Eps 9. Yuk Nikah

5 4 0
                                    

Latifah diam mendengar penjelasan Gio. Berpikir keras solusi yang bagus untuk adopsi Dinda. "Kakak, aku tahu kau bermaksud baik tapi jangan terlalu memaksakan diri. Aku bisa tinggal di sini beberapa tahun lagi."

"Tapi aku tak mau kau di sini terus." Gio malah membalas. "Aku tahu ada keluarga yang ingin mengadopsimu. Mereka datang ke sini seminggu sekali."

"Tapi Kak Latifah tidak bisa dipaksa melakukan sesuatu. Aku tak mau merepotkan dia," protes Dinda tak senang.

"Sudah kalian jangan bertengkar. Bagaimana kalau kalian berdua menginap di rumahku? Nenek pasti akan senang melihat kalian berdua."

Gio dan Dinda saling berpandangan. Mereka tidak punya kendaraan dan keduanya tak tahu bagaimana keadaan Latifah sebenarnya. Bagaimana pun Latifah hanya orang asing yang baru saja dikenal oleh mereka.

Latifah sendiri pergi meminta izin pada pemilik panti asuhan untuk membawa Dinda menginap. "Kakak mau telpon Kak Dewa untuk menjemput kita?" tanya Dinda.

"Jangan ganggu dia. Pasti dia memiliki banyak pekerjaan, biar aku minta sekretaris Indra untuk menjemput kita. Sebentar lagi Indra akan datang. Sebaiknya Dinda kau bawa beberapa baju." Dinda menurut saja dan pergi menuju kamar.

"Lalu kau.. Apa kau tak punya kendaraan? Aku tak melihat dari tadi kau membawa apapun selain tasmu."

"Aku hanya bisa nebeng sama temanku Kak kalau mau pergi ke mana-mana." Gio menyahut tidak enak saat Latifah menyinggung soal kendaraan.

"Tidak apa-apa, besok kita beli kendaraan buat kamu. Mau yang mana mobil atau motor?" tanya Latifah dengan nada santai.

"Hah? Kakak jangan bercanda. Aku bisa kok beli kendaraan sendiri." Dinda berjalan menghampiri dengan membawa tas sekolah berisi beberapa baju.

Dari gerbang pintu sebuah mobil mendekat. Pria dengan setelan jas dan memakai kacamata itu menghampiri mereka. "Nona Latifah, silakan masuk."

Dinda dan Gio tak bisa berucap apa-apa. Mereka tertegun menatap mobil yang dipakai oleh Indra. "Ayo masuk, kita harus bertemu dengan nenek. Indra bagaimana dengan dua kamar yang aku minta persiapkan?" tanya Latifah.

"Sedang disiapkan, Nona." Indra menjawab singkat.

"Kak, dia sekretaris Kakak?" tanya Dinda setelah agak lama bungkam.

Latifah memandangi Dinda dan mengangguk. "Berarti secara finansial Kakak sudah bisa mengadopsi Dinda, tapi soal pasangan..." Gio tidak melanjutkan perkataannya. Dia mengembuskan napas kasar.

Ponsel Latifah berbunyi. Menampakkan nama Dewa di layar. "Halo," ucap Latifah setelah menerima telepon tersebut.

"Latifah, kau ada di mana? Aku sudah ada di panti asuhan tapi kau tidak ada. Kau juga mengajak Dinda dan Gio."

"Susul kami. Kami dalam perjalanan menuju rumahku. Kamu cukup datang ke hotel. Aku akan datang ke sana menjemputmu."

"Baiklah. Hati-hati di jalan." Latifah menutup telepon dan mendengar celetohan Dinda serta Gio.

***

Dewa akhirnya sampai ke hotel. Matahari belum tenggelam tapi hotel tersebut sudah dipenuhi banyak sekali orang. Bar dan klub musik telah terbuka. Para anak muda lalu lalang di depan Dewa masuk ke sana.

Beberapa wanita pun mencoba menggodanya tapi Dewa tidak pernah mengindahkan mereka sampai akhirnya lelah dan pergi sendiri. "Dewa." Dia langsung menoleh, menemukan Latifah berjalan mendekat. Tanpa sadar sebuah senyuman tipis merekah di bibir Dewa.

"Akhirnya kau sampai juga. Ayo kita ke rumahku, kau tak keberatan kalau kita keluar melalui pintu belakang?" tanya Latifah. Dewa menggeleng sebagai jawaban.

