Eps 2. Pertama Bertemu

15 5 0
                                    

"Siapa kau?" Bahkan suaranya begitu mirip dengan Irene. Dewa tidak berkedip, tidak sekali pun. Tatapannya begitu lekat pada si gadis membuatnya terlihat aneh.

"Kak Dewa, tolong fokus dulu." Suara Gio membuyarkan lamunan Dewa. Dia langsung menoleh ke arah Gio. "Kak tolong sembunyikan Kak Irene lebih dulu, kami tidak mau kalau polisi menangkap Kak Irene karena dia. Jadi bawa Kak Irene ke tempat yang lebih aman."

Gio kemudian beralih pada si gadis yang tampak bingung. "Kakak harus ikut Kak Dewa, dia bisa melindungi Kakak dari polisi."

"Tapi bagaimana dengan kalian..."

"Kakak tidak usah khawatir, kami berdua bisa jaga diri yang penting Kakak bisa pergi dari sini." Tanpa aba-aba Gio langsung memeluk si gadis.

"Aku senang Kakak ada di sini." Gio melerai pelukan dan Dinda ikut memeluk si gadis. Meski terlihat bingung, gadis itu membalas pelukan.

"Terima kasih Kak, jangan pergi lagi." Dinda berbisik lirih kemudian melepas pelukan. Dewa memgambil lengan gadis itu menuntunya keluar untuk masuk ke dalam mobil.

Tiada perlawanan sedikit pun, keduanya sudah berada di mobil. "Ayo Pak, jalan." Mobil tersebut segera berjalan meninggalkan rumah. Si gadis terus melihat melalui belakang mobil sampai dari kejauhan terlihat mobil polisi berhenti serta masuk ke dalam rumah.

Si gadis kemudian duduk kembali memandangi Dewa yang masih menatapnya. "Terima kasih berkat kau aku tidak jadi masuk di penjara. Aku harap pria bajingan itu masuk penjara dan membusuk di sana. Kau boleh menurunkanku di sini. Aku bisa kok berjalan kaki."

"Berjalan kaki?" ulang Dewa.

"Iya, aku bisa berjalan kaki."

"Tidak boleh."

"Kenapa?" tanya si gadis.

"Aku sudah janji pada adikmu bahwa kau akan tinggal bersamaku sampai masalahnya selesai." Dewa membalas dengan tenang.

"Masalah apa? Masalah aku memukul pria itu dan hampir membuatnya mati tercekik? Setelah aku keluar dari rumah itu, apa yang terjadi selanjutnya itu bukan urusanku."

"Tapi..."

"Hentikan benda ini sekarang!" perintah si gadis. Secara ajaib sopir Dewa menginjak rem mendadak. Si gadis hendak membuka pintu tapi Dewa mencegatnya dengan menarik tangan gadis itu, dia mendorong tubuh kecil gadis itu sampai si gadis terpojok dan tak bisa bergerak.

"Lepaskan aku!" pinta si gadis. Dewa tak mendengar, dia makin memojokkannya dan bahkan tidak ada lagi jarak antara mereka. Si gadis mendecak kesal. Matanya memancarkan kekesalan saat ditatap oleh Dewa.

"Aku bilang lepaskan aku!" Lagi si gadis memerintah.

"Tidak kau tetap di sini." Si gadis mengerjapkan mata. Kekesalannya hilang berganti dengan pandangan terkejut.

"Bagaimana bisa kau tidak terpengaruh?" Dewa tidak mengerti tapi dia langsung beralih pada sopirnya. "Pak tolong ke rumah sekarang."

Mesin mobil kembali menyala dan sopir itu mengerjapkan mata. "Eh iya Pak Dewa."

Si gadis termangu. "Dia bahkan bisa mematahkannya, bagaimana bisa?" tanya si gadis. Dewa kemudian mundur setelah si gadis tidak berontak.

"Maaf kalau aku kurang sopan tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Hanya malam ini saja, tinggalah denganku." Nada lembut Dewa cukup menenangkan si gadis. Sampai di rumah pun dia hanya diam saja.

Dewa membuka pintu mobil mempersilakan gadis itu keluar. "Ini di mana?" Gadis itu akhirnya berbicara.

"Rumahku." Jawaban Dewa membuat gadis itu cukup bingung.

"Rumah? Bangunan yang tinggi ini rumahmu?" tanya gadis itu. Dewa diam. Menatap bangunan apartemen yang memang miliknya. Dia pun tinggal di sini juga sebagai penghuni apartemen tapi menjelaskannya terdengar rumit.

"Ini bukan rumahku sepenuhnya, aku punya rumah di bangunan ini saja."

"Rumah? Di bangunan tinggi ini? Nggak roboh?"

"Tidak kok, aman." Si gadis mengangguk mengerti.

Dewa berjalan mendekat, memegang tangan si gadis dan menuntunnya untuk masuk. Si gadis diam saja patuh mengikuti ke mana Dewa membawanya.

Pintu lift terbuka menimbulkan suara menarik perhatian si gadis. "Ini rumahmu?" Dewa melihat lift dan menggeleng.

"Rumahku ada di atas, kita gunakan lift untuk sampai ke sana."

"Lift? Memangnya tidak ada tangga?"

"Lebih mudah gunakan lift, ayo masuk." Dewa berjalan masuk terlebih dahulu barulah si gadis mengikuti. Begitu lift bergerak ke atas, ekspresi gadis itu terlihat tak nyaman.

Dewa memperhatikan seksama si gadis. Wajah dan postur serta sikap samua tampak sama dengan Irene. Jika dilihat dari tubuhnya pun, usianya tidak jauh dari Irene yang meninggal muda. Kisaran 17 atau 18 tahun.

Pintu lift terbuka, si gadis buru-buru keluar dari lift. "Apa kau tidak terbiasa naik lift?" Lawan bicaranya langsung mengangguk.

"Kalau begitu besok kita bisa naik pakai tangga." Kembali Dewa menggandeng tangan si gadis. Mereka bergerak menuju salah satu pintu dan dengan kartu di tangan Dewa, pintu terbuka menampakkan ruang tamu.

"Ayo masuk." Si gadis patuh saja dan duduk di sofa hitam milik Dewa. "Apa kau ingin mandi lebih dulu atau mau makan lebih dulu?" tanya Dewa.

Tepat saat itu perut si gadis terdengar suara lirih. Wajahnya lantas memerah. "Baiklah aku akan memasak dulu. Di sini hanya ada mi instan. Kau mau?" Si gadis mengangguk.

Hanya beberapa menit Dewa sudah menyiapkan dua piring berisi mi instan. Dia memberikan satunya untuk si gadis asing. Si gadis mencium aroma enak mi tiada ragu untuk memakannya.

"Umm, ini enak sekali, makanan apa ini?"

"Mi instan. Kamu suka?" Si gadis mengangguk masih dengan terus mengunyah.

Segera setelah mie itu habis, Dewa memasukkan piring-piring kotor ke mesin cuci. "Sekali lagi aku ucapkan terima kasih karena sudah membiarkan aku tinggal di tempatmu, aku janji akan membalas budimu suatu hari nanti."

"Tidak usah dipikirkan, kau tak berutang apapun padaku apalagi setelah kau menghukum pria itu. Bagiku tindakanmu melindungi Dinda dan Gio sudah lebih dari cukup."

Si gadis diam sebentar dan menjulurkan tangan. "Kita belum berkenalan namaku Latifah, siapa namamu Tuan?"

Dewa menjulurkan tangan, menjabat tangan Latifah. "Aku Dewa, Mahadewa Prasaja."

"Baiklah, Dewa karena kebaikanmu mulai sekarang kau bisa meminta apapun dariku."

"Meminta apapun?" ulang Dewa tak mengerti.

"Iya seperti kesehatan, umur yang panjang, kekayaan dan lain-lain." Kali ini Dewa yang diam, tidak ada sedikit pun minat untuk membalas ucapan Latifah.

"Kamu mau mandi, kan? Tunggu di sini aku ambil dulu baju bersih untukmu." Tidak lama Dewa keluar dari kamar membawa satu pasang baju perempuan.

"Kau pakai dulu ini saja nanti besok kita beli baju baru."

"Baiklah, di mana kamar mandinya?" Dewa menunjukkan kamar mandi sekaligus menjelaskan bagaimana mandi di tempat itu. Seperti biasa Latifah terlihat kagum dengan shower. Seakan ini hal yang baru buatnya.

Dewa lantas keluar membiarkan Latifah mandi. Cukup lama ia berdiri, mendengar senandung kecil Latifah. "Dia bukan Irene, dia hanya mirip dengan Irene. Namanya Latifah. La-Ti-Fah, ingat Dewa ingat."

***

See you in the next part!! Bye!!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang