4. Sepi

101 64 74
                                    

"Latihan hari ini kita cukupkan dulu. Ingat, beberapa hari lagi kita bakal tanding sama SMA Merak. Jangan mentang-mentang cuma pertandingan persahabatan juga kalian bisa anggap remeh," ucap Coach Daren sebelum menyudahi sesi latihan mereka.

Leo yang mendengarnya hanya mengembuskan napas sedikit kecewa. "Yahh, Coach. Padahal saya latihan sampe jam 9 pun siap."

Coach Daren tertawa. "Ya sudah, kamu latihan mandiri aja."

Dirga menepuk-nepuk pundak Leo. "Lo ngomong begitu keciri banget jomblonya."

"Bacot! Kayak lo nggak aja!"

Dirga langsung menoyor kepala bocah itu.

"Oke, sudah-sudah. Kalian boleh pulang. Makasih ya buat hari ini."

"Makasih juga, Coach!"

Anak-anak voli putra mulai membubarkan diri. Mereka hari ini latihan di lapangan terbuka hanya sampai pukul 6 sore, jadi kadang waktunya terbatas untuk bisa latihan sampai malam. Terkendala juga dengan pencahayaan. Lampu yang menyorot di sini masih belum begitu cukup.

"Gara-gara anak basket sialan, kita jadi kebagian lapangan luar mulu." Sambil berjalan mengambil tasnya di pinggir lapangan, Dirga bilang begitu.

Hito mengangguk. "Biasalah, anak emasnya Kepsek emang gitu. Apa-apa dispesialkan. Kita mulu yang ngalah."

"Berasa abang ngalah ke adek," sahut Leo.

Tian mengangguk setuju. "Haha, iya lagi."

"Padahal yang sering menang dan banggain sekolah juga kan tim voli, tapi kenapa kita mulu yang disuruh ngalah?" cibir Dirga tidak ada habisnya.

"Kan anak kesayangan, Dir. Biasalah."

Memang ada pertikaian sengit antara ekskul voli dan basket SMA Diaskara sejak dulu. Yaitu perebutan gimnasium. Area gimnasium sekolah ini memang luas, lengkap dengan tribunnya. Lapangannya sendiri hanya satu, bisa untuk voli dan bisa untuk basket. Hanya bermodalkan ring dan net saja.

Tapi yang jadi masalah, mereka selalu meributkan siapa yang boleh menempati gimnasium itu. Ditambah jadwal ekskul mereka juga bentrok. Lagi pula jika bukan soal gimnasium pun, anak voli dan anak basket memang tidak pernah akur. Sudah seperti musuh bebuyutan yang sama-sama mencoba menarik perhatian Kepala Sekolah.

"Besok-besok kalo anak basket mau pake gimnasium lagi, serobot aja udah, nggak peduli deh gue," ucap Leo. Dia memang yang paling emosian kedua setelah Dirga.

"Serobot apanya?" tanya Tian. "Yang ada malah kita kena marah Kepsek. Tau sendiri mereka tukang ngadu. Sekalinya ngadu langsung dibela."

Hito yang paling tidak mau banyak ribut hanya membuang napasnya panjang. "Udahlah, dari dulu juga bahas ginian nggak bakal ada habis-habisnya."

"Kata gue tim basket itu bakal bener-bener aja kalo bukan dipimpin sama makhluk Byantara," celetuk Dirga.

Leo mengangguk setuju. "Bener banget! Emang si Byanjing!"

Kemudian Tian melirik Moka yang sejak tadi diam. "Menurut lo gimana, Ka?"

"Tau, nih. Lo diem-diem aja, padahal aslinya lo yang paling benci sama si Byan," ucap Dirga.

Moka menghela napas. "Selagi dia belum nyenggol, gue bakal diem aja."

"Kalo udah nyenggol?"

"Tinggal gue smash aja bola ke kepalanya."

"Wiii, kelazz!"

Di antara yang lainnya, sebenarnya Moka yang paling membenci sama sosok Byantara. Teman-temannya juga mengakui itu. Tapi Moka lebih banyak diam, palingan hanya melayangkan tatapan maut penuh arti seperti ciri khasnya.

MOKAMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang