1. Teman

145 71 102
                                    

Sejak kecil, Marina Alodya tidak punya teman bermain. Dia sudah mencoba untuk bergabung dengan mereka semua, tapi responsnya selalu sama.

"Woy, ada Marin woy!"

"Kaboooorr!!"

"Lariii jangan temenin Kurcaci!"

Nama Kurcaci sudah sangat melekat dalam diri Marin. Bahkan sepertinya dia lebih dikenal sebagai Kurcaci ketimbang namanya sendiri.

Alasan kenapa Marin dijauhi sebenarnya sederhana. Dia punya tubuh yang pendek dan lebih kecil ketimbang anak-anak seusianya. Tidak sedikit dari mereka yang mengganggu dan terus meledeknya. Seolah sosok Kurcaci ini sudah menjadi bahan lelucon yang sayang kalau dilewatkan.

Gadis kecil berusia 9 tahun dengan ikat rambut dua serta poni tebalnya itu tengah berjongkok sambil bermain tanah di halaman rumahnya sendirian. Tak peduli meski kuku-kuku jarinya saat ini sudah mulai menghitam, atau papanya yang sudah pasti akan memarahinya karena bermain kotor-kotoran setelah mandi.

Sampai fokusnya teralihkan ketika matanya menangkap sebuah mobil losbak membawa barang pindahan berhenti di seberang melalui pagar rumahnya yang sedikit terbuka.

Seorang pria turun dari kursi pengemudi, diikuti istri dan anak laki-lakinya dari pintu sebelah. Ketiga-tiganya bersama memasuki rumah kosong di depan, yang sepertinya tidak akan kosong lagi mulai hari ini. Karena penghuni barunya sudah datang.

Marin lantas berdiri, menepuk-nepuk bajunya yang kotor karena tanah, lantas berjalan mendekat, mengintip dari celah pagar rumahnya.

"Moka, bantuin Ayah angkatin barang." Pria itu berujar pada putranya.

Moka?

Alis Marin terangkat, matanya tertuju pada anak laki-laki yang tampaknya seusia dengannya. Tapi, dia kelihatan jauh lebih tinggi.

Moka berjalan mendekat ke arah mobil losbak, mengambil beberapa kardus kecil dan membawanya masuk ke dalam. Moka melakukan kegiatan itu beberapa kali, sampai ia tersadar ada sepasang mata yang sejak tadi menatapnya lekat.

Moka menoleh, mata Marin membulat saat pandangan mereka bertemu. Sudut bibir Marin perlahan tertarik, senyumnya mengembang menampilkan deretan gigi susunya yang tertata rapi, lantas melambaikan tangan antusias.

"Halo!"

Bocah laki-laki itu terlihat tak berekspresi, hanya menatap datar tanpa menggumamkan sepatah kata pun.

Hening. Lambaian tangan dan cengiran Marin menggantung selama beberapa saat, ketika suara pria di sana menyambar.

"Moka? Kenapa berhenti?" Ayahnya muncul dari dalam setelah mengangkuti beberapa barang.

Membuat kedua mata itu beralih dari Marin, mengabaikan sapaannya begitu saja. Lalu lanjut mengangkuti barang ke dalam.

Tangan Marin perlahan turun, cengirannya ikut memudar. Tapi pandangannya tak lepas dari anak laki-laki tetangga barunya itu.

🍒🍒🍒

Namanya Mokaza Sadean, 9 tahun. Dia mungkin tidak terlihat seperti anak seusianya karena tubuhnya yang tinggi. Hanya saja, belakangan sesuatu tidak berjalan begitu baik untuk bocah satu ini.

Suara pecahan gelas memenuhi rumah itu. Pekikan yang saling sahut menyahut terus terdengar. Mungkin tetangga yang mendengarnya juga sudah pasti tahu apa yang sedang terjadi di sana.

"Kamu mau sampai kapan begini terus?!" Haris berkacak pinggang menatap istrinya, Inggit, di depannya dengan kerutan tajam di dahi.

"Apanya yang begini?!"

MOKAMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang