"Nadiraaaa, tolongin gue! Gimana caranya supaya Moka nggak ngambek lagi?" Marin mengguncang-guncangkan tangan Nadira sambil merengek kecil.
Nadira menghela napas berat, menepis tangan Marin yang melendot di lengannya. "Duh, lo tuh ngerengeknya ke Moka! Jangan ke gue!"
"Nggak bisa!" Marin cemberut dengan tatapan sedu. "Moka nyuekin gue ... Moka nggak mau jadi temen gue lagi ... Moka udah nggak sayang sama gue ... Moka ngebuang gue, Nadiraaa huaaaa!"
Beberapa orang yang lewat di koridor menatap heran pada Marin, sementara Nadira hanya bisa menutup wajahnya malu.
"Ih, lebay!" Nadira kembali menepisnya. "Lagian lo suruh siapa cari masalah sama Kak Zahra dkk!"
"GGM duluan yang mulai!"
"GGM siapa lagi?"
"Ya itu gengnya Kak Zahra. Geng Gincu Merah. Liat aja lo bibir mereka, merah-merah kek bendera partai-aw!" Marin meringis sambil otomatis memegang dahinya yang disentil Nadira.
"Pantes aja Moka marah sama lo, kelakuan lo aja begini!"
Nadira heran kenapa dirinya bisa berteman dari SMP dengan bocah satu ini. Dia tidak bisa membayangkan betapa pusingnya seorang Moka tiap kali berurusan dengan Marin.
Nadira tahu betul bagaimana pertemanan Moka dan Marin. Mereka sudah seperti dua kutub magnet yang saling bertolak belakang. Moka si primadona sekolah dengan kemampuan volinya sebagai spiker andalan, dan Marin si bocah ceroboh dan kekanak-kanakan yang kelakuannya selalu bikin geleng-geleng kepala.
Tapi meski magnet tidak memiliki kutub yang sama, selatan dan utara, justru itu yang membuatnya saling tarik menarik, bukan?
Begitulah Moka dan Marin yang Nadira kenal. Moka bakal selalu ada di saat Marin melakukan hal cerobohnya. Sepertinya juga satu sekolah sudah mulai tahu soal hubungan mereka. Mengingat Moka tidak cukup dekat dengan perempuan di sekolah, kecuali Marina Alodya.
"Terus gue harus gimana, dong?" Marin menghela napas berat. "Moka nyuekin gue. Tadi di kelas juga gitu. Pas bel pulang dia malah langsung keluar gitu aja tanpa nungguin gue. Dia pasti marah banget kan sama gue? Dia pasti bakal bilang ke Papa soal ini, kan? Pasti itu."
Nadira baru mau akan membuka mulutnya menjawab, saat matanya menangkap sesuatu di area parkiran. Nadira tersenyum sambil menyikut Marin.
"Gue rasa nggak, deh?"
"Nggak gimana? Jelas-jelas dia marah sama gue, Nadiraa!"
"Tuh, liat." Nadira mengedikkan dagunya ke arah parkiran, tepat pada seorang laki-laki yang terduduk di atas motornya.
Marin langsung mengikuti arah pandang Nadira. Alisnya terangkat. Itu Moka, dia terduduk di atas jok motor, seperti sedang menunggu seseorang.
"Dia nungguin lo kayaknya, Rin."
Marin terdiam, dia hanyut dalam pemikirannya sendiri. Moka menunggunya? Tapi cowok itu memang terlihat tidak sedang menunggu siapa-siapa lagi selain Marin, seperti hari-hari biasa saat mereka pulang bersama. Apa dia sebenarnya nggak marah? Walaupun Moka sebenarnya memang seperti itu.
"Woy! Malah bengong!" Nadira mendorong bahu Marin sambil berdecak. "Sana samperin!"
Marin mengerjap, ia melirik sekilas ke arah Nadira. "Kalo gitu gue duluan, ya."
"Iye, ati-ati."
Marin mengulum bibirnya sambil berjalan menuju parkiran, lantas segera menghampiri Moka. Langkah kaki Marin yang mendekat membuat cowok itu menoleh, langsung turun dari motornya.
"Kenapa lama banget, sih?"
"Lo nungguin gue?" tanya Marin.
"Ya, iyalah!"
"Emangnya lo nggak marah?"
"Marah," jawabnya.
Moka hanya menghela napas, ia meraih salah satu helm merah muda yang disangkutkan di kaca spion, kemudian memasangkannya langsung di kepala Marin. Tangannya pun ikut bergerak untuk mengunci pengait helmnya.
Marin memajukan bibirnya cemberut. Katanya marah, tapi kok masih aja peduli?
Moka ikut memakai helmnya sendiri yang berwarna biru, kemudian mulai menaiki motor, diikuti Marin setelahnya. Ia segera melajukan motornya meninggalkan area parkiran sekolah.
Bahkan di tengah-tengah perjalanan pun mereka tidak bicara apa-apa. Sebetulnya Marin lah yang bingung mau memulai pembicaraan. Sebab dia tahu Moka pasti akan menjawab singkat, atau malah tidak akan menjawabnya.
Marin mengerutkan kening saat motor yang Moka kendarai berhenti di depan minimarket, masih dengan jarak yang agak jauh dari rumah mereka.
"Kenapa berhenti?"
"Lo tunggu di sini." Moka menjawab.
Marin ikut turun dari motornya, hanya bisa mengernyit saat cowok itu melepas helm dan berjalan memasuki minimarket.
Dia tidak tahu apa yang sedang Moka beli di dalam. Marin hanya menunggu selama beberapa saat, setelahnya Moka kembali sambil membawa plastik berisi salep dan plester. Ia duduk di salah satu kursi depan minimarket, sambil melirik ke arah Marin.
"Sini, luka lo gue obatin."
Marin terdiam beberapa saat, kemudian mendekat dengan ragu. Ia mengambil alih kursi di samping Moka, mulai mendekatkan wajahnya dengan ragu.
Cowok itu membuka tutup salepnya, mengeluarkan isinya sedikit, dan mengolesinya perlahan di luka goresan tepat di pipi Marin.
"Lo nyuruh gue buat nggak ngasih tau Om Deri, tapi dengan luka babak belur gini," ucapnya dengan suara lembut.
"Aw!"
Moka refleks menghentikan aktivitasnya, menatap Marin lekat. "Sakit?"
Yang ditanya mengangguk. "Perih."
"Tahan dulu, jangan gerak."
Marin akhirnya hanya bisa meringis kecil, mencoba menahan perihnya saat telunjuk Moka bergerak lembut ke lukanya. Cowok itu meniupnya sekilas, kemudian menutupi lukanya dengan plester bergambar buah.
"Selesai." Moka menyudahi aktivitasnya sambil menatap Marin. "Kan kalo begini Om Deri nggak bakal mikir yang macem-macem anaknya balik babak belur."
"Nanti gue bilang apa tapi kalo Papa nanya?"
"Bilang aja waktu jalan lo nabrak pohon. Pasti Om Deri percaya."
"Jadi, lo nggak bakal ngasih tau Papa, kan?"
Moka menghela napas, tangannya bergerak nenyelipkan anak rambut Marin ke belakang daun telinganya. "Asal lo janji nggak bakal ngelakuin itu lagi."
Mata Marin membulat, senyumnya langsung mengembang. "Iya! Janji! Gue nggak bakal ngelakuin itu lagi!"
"Oke, gue pegang janji lo."
"Berarti lo nggak marah lagi kan sama gue? Iya, kan?"
Moka menarik sudut bibirnya tipis sambil mencubit hidung Marin gemas. "Iyaaaa!"
Bersambung...
maaf ya guys dikit doang, hehe><
btw cerita ini ga bakal berat-berat kok konfliknya, jadi dibawa enjoy aja. cocok buat yg lagi nyari cerita buat healing dari dunia yg tak seindah realita (curhat) atau buat yg nostalgia masa SMA. semoga kalian suka ╰(*'︶'*)╯
17/09/24
KAMU SEDANG MEMBACA
MOKAMARIN
Teen Fiction"Moka, ayo pacaran!" "Kita kan temen, Rin?" Marina Alodya adalah gadis dengan tinggi 145 cm yang sering dijuluki sebagai Kurcaci. Selama mengenal Mokaza Sadean, si tiang dengan tinggi 185 cm, hari-hari Marin rasanya menyenangkan. Dia menyukai cowok...