Latifah kemudian menarik tangan Dewa dan bergerak melewati orang-orang. Keduanya menuju tangga dan keluar melalui pintu. Begitu kontras dengan ramainya orang di dalam, keadaan di luar begitu sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat.

Mereka berjalan sebentar dan tak lama mereka akhirnya sampai di sebuah pasar kecil. Beberapa di antaranya sedang sibuk menutup toko tapi Latifah selalu disapa dengan ramah bahkan seorang pedagang buah memberikan satu semangka untuk gadis itu.

"Tampaknya kau begitu dikenal oleh mereka." Dewa berkomentar dengan enggan sekedar berbasa-basi.

"Aku sudah tiga tahun di sini. Jelas aku kenal dan dikenal mereka." Latifah kemudian berhenti tepat di sebuah rumah. Dia memasuki halaman depan setelah membuka pintu pagar.

"Kak Latifah, Kak Dewa ayo kemari." Dewa pun ikut masuk ke dalam, Dinda dan Gio berada di ruang tamu sedang asyik bercengkrama dengan seorang wanita tua.

"Kak Dewa perkenalkan ini Nenek Gita. Nenek Gita keren loh." Nenek Gita tertawa mendengar pujian Gio.

"Sudah, jangan menggoda Nenek apalagi di depan pria tampan, Nenek malu." Gio dan Dinda tersenyum geli mendengar ucapan jenaka dari Nenek Gita. Dewa pun hanya tersenyum, lega bisa melihat betapa senang kedua adik Irene itu bahagia di rumah ini.

"Nak ayo makan dengan kami, Nenek sudah buat makanan yang enak khusus untuk kalian. Nenek sangat senang saat mendengar teman-teman Latifah datang berkunjung." Nenek Gita berucap meminta.

"Benar itu. Ayolah Kak Dewa, apa tidak kasihan melihat Nenek sudah bersusah payah memasak untuk kita?" Dinda akhirnya bersuara. Dewa yang diam saja patuh dan masuk ke dalam dapur.

Di sana Latifah telah menyiapkan makanan dan mereka duduk berdampingan makan bersama. Makan malam nan hangat mengusir segala kelelahan Dewa dari sibuknya bisnis.

Setelah makan malam, Gio dan Dinda yang bertugas mencuci piring. Mereka banyak bercanda sehingga tawa keduanya sampai di luar. Dewa pun ikut tersenyum tipis namun pandangannya menerawang jauh entah ke mana.

"Kau kenapa ada di sini? Tak mau bergabung bersama kami?" tanya Latifah. Dia baru saja keluar dari rumah menghampiri Dewa yang berada di halaman depan.

"Aku sedang mau sendiri saja. Latifah, terima kasih karena sudah membuat Gio dan Dinda memiliki rumah. Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa mendengar suara mereka yang tertawa. Kelihatannya mereka sangat nyaman tinggal di sini bersama kamu dan juga nenekmu. Aku tak perlu khawatir lagi dengan mereka," ucap Dewa bersungguh-sungguh.

"Sebelum ini, aku gelisah. Gelisah karena berpikir tidak bisa menepati janjiku pada Irene. Tidak bisa menyelamatkan Dinda dan Gio, tidak bisa membuat mereka merasa damai dan bahagia. Tapi setelah kau ada di sini, aku bahagia. Karena kau bisa membantu mereka."

"Siapa bilang selamatnya Dinda dan Gio itu hanya karena aku. Kau juga mengambil bagian besar dalam menolong mereka. Kau adalah orang yang pantang menyerah dan selalu membela mereka di saat mereka paling membutuhkan bantuan. Semua itu berkatmu juga. Irene memang tak salah memilihmu menjaga Dinda dan Gio."

"Tapi aku butuh bantuanmu sekarang dan ini tentang Dinda," lanjut Latifah. Dewa menoleh, penasaran dengan permintaan gadis itu.

"Apa kau mau aku menebusmu?" Latifah menggeleng.

"Lalu mau apa? Aku akan membantumu sebisa mungkin," lanjut Dewa.

"Benarkah? Kau bisa membantuku? Apa itu termasuk jika permintaanku aneh?" tanya Latifah memastikan.

"Tentu."

Latifah mengukir senyuman manis. Dia berjalan mendekati Dewa menatap pria itu dengan lekat. "Nikah yuk."

***

See you in the next part!!Bye!!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang