahnya denganku. Aku baru mengalaminya sekali dan langsung mendapatkan pertolongan dari kakakku. Sedangkan kakak, dia harus menanggung emua rasa sakit dan malu seorang diri diusianya yang lebih muda dari aku.
"Lalu mengapa kakak bisa jadi, maaf, senakal sekarang?"
"Kakak akhirnya bertemu orang yang bisa menerima kakak, Fah. Mereka yang tidak berlindung dalam kemunafikan. Mereka bukan orang yang kau anggap baik. Bahkan mungkin akan kau cap sebagai penjahat. Tapi justru karena itu mereka mau menerima kakak yang sudah kotor."
"Siapa yang kakak maksud?"
"Rekan-rekan kerja kakak. Terutama bos kakak, Bu Luna. Mereka memang bukan orang yang baik terutama jika kamu melihat dengan pandanganmu sendiri. Tapi justru Bu Luna dan rekan-rekan kakak tidak pernah mempersalahkan latar belakang kakak meskipun mereka tahu persis masa lalu kakak."
"Tapi itu berarti kakak masuk dalam dunia gelap?"
"Hidup kakak sendiri sebelumnya sudah berada dalam kegelapan Alifah. Kakak yang semula berusaha hidup dalam ajaran agama justru menuntun kakak dalam ketakutan dan kenistaan. Jadi mengapa kakak harus takut apabila meninggalkannya."
"Tapi kan, itu salah!"tegurku.
"Memang. Kakak tidak akan mengelaknya. Tapi apa kamu akan terus memaksa kakak mengikuti jalan sebelumnya dan berakhir dalam kenistaan lagi?"
Aku terhenyak mendengar jawaban Kak Azizah.
"Kakak tahu, mungkin kamu tidak akan menerima pandangan kakak. Tapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah, kakak bahagia memilih jalan ini dan kakak tidak menyesal atas keputusan tersebut."
"Kenapa bahagia?"
"Karena kakak tidak perlu lagi mengekang diri kakak dengan berbagai aturan yang menjerat kakak. Membatasi semua gerakan kakak dan jauh lebih parah lagi malah menutnun kakak dalam kenistaan."
"Di jalan yang kakak pilih ini kakak bisa sepenuhnya bebas. Kakak tidak perlu menyembunyikan diri dengan berbagai topeng kemunafikan. Kenapa? Karena orang-orang di jalan ini semua menerima kakak apa adanya tanpa memandang siapa kakak. Itulah kebahagiaan yang kakak rasakan."
Aku berusaha mencerna pemikiran Kak Azizah. Tentu sebagai orang yang selama ini berada dalma tuntunan agama aku tak pernah berpikir seperti Kak Azizah. Tapi seletah mendnegar apa yang telah dilalui Kak Azizah, entah mengapa aku mulai sepakat dengan pandangan Kak Azizah.
"Oh ya Fah, apa kamu sendiri merasa bahagia?"
"Maksudnya?"
"Dari liburan kita di sini. Dari semua hal yang kita lakukan. Tidakkah kamu merasaka kenikmatan yang selama ini tidak pernah kamu rasakan."
Aku mulai merenungi ucapannya. Bohong kalau aku tidak sama sekali meraskana kenikmatan. Apa yang kualami selama liburan ini mulai dari meammerkan auratku sampai dengan sex yang kulakukan dengan Peter membawaku pada kenikmatan yang selama ini tidak pernah kurasakan sebelumnya.
"Tapi bahkan jika aku merasakan kenikmatan, itu tetap saja salah."
"Kenapa kau harus berpikir untuk meninggalkan kenikmatan tersebut. Bukankah kehidupan ini memang ada untuk dinikmati?"tanya Kak Azizah menantang pendapatku.
"Entahlah kak. Aku gak tahu harus bagaimana lagi setelah ini."
"Gak masalah. Pikirkanlah lagi. Tapi apapun keputusanmu nanti, kamu gak perlu takut. Kakak bakal selalu menerimamu."
"Terima kasih kak."Aku tersenyum tipis.
"Ah iya, mungkin ini agak menganggumu, tapi kakak ada titipan undangan."
"Undangan? Dari siapa?"
"Peter. Dia mau makan malam sama kamu sekaligus mengutarakan permintaan maafnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Liburan Kakak dan Adik
RomanceMengisahkan 2 orang kakak beradik berjilbab yang hendak liburan ke lombok. Sang Adik tak sadar ada rencana sang kakak untuk menjerumuskan adiknya sendiri