Para pelayat sudah berpulang. Rumah duka itu hampir sepi. Soobin memeluk temannya dengan erat untuk berpamitan. Gadis itu merasa iba, temannya baru saja kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang ia punya.
Pukul delapan malam, meski usia Soobin tergolong dewasa, ia tetap butuh teman untuk melewati perumahan. Perumahan ini akan sangat sepi di malam hari.
"Hana? Kau bilang jam delapan sudah sampai," Soobin menatap jalan raya, ia tidak akan masuk ke perumahan itu sendirian. Semua perumahan sepertinya juga sama, sepi saat malam hari.
Panggilan diputus setelah Soobin mendapatkan jawaban. Sejenak ia menoleh ke arah perumahan. Detik berikutnya ia menoleh ke jalan lagi. Mendadak jantungnya berdegup kencang.
"Tidak mungkin," Soobin bergumam pelan, ia mendekat ke jalan raya.
Sebuah bus berhenti tepat di sebelahnya, menurunkan satu penumpang. Pakaian hitam putih khas orang kantor masih melekat. "Kak--."
"Hana!" Soobin memekik, segera mendekati Hana. Bus kembali memasuki jalan raya. Keduanya menepi.
"Ada apa?" Hana menaikkan kedua alisnya saat melihat wajah Soobin yang panik. Ia melihat pakaian serba hitam Soobin, bahkan sampai jaketnya juga hitam.
"Malam ini aku menginap di rumahmu, ya? Aku melihat sesuatu di depan rumahku. Tepatnya di bawah lampu jalan itu," Soobin tidak berani menoleh, tapi ibu jarinya menunjuk ke belakang.
Hana menatap seseorang yang berdiri tertunduk di depan rumah Soobin. Ia tidak menghiraukan Soobin yang masih bergidik ngeri sampai tidak berani menoleh.
"Kak Jisoo kebetulan memintaku membeli kopi dan memberikan satunya kepada Seungkwan," Hana mengangkat tangannya sambil berjalan memasuki perumahan sepi itu.
"Wah, benarkah?" Soobin membalikkan badannya dengan dramatis seperti penari ballet. "Seungkwan-a!" Ia memekik memanggil nama Seungkwan.
Seseorang yang menunduk di bawah lampu itu mendongak, wajah bulatnya dengan rambut kecoklatan menatap tajam. "Kau kira aku tidak tahu kau lupa membawanya?"
"Hehehehehe," Soobin terkekeh. "Kau tahu aku pelupa, jangan menitip sesuatu padaku. Jangan sering-sering minum es saat musim dingin!"
Seungkwan menerima kopi dari Hana. Ia tidak mendengarkan kakaknya. "Terima kasih, terima kasih juga untuk Kak Jisoo. Kenapa kau pulang selarut ini?"
"Iya, seharusnya kau sudah pulang jam tiga sore tadi," Soobin menimpali.
Untuk sesaat, Hana terdiam mendengar pertanyaan itu. "Bukankah sejak dulu aku seperti ini? Aku lebih menyukai pulang agak malam."
Kakak beradik itu mengangguk, "Benar juga, kau selalu seperti itu." Soobin menjentikkan jari, "Minggu depan kita jadi pergi, kan?"
Ice Americano itu sudah habis hampir setengahnya. Seungkwan mengangguk senang, "Tentu saja."
"Ah, ya. Aku akan menanyakan ini pada Kak Jisoo. Katanya temannya memiliki rekomendasi bagus. Aku pulang dulu," Hana bergegas mendahului keduanya. Rumahnya terletak di paling ujung dari perumahan ini.
Rumahnya tidak begitu sunyi. Ia mendengar suara televisi dari ruang tengah. Suara piring beradu, kedua orang tuanya baru saja selesai makan malam. "Sayang, kenapa baru pulang?"
Hana meletakkan kopi pesanan kakaknya di dalam kulkas. Ia menaikkan lengannya, membantu Ibu mencuci piring. "Rasanya sudah lama tidak pulang malam-malam. Sejak ada berita itu aku merasa tidak bebas, Bu."
"Tetap hati-hati, ya? Kau boleh pulang malam, tapi pastikan tidak sendirian," Ayah berkomentar sambil berbaring di atas sofa. Televisi menyala, menyiarkan tentang pertandingan bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSE THAT NIGHT •|SEVENTEEN|•
WerewolfBukit Roth lenyap, nyaris tidak ada kehidupan karena jumlah penghuninya semakin surut. Sosok yang menginginkan kecantikan dan keabadian dengan bengisnya menghisap jiwa-jiwa muda. Sosok itu menyebar, bahkan manusia yang tidak bersalah pun terkena imb...