Eps 10. Calon Mertua

4 3 0
                                    

Beberapa hari setelah lamaran dadakan itu, Dewa sering termenung bahkan saat dia sedang bersama dengan orang tuanya. Sebab Ibunya menelepon mengatakan dia begitu rindu maka Dewa menempatkan waktu untuk datang ke rumah.

Tapi konsentrasi Dewa tidak berada di tempat itu melainkan selalu teringat akan permintaan Latifah. Di luar dugaan, dengan berani wanita itu ingin menikah dengan Dewa. Baginya sendiri, pernikahan bukanlah hal yang main-main tapi entah mengapa di hadapan Latifah, lidah dan pikirannya kosong.

Lalu bukankah sebaiknya Dewa menjelaskan semuanya pada orang tuanya? Tapi Dewa kurang yakin mereka akan menerima berita ini.

"Kak, kok sering melamun begitu? Kenapa ada masalah di perusahaan?" tanya Ibu Dewa, Ratih. Sebenarnya dia sudah melihat gelagat Dewa sejak awal tapi sengaja diam sampai akhirnya tidak tahan saat mereka makan malam bersama.

"Tau nih kakak, aku mau tanya beberapa hal tapi kok pikiran kakak kayak nggak ada di sini." Adiknya, Mike menyahut.

"Sudahlah jangan paksa Dewa, kasih waktu saja pasti dia akan bicara soal masalahnya," kata Ayah Dewa memberi pengertian.

Dewa mengaduk makanan yang berada di atas piring. Dia menatap Ayah dan Ibunya secara bergantian kemudian membuang napas panjang. "Ayah, Ibu," panggil Dewa.

Keduanya menoleh menunggu Dewa berbicara. "Aku dilamar." Mike yang mengunyah langsung berhenti, matanya membola memandangi kakaknya.

"Bercandanya nggak lucu kak, masa iya laki-laki dilamar." Dewa memandangi Mike, terlihat dia begitu serius membuat adiknya makin takjub.

"Serius? Kakak dilamar? Sama siapa?" tanya Mike.

"Oh ya ampun akhirnya anak bujang Ibu yang sudah lama single akhirnya dilamar juga." Sungguh sebuah reaksi yang jauh berbeda di pikirkan oleh Dewa.

"Ibu tidak marah?" tanya Dewa masih tak menyangka dengan reaksi orang tuanya. Sementara sang Ayah hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala.

"Dewa, Ayah sama Ibu itu tau kalau kamu memang tidak tertarik punya hubungan sama siapapun setelah Irene pergi makanya Ayah sama Ibu itu senang kalau ada kemajuan apalagi kalau perempuannya yang lamar kamu." Ratih mengangguk setuju dengan ucapan suaminya.

"Jadi kapan kamu bawa dia ke sini? Pekerjaannya apa? Cantik tidak orangnya?" tanya Ratih tampaknya tidak sabar untuk bertemu dengan calon menantu.

"Apa yang kakak jawab setelah dia melamar kakak?" Mike menyela dengan sebuah pertanyaan yang mampu membuat Dewa terdiam.

"Aku bilang padanya kalau aku tak akan mau main-main dengan pernikahan. Pernikahan itu sakral, dia akan terjebak bersamaku selama sisa hidupnya. Dia serius tapi aku..." Dewa tak menyelesaikan kata-katanya. Meski diam tapi pikirannya berkecamuk semua terlihat betapa kusutnya raut wajah lelaki itu.

Ratih sadar akan perubahan putra sulungnya itu. Dia mengelus telapak tangan Dewa, menyadarkan Dewa dari lamunan. "Aku khawatir padanya. Bagaimana jika aku menyakitinya? Bagaimana kalau kita memang tak cocok? Jujur aku masih memikirkan Irene."

"Lalu kenapa kau menerima lamarannya?" tanya Ratih.

"Karena di sisi lain aku ingin membantunya. Aku ingin mengurangi segala beban yang dia pikul. Melihatnya sama seperti melihat Irene. Aku tak mau membiarkan dia berjuang sendirian."

Mereka terdiam. Mike yang awalnya bersemangat ikut termangu. Ayah kemudian mengerjapkan mata menepuk pundak Dewa. "Tujuanmu baik sekali mau membantu wanita itu tapi kau juga harus ingat kalau kau harus mementingkan dirimu sendiri. Tapi jika kau masih ingin menikah, bawa dia datang kemari. Biar Ibu dan Ayah yang menilainya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang