2. Menghindar

93 68 81
                                    

5 tahun kemudian...

"Eh, apa nih? Surat cinta?"

Waktu itu, kelas 8. Suasana kelas seketika kacau ketika seorang anak cowok menemukan sebuah surat kecil di kolong meja Marin. Tidak lain dan tidak bukan yang selalu mengatainya sebagai Kurcaci dari SD-alias Tio.

Marin yang semula duduk bersama teman-temannya pun langsung melotot. "Tio, jangan!"

"Apa? Surat cinta beneran, ya?"

"Mana, mana?" Anak laki-laki lain ikut berkumpul.

"Ihh, jangan!" Marin langsung panik berlari mengejar Tio dan teman-temannya. Wajahnya juga kelihatan panik.

"Dear Mokaza Sadean, wih ini mah buat Moka!" Tio memekik lantang, membuat satu kelas lantas menoleh.

"Cie, suka sama Moka, ya?"

"Kalian kan temenan?"

Pipi Marin seketika merah. Semua rasa malu dan paniknya seolah bercampur menjadi satu.

"Yah, Moka-nya nggak ada, sih!"

"Kok bocil TK suka sama anak SMP?"

"HAHAHA!"

"Balikin!" Marin memekik, ia berusaha menggapai suratnya dari tangan Tio, tapi cowok itu malah berjinjit sambil merentangkan tangannya ke atas, membuat Marin jadi kesulitan untuk menggapai.

"Ayo ambil kalo bisa!"

"Huu, dasar Kurcaci!"

Marin melompat-lompat, mau bagaimanapun juga dia terlalu kecil untuk bisa meraihnya.

"Tio sialan! Balikin, nggak?!"

"Bilikin, nggik?" Anak-anak itu malah meledek, mereka saling mengoper surat tersebut ke yang lain, sementara Marin sibuk mengejar ke sana kemari.

Sepertinya sehari saja tidak menjahili Marin, Tio dan teman-temannya itu bakalan meriang.

Kerutan di dahi Marin kemudian menajam, napasnya juga tampak menggebu karena menahan emosi yang tercampur. Ia bahkan tidak tahu yang mana rasa malu dan marahnya.

Marin akhirnya berhenti mengejar, ia menatap Tio dan teman-temannya sambil mengepalkan jari jemarinya kuat-kuat. Dari wajahnya juga kelihatan seperti mau menangis.

"Loh, loh, nangis? Cengeng banget, sih!" Tio mendekat dengan suratnya. "Nih, deh."

Marin baru saja mau menggapai kertas yang Tio sodorkan, tapi bocah itu malah kembali menariknya sambil tertawa puas.

"Nggak mau, wlee!"

"Hahaha!"

Sekarang tangis Marin tidak bisa ditahan lagi. Ia berjongkok, menekuk lututnya sembari membenamkan wajahnya di sana dan mulai menangis tanpa suara, sampai membuat teman-teman ceweknya yang lain menghampiri.

"Woy, Tio! Marin nangis, nih!" kata Nadira, cewek tinggi itu ikut kesal.

"Apaan, sih! Kok gue? Itu si Kurcaci aja yang cengeng!"

"Lo yang mulai!"

"Minta maaf buruan!"

Tio menggeleng ogah. "Nggak mau!"

Dia baru akan melarikan diri dari sana, saat wajahnya menabrak dada bidang seorang laki-laki jangkung. Tio mendongak dengan mata membulat.

"E-eh, Moka..." Ia nyengir. "H-hai?"

Siapa pun tahu, tatapan Moka yang padahal datar pun bisa membuat Tio ketakutan. Apalagi kalau bukan datar?

Lihat saja bagaimana Moka melirik ke arah Marin yang menangis di belakang. Dahinya langsung mengerut tajam saat kembali menatap Tio di depannya.

MOKAMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang