Suara dentingan gelas terdengar saat dua orang pria sedang bersulang. Mereka berada di suatu pesta formal di kelilingi para kalangan pejabat serta selebrity.
"Sekali lagi aku ucapkan pada Tuan Mahadewa Prasaja atas suksesnya proyek baru kita, semoga ke depannya kerja sama kita berlangsung baik dan menguntungkan bisnis kita." Seorang pria paruh baya berucap lalu tertawa keras.
Lawan bicaranya--Mahadewa Prasaja hanya menatap datar pada pria paruh baya itu dan meminum habis wine di gelasnya.
"Usiamu masih 27 tahun tapi kau sudah begitu sukses dalam bisnis. Aku tidak pernah melihat anak muda sepertimu bekerja keras hingga sampai di tempat ini, apa kau punya rahasia? Katakan padaku ayo!" lanjut pria itu sambil merangkul bahu Dewa.
"Pak Gian sepertinya anda sudah terlalu mabuk, tolong duduk." Dengan tenang, Dewa melepaskan rangkulan bahu Gian. Dia juga menuntun pria paruh baya itu duduk.
Pak Gian tertawa, kedua matanya tak bisa lepas dari seorang wanita yang menatap ke arah mereka atau lebih tepatnya pada Dewa. "Tuan Dewa, anda masih muda tapi sudah mapan, punya properti dan saham. Ppa anda tidak tertarik untuk mencari pasangan? Usia 27 tahun tampaknya sudah matang untuk berumah tangga."
Pak Gian kemudian meminta Dewa untuk mendekat, ingin berbisik di telinganya. "Kalau belum ada wanita yang menarik perhatianmu, aku bisa mengenalkanmu pada putriku. Dia cantik, pandai dan tahu mengurus pria sepertimu."
Dewa lantas menoleh pada arah pandangan Pak Gian. Seorang wanita tersenyum pada mereka berdua, wajahnya tampak tersipu malu saat bertemu mata dengan Dewa.
"Pak Gian, terima kasih atas tawarannya tapi saya sudah memiliki seseorang," sahut Dewa tenang.
Pak Gian melenguh kecewa. "Sayang sekali jika Anda masih lajang, kita bisa jadi mertua dan menantu. Aku akan sangat senang kau bisa bersanding dengan anakku, tapi kalau kamu berubah pikiran jangan sungkan bilang padaku."
Dewa tidak membalas, dia menegakkan tubuh berpamitan untuk pergi dari pesta itu. Di pintu keluar ada seorang pria sudah menunggu Dewa, dia adalah Agam, sekretarisnya.
"Pak Dewa, saya sudah menyiapkan mobil sesuai dengan permintaan Anda." Dewa mengangguk paham.
"Agam, aku ingin pergi ke suatu tempat sendirian. Jika ada seseorang yang menghubungiku, katakan aku ada urusan."
"Baik Pak." Dewa kemudian menuju keluar gedung di mana mobilnya sudah menunggu. Sopir segera menyalakan mesin mobil.
"Pak saya mau..."
"Pak Dewa mau pergi ke pemakaman, kan?" Dewa diam mendengar pertanyaan pak sopir.
Dari kaca mobil, sopir itu tersenyum. "Pak Dewa saya tahu hari ini hari Pak Dewa rutin ke pemakaman. Saya antar Pak Dewa ke sana."
"Terima kasih."
***
Dewa akhirnya sampai di sebuah tempat pemakaman umum. Dia langsung keluar dan menyuruh sopirnya untuk menunggu. Dengan membawa buket bunga, Dewa kemudian berjalan seorang diri menyusuri tiap batu nisan yang ada.
Tak peduli dengan dinginnya malam atau sepi suasana di tempat tersebut, hanya satu keinginannya bertemu dengan seseorang.
Setelah melewati jalan sedikit menanjak. Dia berhenti tepat di sebuah batu nisan besar dengan banyak bunga segar dekatnya. Dewa menaruh buket bunga mawar tersebut, mengusap sebentar batu nisan dengan nama Irene yang tampak pudar.
"Bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu. Maaf aku tak sempat datang akhir-akhir ini aku sibuk dengan urusan pekerjaan." Dewa sejenak diam, menatap sendu pada makam itu kemudian tersenyum.
"Banyak yang berubah, Irene. Kau tahu Nina menikah dengan Damian, laki-laki yang selalu ditolak olehnya. Dia bilang tidak menyukai Damian sampai kapan pun tapi sekarang mereka sudah punya dua anak. Lalu Greta, ketua kelas kita yang keras kepala sekarang dia jadi wanita bisnis yang sukses. Dia bahagia dengan suami dan anaknya sekarang."
"Lalu teman-teman yang lain, mereka juga bahagia dengan hidup mereka tapi ada juga yang tidak berubah." Dewa menghela napas panjang.
"Adik-adikmu masih bersama dengan orang tuamu. Aku mencoba segala upaya untuk membuktikan bahwa mereka bersalah tapi karena kedua adikmu masih kecil dan hanya punya mereka sebagai wali, mereka tidak di hukum berat. Aku minta maaf, aku belum bisa memenuhi permintaanmu tapi aku janji aku akan berusaha lebih kuat lagi untuk mengeluarkan adik-adikmu... aku janji."
Nada tering dari ponsel Dewa terdengar. Dewa mengambil dan ponsel menemukan nama Dinda tertera di layar ponsel. Buru-buru ia mengangkat telepon.
"Kakak! Kakak hentikan, kau akan membunuh Ayah!" seru suara Dinda.
"Halo, Dinda? Ada apa? Dinda, kau bisa mendengar suaraku."
"Halo Kak Dewa, tolong kami!" Suara lelaki remaja kali ini terdengar.
"Gio, kamu yang menelepon?" Dewa bingung. Jika Gio yang berada di telepon lalu siapa yang menyerang Ayah mereka.
"Kak Dewa tolong datang sekarang! Kami butuh bantuan Kakak, dari tadi kami dipukuli oleh Ayah tapi sekarang Ayah dipukuli sampai babak belur. Kami takut Ayah akan mati ditangan Kakak..."
"Kakak siapa? Apa maksudmu, Kakak tidak mengerti?" tanya Dewa mendesak.
"Kak Irene, Kak Irene memukul Ayah. Tolong datang sekarang!" Telepon ditutup sepihak oleh Gio. Terburu-buru Dewa berjalan menuju mobil.
Dia segera memerintahkan sopirnya untuk bergegas menuju rumah Dinda dan Gio yang di mana sopir tersebut tahu jalan ke arah sana.
Dewa akhirnya sampai di rumah Dinda. Suara keributan langsung terdengar dari luar. "Tolong tunggu di sini, aku akan memeriksa."
Berjalan masuk ke dalam halaman depan, Dewa melihat pintu rumah rusak akibat di dobrak. Dia kemudian masuk menemukan Gio dan Dinda sedang menahan seorang gadis.
Gadis itu kuat. Dengan satu tangannya, dia mengangkat seorang pria yang jauh lebih berat. Mencengkram leher hingga si pria tidak bisa bernapas. "Aku sudah menghubungi polisi, mereka akan datang dan kau akan di penjara!" seru seorang wanita berusia 40 tahunan.
"Silakan saja mereka datang, kau pikir aku takut. Dari pada melihat kalian berdua menyiksa anak-anak akan lebih baik kuhilangkan saja kalian dari muka bumi ini. Aku pun tak akan rugi masuk penjara." Cengkraman di leher makin di perketat. Si pria nyaris pingsan.
"Kakak! Sudah hentikan! Jangan bunuh Ayah! Aku tidak mau Kakak masuk penjara! Kami hanya punya Kakak!" seru Dinda, anak berusia 11 tahun terisak tengah memohon.
"Kakak, hentikan! Aku tidak mau kakak mengotori tangan kakak dengan darah pria brengsek ini! Dia pantas mati tapi aku tidak mau kalau kakak kena masalah." Gio juga ikut memohon.
Dewa segera menghampiri menarik tangan gadis asing itu dan karena tenaga Dewa lebih kuat, si pria akhirnya terlepas dari genggaman dan jatuh limbung.
Wajah gadis itu terlihat dan begitu mereka bertemu mata, Dewa benar-benar terkejut. Gio tidak berbohong. Perempuan di hadapannya sangatlah mirip dengan Irene.
***
Hai semuanya ini dengan author yang ceritanya #ngawur. Ini adalah cerita baru yang tiba-tiba aja ada idenya.
Mohon maaf sebelumnya karena saya tidak akan mengupdate cerita Axton dan Wenda. Menurut saya sudah cukup ceritanya sampai di situ dan saya mau fokus pada yang ada. Yang belum selesai.
Lucunya belum selesai juga udah ada yang baru. Silakan baca ya
See you in the next part!! Bye!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
RomanceMahadewa Prasaja (Dewa) pria yang tertutup pada semua orang bertemu dengan seorang gadis mirip dengan sosok cinta pertamanya, Irene dalam suatu kejadian aneh. Dewa mencoba untuk berpikir logis tapi pertemuan singkat itu mengubah segalanya. Setelah t...